Penyakit Mulut dan Kuku Kembali Muncul
Sabtu, 7 Mei 2022
Jakarta – Sebanyak 1.247 ekor sapi di Kabupaten Gresik, Lamongan, Sidoarjo, dan Mojokerto, Jatim dilaporkan terjangkit wabah penyakit mulut dan kuku (PMK). Kejadian ini mengembalikan Indonesia sebagai negara yang tidak lagi bebas PMK. Indonesia diakui oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia atau OIE sebagai negara bebas penyakit ini sejak 1990.
Kementerian Pertanian telah menerjunkan tim untuk menginvestigasi kejadian ini. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrullah (6/5), mengatakan, pihaknya sudah merespon kejadian itu. “Tim kami sedang di lapangan untuk investigasi dan sedang dianalisis di laboratorium sampel-sampel yang diduga terinfeksi,” ujarnya lewat pesan singkat.
Nasrullah menjelaskan, berdasarkan rapat koordinasi dengan Gubernur Jatim serta empat bupati wilayah kasus PMK, sejumlah langkah darurat pun disiapkan. Pertama ialah penetapan wabah oleh Menteri Pertanian berdasarkan surat dari Gubernur Jatim dan rekomendasi dari otoritas veteriner nasional sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2014.
Sejalan dengan itu, pendataan harian jumlah populasi hewan ternak yang positif PMK terus dilakukan. ”(Lalu) pemusnahan ternak yang positif PMK secara terbatas serta penetapan lockdown zona wabah tingkat desa/kecamatan di setiap wilayah terdampak, dengan radius 3-10 kilometer dari wilayah terdampak wabah,” ujar Nasrullah.
Selain itu, akan diberlakukan pembatasan dan pengetatan pengawasan lalu lintas ternak, pasar hewan, dan rumah potong hewan. Juga edukasi kepada peternak terkit prosedur standar operasi (SOP) pengendalian dan pencegahan PMK, menyiapkan vaksin PMK, serta pembentukan gugus tugas tingkat provinsi dan kabupaten.
Pemerintah juga akan mengawasi dengan ketat masuknya ternak hidup di wilayah-wilayah perbatasan dengan negara tetangga yang belum bebas PMK, oleh Badan Karantina Pertanian. Pemerintah juga akan mengawasi dengan ketat masuknya ternak hidup di wilayah-wilayah perbatasan dengan negara tetangga yang belum bebas PMK, oleh Badan Karantina Pertanian. Ke depan, kata Nasrullah, diharapkan zona penyakit dapat dilokalisasi sehingga tidak menyebar ke wilayah sentra sapi lainnya.
”Masyarakat kami mohon bantuan dan kerja samanya untuk tidak memindahkan atau memperjualbelikan sapi dari daerah wabah ke daerah yang masih bebas. Kita tangani bersama dan lokalisasi wilayahnya,” ujar Nasrullah.
Dalam Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan disebutkan, penutupan wilayah dilakukan berdasarkan penetapan daerah Wabah oleh Menteri, berdasarkan rekomendasi pejabat Otoritas Veteriner Nasional.
Penutupan wilayah dilakukan oleh bupati/wali kota atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 1 x 24 jam sejak ditetapkan suatu daerah Wabah oleh Menteri.
Sebelumnya, wabah diketahui dari laporan Kepala Dinas Peternakan Jatim Indyah Aryani kepada Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (5/5). Indyah melaporkan kejadian penyakit menular akut pada ternak di Jatim.
Dinas Peternakan Jatim telah berkoordinasi dengan Balai Besar Veteriner dan Pusat Veterinaria Farma untuk pengambilan sampel guna peneguhan diagnose penyakit. Dilakukan pula pengobatan simptomatis pada ternak yang sakit dan mencegah penyebaran dan potensi penjualan panik.
Menurut data Kementerian Pertanian, pada 2020 Jatim merupakan provinsi dengan populasi sapi potong terbanyak, yakni 4,82 juta ekor. Disusul Jawa Tengah dengan 1,8 juta ekor, Sulawesi Selatan 1,43 juta ekor, Nusa Tenggara Barat 1,28 juta ekor, dan Nusa Tenggara Timur 1,19 juta ekor.
Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia Muhammad Munawaroh menyayangkan kembali terjadi wabah PMK. “Indonesia sejak 1990 diakui bebas PMK oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia. Wabah yang kembali terjadi erat kaitannya dengan lemahnya pengawasan lalu lintas ternak, terutama dari negara-negara yang belum bebas PMK,” katanya.
Munawaroh berharap, badan karantina lebih fokus pada tugas pengawasan lalu lintas ternak antar daerah. “Saya heran mengapa ternak terutama domba dari Malaysia yang belum bebas PMK bisa masuk dan terdistribusi sampai Wonosobo (Jateng) dan Malang (Jatim) sehingga meningkatkan risiko wabah dan terbukti,” ujarnya.
Ia berpendapat, langkah strategis yang perlu dilakukan ialah penyelidikan epidemiologi, vaksinasi, pemusnahan ternak yang sakit, dan peningkatan pengawasan lalu lintas ternak. Jika wabah meluas ke kabupaten/kota lainnya di Jatim, salah satu lumbung daging nasional, hal itu akan mengancam ketahanan pangan, terutama protein hewani. “Yang paling dekat, nanti saat Idul Adha susah daging,” katanya.
Secara terpisah, Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi Ali Usman mengatakan, pemerintah harus cepat merespons dan penanganan wabah ini mesti dilakukan secara serius. ”Sebab pengaruhnya bukan hanya gejolak atau masalah harga di dalam negeri. Namun, juga berkait dengan isu ketahanan pangan yang tantangannya harus dijawab. Jika pasokan dalam negeri berkurang, nantinya lagi-lagi impor untuk memenuhi kebutuhan. Seharusnya justru tingkatkan populasi,” katanya.
Menurut Ali, hal ini pun harus menjadi pelajaran agar pemerintah tidak sebatas reaktif, tetapi proaktif dalam mencegah penularan penyakit pada ternak. Check point sebagai pos pemeriksaan lalu lintas ternak harus dijalankan dengan baik sehingga PMK pada hewan ternak dapat dihindari sedini mungkin.
Sumber: Harian Umum Kompas 7 Mei 2022