Pengurangan Antibiotik di Peternakan, Kunci Menekan Bakteri Kebal
Sabtu, 24 Juli 2021
Jakarta – Hasil surveilans Kementerian Pertanian mengonfirmasi penggunaan antibiotik secara berlebih di peternakan ayam berkaitan dengan kejadian resistansi antimikroba. Pemerintah, pelaku usaha, dan seluruh pihak terkait mesti segera beraksi nyata menurunkan tingkat penggunaan antimikroba, termasuk yang bertujuan untuk pembersihan atau flushing pada anak ayam.
Hasil surveilans tersebut dipaparkan dalam acara Obrolan Ringan Akhir Pekan Seputar Unggas dari Kementerian Pertanian (Kementan), Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia (ADHPI), Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dan Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), Sabtu (24/7).
Koordinator Kelompok Substansi Pengawasan Keamanan Produk Hewan Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementan Imron Suandy memaparkan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan menyurvei penggunaan antibiotik pada 360 peternakan di tiga provinsi Indonesia tahun 2017. Sebanyak 86 persen peternak merupakan mitra perusahaan inti dan 14 persen peternak mandiri.
Sebagian besar peternak menggunakan antibiotik golongan fluorokuinolon, baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan antibiotik lain. Sebanyak 175 peternakan (48,61 persen) menggunakan enrofloksasin dan 18 peternakan (5 persen) memakai siprofloksasin yang dipadukan dengan tylosin.
Sementara itu, 125 peternakan (34,72 persen) memakai amoksisilin dan colistin, 50 peternakan (13,89 persen) sulfadiazin dan trimetoprim, 47 peternakan (13 persen) doksisiklin, 17 peternakan (4,7 persen) oksitetrasiklin, 14 peternakan (3,89 persen) ampisilin dan colistin, 13 peternakan (3,61 persen) doksisiklin dan colistin, 13 peternakan (3,61 persen) tylosin, serta 11 peternakan (3 persen) doksisiklin dan eritromisin.
Paparan dari Kementerian Pertanian terkait survei penggunaan antibiotik pada 360 peternakan di tiga provinsi Indonesia tahun 2017. Sebagian peternakan telah resisten dengan beberapa jenis antibiotik. Foto diambil dalam paparan Kementerian Pertanian secara daring, Sabtu (24/7/2021).
Untuk memastikan hubungan antara pola penggunaan dengan pola resistansi antimikroba (AMR), Kementan pada 2018 dan 2019 melakukan studi resistansi pada ayam broiler menggunakan isolat bakteri Escherichia coli (E. coli). Sebanyak delapan balai besar veteriner serta balai veteriner se-Indonesia terlibat.
“Beberapa antimikroba yang tadi kita ketahui banyak digunakan di sektor peternakan juga memiliki kecenderungan resistansi yang cukup tinggi,” ujar Imron. Ia menyebutkan, kecenderungan itu terjadi pada siprofloksasin, trimetoprim, tetrasiklin, sulfametoksazol (segolongan dengan sulfadiazin dan trimetoprim), serta ampisilin (segolongan dengan amoksisilin).
Beberapa antimikroba yang tadi kita ketahui banyak digunakan di sektor peternakan juga memiliki kecenderungan resistansi yang cukup tinggi
Hasil surveilans pola penggunaan antimikroba dan AMR Kementan itu menunjukkan, pengurangan penggunaan antibiotik di peternakan memang diperlukan untuk menekan risiko merebaknya bakteri kebal obat. “Kalau kita memang berharap ada penurunan laju resistansi, maka kuncinya adalah harus ada kesadaran bagaimana antimikroba itu akan dikurangi atau ditekan di tingkat hulu,” ucap Imron.
Direktur Kesehatan Hewan Kementan Nuryani Zainuddin menambahkan, surveilans (pengamatan) terkait antibiotik di peternakan idealnya juga dilakukan pada tahun 2020-2021. Namun hal ini urung dilakukan karena terhalang oleh pandemi Covid-19. Jika hal ini dapat dilakukan, maka kondisi AMR di peternakan bisa tergambar jelas.
Gambaran tentang AMR di peternakan, menurut Nuryani, bukan untuk menimbulkan polemik. Justru hal tersebut bisa dijadikan dasar untuk menyusun strategi-strategi pengendalian AMR berikutnya yang jauh lebih efektif.
“Aspek-aspek surveilans harus diperhatikan supaya kita bisa menarik kesimpulan secara universal. Kalau surveilans hanya terbatas pada beberapa daerah atau sampel, belum tentu kita bisa menarik kesimpulan,” ujarnya.
Investigasi Harian Kompas selama Mei-Juni 2021 sebelumnya mengungkap sebagian peternak di Jawa Barat kerap memberikan antibiotik pada ayam baik dalam kondisi sehat maupun sakit. Sebagian mereka memanfaatkan obat keras itu untuk pencegahan dengan berbagai istilah, antara lain metafilaksis, profilaksis, ataupun flushing.
Praktisi senior peternakan unggas ADHPI Sunuhadi menyatakan, praktik pemberian antibiotik berupa flushing umum dilakukan kalangan peternak. Adapun flushing adalah pemberian antibiotik pada ayam usia sehari (DOC) yang diyakini untuk membersihkan saluran pencernaan baik ayam dalam kondisi sehat maupun sakit.
Sunuhadi menganggap praktik flushing adalah hal yang sia-sia dan cenderung merugikan. Menurut dia, kondisi kekebalan ayam yang bersih justru akan menurun dan mudah terinfeksi penyakit karena flushing. Dia menilai hal yang lebih penting adalah manajemen pemeliharaan kandang agar tetap higiene.
”Untuk rekan peternak, saya mohon flushing agar dihindari karena tidak ada gunanya sama sekali. Kalau menurut saya, pemahaman manajemen pemeliharaan kandang penting sekali kita pahami agar kita bisa mengurangi resistansi antimikroba,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum I ADHPI Hadi Wibowo menambahkan, pemakaian antibiotik di peternakan juga bergantung pada mutu DOC dari perusahaan pembibitan ayam. Pemerintah harus memastikan regulasi tentang standar DOC dipatuhi sehingga anak ayam terjamin tumbuh sehat.
Untuk rekan peternak, saya mohon flushing agar dihindari karena tidak ada gunanya sama sekali. Kalau menurut saya, pemahaman manajemen pemeliharaan kandang penting sekali kita pahami agar kita bisa mengurangi resistansi antimikroba
“Ada DOC yang harganya katakanlah 30 persen dari DOC yang bagus. Ternyata, DOC yang harganya 30 persen lebih rendah itu yang diminati oleh para peternak karena harganya lebih murah,” tutur Hadi.
Paparan dari Kementerian Pertanian terkait survei penggunaan antibiotik pada 360 peternakan di tiga provinsi Indonesia tahun 2017. Sebagian peternakan telah resisten dengan beberapa jenis antibiotik. Foto diambil dalam paparan Kementerian Pertanian secara daring, Sabtu (24/7).
Pengendalian
Nuryani mengatakan, Kementerian Pertanian saat ini tengah menyiapkan draf pedoman umum mengenai Antimicrobial Stewardship (AMS) atau penatagunaan antimikroba di bidang peternakan. Pedoman ini nantinya akan menjadi landasan perusahaan peternakan untuk menyusun standar prosedur bagi para peternak plasmanya.
”Di dalam penyusunan pedoman penatagunaan ini, kita bersama-sama dengan berbagai unsur. Baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, bahkan dari asosiasi pun kita libatkan. Juga dengan akademisi dan organisasi internasional,” katanya.
Direktorat Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian saat ini juga tengah menyusun sebuah strategi komunikasi mengenai AMR kepada para peternak. Nuryani berharap, strategi ini nantinya bisa menjangkau para peternak skala kecil agar terbangun kesadaran AMR yang lebih luas. (J Galuh Bimantara/Fajar Ramadhan/Aditya Diveranta | Editor Khaerudin)
Baca juga: e-paper Kompas Edisi 16 Juli 2021.pdf dan Penyalahgunaan Antibiotik di Peternakan Ayam Broiler
Baca juga: Presentasi Drh Imron Suandy, MVPH di Obrass (24 Juli 2021)
Sumber: Kompas.id