Vets for a Better Life
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies
Thursday, 18 April 2024
4

EDISI 4

Selasa, 13 September 2011

EDITORIAL - Emerging Foodborne Zoonosis

GALERI - Resistensi Antimikrobial pada Peternakan Unggas Skala Kecil

OPINI - Emerging Foodborne Zoonoses: Tantangan Baru bagi Sistem Keamanan Pangan

ARTIKEL - Peranan ALOP dalam Industri dan Keamanan Pangan

FOKUS - Enterobacter sakazakii

Download PDF

 

Emerging Foodborne Zoonosis

Oleh: Andri Jatikusumah

 

Setiap hari sekitar 200 ribu pertambahan populasi manusia membutuhkan pangan.  Food Agriculture Organisation (FAO) menyatakan bahwa pada periode 1995 sampai dengan 2050, populasi manusia diproyeksikan akan meningkat sampai dengan 72 persen dari 5,7 milyar menjadi 9,8 milyar. Hal ini tentunya merupakan suatu tantangan besar bagi dunia dalam memperjuangkan kecukupan pangan (food security) dan keamanan pangan  (food safety) bagi masyarakat dunia.

Hampir setiap negara berkembang termasuk Indonesia saat ini fokus pada ketersediaan pangan, akan tetapi tidak diikuti selaras dengan keamanan pangan-nya.  Laporan World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh keracunan makanan lebih tinggi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu “hotspot” penyakit zoonosis di Asia Tenggara terutama  penyakit menular baru (emerging infectious disease) atau penyakit menular yang muncul kembali (re-emerging infectious diseases). Selain itu Indonesia juga mengalami berbagai kejadian penyakit yang sifatnya dapat ditularkan melalui makanan termasuk penyakit baru (emerging food-borne zoonosis). Suatu keadaan yang juga menjadi ancaman bagi ketersediaan pangan, selain dari kompleksitas situasi permasalahan yang saat ini dihadapi Indonesia, seperti kondisi sosio-ekonomi yang terpuruk, perdagangan yang kurang memperhatikan keamanan dan mutu pangan, urbanisasi yang tinggi, dan pengetahuan tentang keamanan pangan masyarakat yang masih relatif rendah.

Seperti halnya negara-negara berkembang lainnya, Indonesia juga mengalami kesulitan  dalam mengendalikan penyakit-penyakit tersebut diatas, jika kita melihatnya dari kondisi perekonomian yang tidak kondusif, komitmen stakeholder yang masih rendah, dan sistem kesehatan hewan nasional yang lemah.  Penguatan ke-tiga faktor tersebut merupakan jalan keluar bagi negara kita dalam melakukan upaya pencegahan dan pengendalian serta antisipasi penyakit, termasuk emerging food-borne zoonosis.

Untuk itu sudah selayaknya Indonesia berencana untuk membuat strategi baru dan berkomitmen secara nyata dalam menghadapi tantangan ke depan, utamanya dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan yang memadai dan aman untuk kesejahteraan masyarakat.

Kembali ke Atas | Galeri | Opini | Artikel | Fokus

 

Resistensi Anatimikrobial pada Peternakan Unggas Skala Kecil 

Oleh: Imron Suandy

 

Permasalahan resistensi antimikrobial telah menjadi perhatian global. Segala penggunaan bahan antimikrobial baik di hewan maupun manusia telah menciptakan terjadinya proses “selective pressure” yang berujung pada berkembangnya resistensi bakteria (WHO, 2000). Walaupun pada dasarnya hal tersebut merupakan suatu fenomena alamiah, akan tetapi prosesnya diakselerasi oleh berbagai praktek penggunaan antimikrobial yang berlebihan dan tidak terkontrol (Acar and Moulin, 2006). Dampak yang ditimbulkan bagi kesehatan masyarakat terkait resistensi antimikrobial menyebabkan terjadinya peningkatan angka kematian, angka kesakitan dan biaya pengobatan (Cohen, 1992). Oleh karena itu WHO merekomendasikan agar setiap negara menerapkan suatu strategi sistem surveilans terkait masalah resistensi antimikrobial baik t pada manusia maupun hewan (WHO, 2000).

Peningkatan penggunaan obat-obat antimikrobial pada ternak  tidak terlepas dari peningkatan pola intensifikasi dan komersialisasi di peternakan. Antimikrobial di peternakan banyak digunakan terutama untuk pencegahan, kontrol dan pengobatan penyakit, maupun sebagai bahan tambahan pakan untuk meningkatkan konversi pakan yang lebih baik (Gustafson and Bowen, 1997).  Beberapa penelitian menyebutkan penggunaan obat-obat antimikrobial di peternakan telah  berkontribusi terhadap terjadinya resistensi antimikrobial pada komunitas bakteria di peternakan. Pangan asal hewan dipercaya dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penyebaran bakteria pembawa elemen genetis yang bersifat resisten terhadap antimikrobial dari hewan ke manusia dan lingkungan, hal ini berlaku baik pada bakteria komensal maupun patogen (Kang et al., 2005).

Di Indonesia, peternakan unggas komersil skala kecil memiliki peranan penting dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan asal hewan bagi sebagian besar masyarakat lokal. Akan tetapi bagi pertenakan skala kecil, biosekuritiy merupakan hal dasar yang menjadi kendala dalam penerapannya. Maka dari itu, penggunaan bahan antimikrobial merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi bakteria di peternakan. Terlebih lagi sulitnya aksesibilitas untuk memperoleh obat-obat antimikrobial merupakan suatu fakta yang nyata terjadi (Murdiati and Bahri, 1991). Indikasi penggunaan bahan antimikrobial yang berlebihan menjadi nyata, terutama bila dikaitkan dengan hampir sebagian besar pakan komersil mengandung bahan antimikrobial (Brady and Katz, 1992). Tentu ini dapat menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat jika mikroorganisme yang berasal dari peternakan tersebut terbukti mengandung dan menjadi pembawa gen-gen resisten terhadap berbagai jenis antimikrobial (multiple resistant).

Tidak banyak publikasi ilmiah yang melaporkan resistensi antimikrobial di peternakan atau produk ternak di Indonesia, akan tetapi fakta yang terjadi di manusia menunjukkan bahwa hal ini telah menjadi “emerging”. Beberapa studi melaporkan kejadian resistensi antimikrobial pada isolat-isolat Escherichia coli (E. coli) yang diisolasi dari pasien di rumah sakit, dengan prevalensi resistens cukup tinggi terjadi pada ampicillin, trimethoprim-sulfamethoxazole, ciprofloxacin, dan chloramphenicol (Lestari et al., 2008). Suandy et al (2011) melaporkan prevalensi resistensi antimikrobial pada bakteri komensal E. coli yang diisolasi dari daging ayam broiler segar yang berasal dari peternakan sektor 3 di daerah Kota Bogor, Jawa Barat. Dari total 402 isolat, 98% di antaranya bersifat resisten terhadap minimal satu jenis antimikrobial, dengan prevalensi “multiple resistant” tertinggi diperoleh pada 3 dan 4 golongan antimikrobial. Fakta di atas mengindikasikan adanya suatu ancaman serius terkait kesehatan masyarakat, dan untuk itu dibutuhkan suatu langkah strategis guna menekan dan mengendalikan resiko resistensi antimikrobial di masyarakat.

Walaupun hal tersebut di atas disadari sebagai suatu ancaman, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa antimikrobial telah berperan penting terhadap kemajuan dunia peternakan. Bahkan hampir tidak mungkin untuk melarang penggunaan antimikrobial di peternakan, sehingga bagaimanapun juga kehati-hatian dalam penggunaan antimikrobial (prudent use of antimicrobial) mutlak diperlukan. Untuk itu dibutuhkan langkah-langkah yang berimbang dalam mengendalikan ancaman tersebut. Dalam hal ini peranan pemerintah sebagai regulator sangat diperlukan untuk dapat merangkul semua pihak yang terlibat dalam rantai produksi peternakan. Pembinaan dan edukasi bagi peternak unggas komersil skala kecil terkait dampak penggunaan antimikrobial juga perlu diinisiasi.

 

Bahan Bacaan

Acar, J.F., Moulin, G. (2006): Antimicrobial resistance at farm level. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz. 25 (2), 775-792.

Brady, M.S. and Katz, S.E. (1992): Incidence of residue in foods of animal origin.
In analysis of antibiotic/drug residues in food  products of animal origin.
V.K. Agarwal (Ed.). Plenum press, New York. P. 5 – 21.

Cohen, M.L. (1992): Epidemiology of drug resistance: implications for a post-antimicrobial
era. Science. 257 (5073), 1050–1055.

Gustafson, R. H., Bowen, R. E. (1997): Antibiotic use in animal agriculture. Journal of
Applied Microbiology.
83:531–541.

Kang, H.Y., Jeong, Y.S., Oh, J.Y., Tae, S.H., Choi, C.H., Moon, D.C., Lee, W.K., Lee, Y.C.,
Seol, S.Y., Cho, D.T., Lee, J.C. (2005): Characterization of antimicrobial resistance and
class 1 integrons found in Escherichia coli isolates from humans and animals in Korea.
J. Antimicro. Chemo. 55 (5), 639-644.

Lestari, E.S., Severin, J.A., Filius, P.M.G., Kuntaman, K., Duerink, D.O., Hadi, U., Wahjono,
H., Verbrugh, H.A. (2008): Antimicrobial resistance among commensal isolates of Escherichia coli
and Staphylococcus aureus in Indonesian population inside and outside hospitals.
Eur. J. Clin. Microbiol. Infect. Dis. 27, 45 – 51.

Murdiati, T.B., and S. Bahri. 1991. Pola penggunaan antibiotika dalam peternakan ayam
di Jawa Barat, kemungkinan hubungan dengan masalah residu. Proceedings Kongres
Ilmiah ke 8 ISFI
, Jakarta 1991:445-448.

Suandy, I., Lampang, K.N., Paulsen, P. (2011). Antimicrobial resistance of Escherichia coli
in sector 3 fresh broiler meat in Bogor, Indonesia. Proceeding of The 2th International
Food Safety and Zoonoses Symposium CMU-FUB, Chiang Mai, Thailand July 2011:61 – 65.

WHO (World Health Organization) (2000): WHO global principles for the containment
of antimicrobial resistance in animals intended for food: Report of a WHO consultation
with the participation of the Food and Agriculture Organization of the United Nations
and the Office International des Epizooties, Geneva, Switzerland, 5-9 June 2000
(WHO/CDS/CSR/APH/2000.4).

Kembali ke Atas | Editorial | Opini | Artikel | Fokus

 

Emerging Foodborne Zoonoses: Tantangan Baru bagi Sistem Keamanan Pangan

Oleh: Hadri Latif

 

Perhatian dunia dalam bidang kesehatan hewan dan manusia pada beberapa tahun terakhir ini sangat tersita dengan munculnya sejumlah penyakit zoonotik atau zoonosis (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya) terutama yang sifatnya emerging atau re-emerging. Konsultasi bersama WHO, FAO, dan OIE terkait zoonosis yang diselenggarakan di Jenewa, pada tanggal 3-5 Mei 2004, mendefinisikan emerging zoonosis sebagai zoonosis yang baru diketahui atau baru berkembang, atau yang telah terjadi sebelumnya tetapi menunjukkan peningkatan kejadian atau penyebaran secara geografis, host atau vektor. Diantara sejumlah emerging zoonosis yang ada, tidak sedikit yang dapat ditularkan melalui pangan atau disebut sebagai emerging foodborne zoonosis. Umumnya kejadian emerging foodborne zoonosis bukan disebabkan oleh munculnya agen atau spesies patogen baru melainkan akibat munculnya serotipe atau strain baru dari spesies yang telah diketahui, perubahan sifat dari spesies patogen tertentu (misalnya resisten terhadap antibiotika dan desinfektan tertentu), perubahan faktor virulensi, perubahan host target dari agen penyakit, perubahan pola transmisi penyakit, atau agen sejak lama ada namun baru dapat dideteksi akibat kemajuan ilmu penegetahuan dan teknologi. Salah satu atau gabungan dari beberapa faktor tersebut kemudian menimbulkan “penyakit baru”, atau kasusnya mengalami peningkatan secara signifikan di beberapa wilayah atau negara.

Kejadian foodborne zoonosis mengalami peningkatan pada beberapa tahun atau dekade terakhir di banyak negara, terutama yang disebabkan oleh bakteri (Escherichia coli, Salmonella spp, Campylobacter spp. dan Listeria monocytogenes) dan virus (terutama Norovirus dari family Caliciviridae). Begitu juga dengan “ancaman” bovine spongiform encephalopathy (BSE) yang disebabkan oleh prion, dan meningkatnya kejadian foodborne zoonosis yang bersifat toxicoinfection, terutama yang disebabkan oleh toksin asal bakteri. Kondisi tersebut tentunya akan menjadi masalah sekaligus tantangan baru dalam sistem keamanan pangan global.

Munculnya emerging foodborne zoonoses sebenarnya tidak sepenuhnya disebabkan karena gagalnya atau tidak diterapkannya sistem keamanan pangan di suatu negara, melainkan karena tantangan dalam sistem kemanan pangan yang semakin meningkat dan beragam. Hal ini ditunjukkan dengan kejadian foodborne zoonosis yang tidak hanya terjadi di negara berkembang, tapi juga di negara maju yang telah menerapkan sistem keamanan pangan di industri pangan mereka. Sebagai ilustrasi, outbreak yang disebabkan oleh E. coli serotipe O104:H4 pada bulan Mei hingga Juni 2011 di sejumlah negara Eropa (terutama di Jerman). Beberapa “kenyataan baru” yang dapat kita cermati dari outbreak tersebut diantaranya adalah: (1) emerging foodborne zoonosis dapat terjadi di semua wilayah atau negara, bahkan di negara yang sangat “disiplin” dalam menerapkan sistem keamanan pangan sekalipun; (2) sumber agen penyakit pada outbreak oleh E. coli di Jerman berasal dari negara lain (Spanyol), begitu juga dengan korban atau penderita dari outbreak tersebut, yang tidak hanya dari negara setempat, melainkan berasal dari beberapa negara bahkan lintas benua. Ini menunjukkan bahwa perdagangan global dan pergerakan global manusia memiliki peran signifikan dalam terjadinya penyakit; (3) enterohaemorrhagic E. coli (EHEC) selama ini selalu dikaitkan dengan shiga toxin-producing E. coli O157:H7 (STEC O157:H7), namun outbreak E. coli di Jerman disebabkan oleh serotipe O104:H4 yang belum pernah dilaporkan sebagai penyebab outbreak; (4) berdasarkan hasil analisis genomik diketahui bahwa agen penyebab (STEC O104:H4) bukanlah strain EHEC “murni” melainkan strain “hybrid” dengan strain enteroaggregative E. coli (EAEC atau EaggEC) (Robert Koch Institute 2011; University Medical Centre Hamburg-Eppendorf and BGI-Shenzhen 2011). Selain menyebabkan mortalitas tinggi, strain ini juga menyebakan hemolytic uremic syndrome (HUS) yang lebih tinggi yaitu hamper 30% dari penderita, dibandingkan dengan infeksi oleh serotipe O157:H7 yang hanya menyebabkan HUS sekitar 5%. Hal ini menunjukkan bahwa mikroorganisme yang sebelumnya telah diketahui dapat mengalami perubahan faktor virulensi dan patogenitas atau memunculkan strain baru yang lebih pathogen; (5) serotipe ini sejatinya bukanlah starin yang umum menginfeksi manusia, melainkan strain yang umum ditemukan pada hewan. Jadi sangat mungkin sumber infeksi pada outbreak ini berasal dari hewan, yang kemudian secara langsung atau tidak langsung mengkontaminasi pangan yang bukan asal hewan.

Outbreak EHEC/EAEC di Jerman bisa dijadikan sebagai pelajaran sekaligus pengalaman untuk mengevaluasi dan mengembangkan sistem keamanan pangan nasional di Indonesia. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tingginya ancaman penyakit zoonotik yang ditularkan melalui pangan, bisa jadi merupakan akumulasi dan interaksi dari berbagai faktor, termasuk faktor di luar lingkup teknis sistem keamanan pangan. Perubahan pola konsumsi manusia, perdagangan bebas dan “arus” wisatawan yang tidak mengenal batas negara, perubahan industri dan teknologi, adaptasi mikroorganisme akibat perubahan lingkungan (perubahan demografi, konversi hutan menjadi lahan pertanian atau pemukiman) yang menyebabkan munculnya patogen baru dan perubahan patogenisitas beberapa strain mikroorganisme merupakan sejumlah faktor di luar lingkup teknis sistem keamanan pangan yang perlu mendapat perhatian. Oleh karena itu, penerapan sistem kemanan pangan perlu terus dikembangkan dan diadaptasikan dengan kondisi di luar sistem keamanan pangan konfensional agar bisa mengantisipasi kejadian foodborne zoonosis yang penyebab serta ancamannya mengalami perubahan secara terus-menerus dan berkembang sangat dinamis.

Untuk itu strategi pencegahan dan pengendalian emerging foodborne zoonosis di suatu negara, termasuk di Indonesia sebaiknya dilakukan dengan mengintegrasikan faktor teknis sistem keamanan pangan di “dalam industri pangan” seperti penerapan Good Hygiene Practices (GHPs) dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), dengan faktor lain di “luar industri pangan” seperti kontrol penggunaan antibiotika di hewan dan manusia untuk mencegah terjadinya resistensi dan mutasi mikroorganisme, penguatan regulasi terkait importasi produk hewan, penguatan sistem surveilan agen penyakit di hewan dan di manusia, monitoring strain mikroorganisme patogen di hewan dan manusia serta interaksinya, penguatan kapasitas dan kemampuan laboratorium pengujian (sumber daya manusia, metodologi, dan fasilitas pengujian), serta penguatan kerjasama antara bidang kedokteran hewan dan kedokteran manusia di berbagai instansi swasta, pemerintah dan perguruan tinggi.

 

*) Staf Pengajar di Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet FKH IPB, Pendiri CIVAS

Kembali ke Atas | Editorial | Galeri | Artikel | Fokus

 

Peranan ALOP dalam Industri dan Keamanan Pangan

 Oleh: Erianto Nugroho

 

Penyakit yang disebabkan patogen asal pangan (foodborne zoonosis) sampai saat ini tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat dunia. Penyakit asal pangan umumnya disebabkan oleh bahaya (hazard) mikrobiologik, terutama bakteri, parasit, virus atau toksin. Tujuan keamanan pangan berupa upaya penghilangan semua patogen asal pangan sesungguhnya sangat sulit dicapai, baik oleh negara sebagai pengelola kesehatan masyarakat maupun oleh industri. Sebagai contoh, larangan terhadap suatu jenis pangan tertentu seperti susu mentah tanpa pasteurisasi mungkin bisa diterima oleh beberapa negara tetapi tidak oleh negara lain yang sudah maju. Semua negara berkeinginan untuk menurunkan tingkat kejadian penyakit asal pangan, tetapi sebagian besar negara tidak secara eksplisit menyatakan sampai tingkat mana penyakit asal pangan tersebut dapat diturunkan.

Konsep Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) telah menghasilkan banyak perbaikan dalam upaya memproduksi pangan yang aman, karena fokus kepada bahaya‐bahaya yang ada di dalam suatu komoditi pangan tertentu yang apabila tidak dikendalikan dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat. Agar konsep tersebut berhasil diterapkan, HACCP harus dibangun di atas pondasi good practices seperti Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Hygienic Practices (GHP), yang meminimalkan terjadinya bahaya dalam produk dan lingkungan.

Setelah berbagai metoda digunakan untuk memperkirakan risiko penyakit asal pangan, langkah berikutnya adalah memutuskan apakah risiko tersebut dapat ditoleransi atau perlu diturunkan. Tingkat risiko yang bisa diterima oleh suatu negara yang ditetapkan berdasarkan persyaratan sanitary atau phytosanitary (SPS) dengan tujuan untuk melindungi kesehatan dan kehidupan manusia, hewan, dan tanaman  di wilayah negaranya disebut “Appropriate Level of Protection” (ALOP). Dalam bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan suatu negara hanya bisa menerima risiko penyakit sepanjang tingkat risikonya adalah ALOP.  Kebanyakan negara berkeinginan untuk menurunkan tingkat kejadian penyakit asal pangan dan selanjutnya menetapkan target ALOP. Meskipun ALOP merupakan masalah kedaulatan nasional, akan tetapi hampir sebagian besar negara sulit mendefinisikan ALOP secara tepat  dan begitu juga dalam menerapkan ALOP secara konsisten oleh karena sangat sulit untuk mencapai dan mempertahankannya dari waktu ke waktu.

Gambar diagram berikut ini dapat digunakan untuk menggambarkan secara grafis konsep tingkat perlindungan yang dapat diterima (ALOP)

alop

Risiko merupakan fungsi dari penjumlahan kerusakan yang bisa terjadi dan tingkat kemungkinan dari kejadian tersebut. Setiap titik pada grafik ini (A, B, C, D) menggambarkan risiko dengan tingkatan tertentu. Setiap negara memiliki tingkat risiko sendiri yang dapat diterima. Dalam diagram, garis memisahkan antara risiko yang dapat diterima dan risiko yang tidak dapat diterima. Risiko yang dapat diterima terletak di bawah dan ke kiri garis, sedangkan risiko yang tidak dapat diterima terletak di atas dan ke kanan garis. Garis pemisah tersebut mewakili tingkat maksimum risiko yang dapat ditolerir suatu negara, dan garis ini bisa disebut sebagai batas maksimum tingkat perlindungan yang dapat diterima (ALOP). Gambar diagram grafis ini hanya untuk tujuan ilustrasi.

Risiko SPS seharusnya  dikelola secara konsisten (perbedaan yang melampaui batas sedapat mungkin dihindari), sehingga konsekuensi risiko terletak di sekitar garis ALOP. Konsep ALOP adalah salah satu yang sifatnya sentral dalam kesepakatan SPS, dan konsistensi dalam pengelolaan risiko SPS sangat penting untuk menjamin efektivitas perjanjian. Negara pengimpor yang menerapkan persyaratan yang lebih ketat untuk bahaya tertentu (misalnya bakteri patogen) akan diminta untuk menetapkan ALOP sesuai dengan perjanjian SPS. Lebih dari 100 negara telah menandatangani perjanjian SPS dari World Trade Organization (WTO). Perjanjian ini menyatakan bahwa walaupun suatu negara memiliki kedaulatan untuk memutuskan tingkat perlindungan yang diinginkan bagi rakyatnya, tetapi negara tersebut harus menyediakan bukti ilmiah tentang tingkat perlindungan yang diinginkan apabila diperlukan. Dengan demikian apabila suatu negara berkeinginan untuk menetapkan suatu kriteria standar mikrobiologi atau batas‐batas lainnya, negara tersebut harus mampu menjelaskan pertimbangan risiko, sosial, rasional, dan justifikasi lainnya tentang kriteria yang dipilih berdasarkan data ilmiah. Perjanjian WTO lainnya yaitu Technical Barrier to Trade juga mensyaratkan bahwa suatu negara tidak boleh meminta tingkat keamanan yang lebih tinggi untuk produk yang diimpornya daripada persyaratan yang ditetapkan bagi produk domestik.

Berdasarkan perjanjian tersebut, setiap anggota WTO bebas untuk memilih apakah sikap yang dipilihnya itu akan memiliki risiko yang berkaitan dengan hama dan penyakit, toksin dalam makanan, dan lain sebagainya. Akibatnya, pilihan tersebut merupakan aras timbal balik antara kemungkinan manfaat yang diterima dari impor perdagangan bebas dan biaya yang berkaitan dengan pengenalan eksotis hama dan penyakit sebagai konsekuensi perdagangan. Pilihan ini harus dibuat sejalan dengan manfaat perdagangan bebas dan risiko SPS secara keseluruhan dan manfaat perizinan perdagangan bagi komoditas tertentu dari negara tertentu. Namun pada hakekatnya, tidak ada negara yang dapat mengekspresikan ALOP dengan tepat, dan tidak ada negara yang dapat menarik perbatasan ALOP seperti pada diagram.

 

Bahan Bacaan:

[ICMSF]. The International Commission on Microbiological Specification for Foods.
2002. Microorganisms in Food 7. Microbiological testing in food safety management.
Kluwer Academic/Plenum Publishers. New York, USA

ITC Business Briefing of Trade Policy. 2011. Sanitary and Phytosanitary Measures Part 21.

Du, MM. 2010. Autonomy in Setting Appropriate Level of Protection under the
WTO Law: Rhetoric or Reality?. http://jiel.oxfordjournals.
org/content/13/4/1077.abstract.

Kembali ke Atas | Editorial | Galeri | Opini | Fokus

 

Enterobacter sakazakii

Oleh: Sunandar 

Morfologi E.sakazakii

 

Enterobacter sakazakii pertama kali dikenal pada tahun 1980 sebagai spesies dari genus Enterobacter, merupakan  bakteri berbentuk batang, tidak berspora, bersifat motil karena memiliki flagella peritrik, fakultatif anaerob (Farmer dan Kelly, 1992). Kemudian pada tahun 2007, Berdasarkan hasil penelitian (Iversen et al., 2007) ditemukan klasifikasi dari E. Sakazakii adalah termasuk dalam genus baru yaitu Cronobacter. Klasifikasi E. sakazakii sebagai berikut:

  • Kingdom         : Bacteria
  • Phylum            : Proteobacteria
  • Kelas                : Gamma Proteobacteria
  • Ordo                : Enterobacteriales
  • Famili              : Enterobacteriaceae
  • Genus              : Enterobacter
  • Spesies            : Enterobacter sakazakii

e_sakazakii

Sumber: Kane V. 2004

Koloni Enterobacter sakazakii pada media TSA

Epidemiologi E.Sakazakii

Kejadian di dunia pada umumnya

E. sakazakii pertamakali ditemukan pada tahun 1958 pada 78 kasus bayi dengan infeksi meningitis.  Sejauh ini juga dilaporkan beberapa kasus yang serupa pada beberapa Negara. Peningkatan kasus yang besar di laporkan terjadi di bagian Neonatal Intensive Care Units (NICUs) beberapa rumah sakit di Inggris, Belanda, Amerika dan Kanada.

Amerika Serikat FoodNet survei 2002 (C Braden, komunikasi pribadi, 2004) memperkirakan bahwa tingkat infeksi E. sakazakii pada bayi dilaporkan adalah 1 per 100 000, sedangkan tingkat rendah antara berat lahir neonatus adalah 8,7 per 100 000.  Sebuah laporan dalam literatur berbahasa Inggris-1961-2003 menemukan bahwa 25 dari 48 kasus (yaitu 52%) E. sakazakii yang diinduksi penyakit berada di antara bayi berat lahir rendah.

Secara kolektif, ada sekitar 120 kasus individual didokumentasikan pada bayi dan anak-anak kurang dari 3 tahun. Data yang tersedia tidak memungkinkan rincian rinci jumlah kasus per bulan untuk bayi. Namun, ada beberapa data surveilans laboratorium untuk Inggris dan Wales, berdasarkan data tersebut diketahui tingkat kejadian perkiraan tahunan untuk neonatus adalah 17,60 per juta penduduk selama periode 1992-2007. Untuk bayi usia 1-11 bulan, tingkat kejadian diperkirakan adalah 2,06 per juta penduduk, dan di antara anak-anak 1-4 tahun, 0,70 per juta penduduk (FAO and WHO 2008).

Kejadian di Indonesia

Sedangkan infeksi Enterobacter sakazakii di Indonesia, Menkes mengatakan hingga kini tidak ada laporan kasus infeksi (Republika, 2011)

Etiologi E.Sakazakii

Infeksi E. sakazakii dapat menyebabkan meningitis, septikemia, dan necrotizing enterocolitis pada bayi (White, 1997).  E. sakazakii dapat menyebabkan penyakit pada semua kelompok umur walaupun kasus banyak terjadi pada bayi, bayi yang memiliki risiko tertinggi terinfeksi yaitu: prematur dan bayi dengan berat badan lahir rendah dan baru lahir hingga 28 hari.   Angka kematian akibat infeksi E. sakazakii mencapai 40-80%, 50% dilaporkan meninggal dalam waktu satu minggu setelah diagnosa.

 

E. sakazakii dalam pandangan Kesehatan Masyrakat Veteriner

E. sakazakii saat ini belum diketahui. Tetapi keberadaannya sangat erat dengan produk susu bubuk, keju, makanan bayi, daging cincang, sosis, dan sayuran. E. sakazakii tumbuh pada suhu minimum berkisar 7 – 8 0C. Waktu generasi E. sakazakii 40 menit pada suhu 230C, dan 4,98 jam pada suhu 10 0C . E. sakazakii tidak dapat tumbuh pada suhu 40C, tumbuh optimal pada suhu 400C dan tumbuh minimal pada suhu 550C (White, 1998). Cara perlakuan aseptik serta pengaturan suhu dapat mengendalikan kontaminan E. sakazakii.

Pada tahun 2008, muncul berbagai berita mengenai tercemarnya produk susu formula bayi oleh bakteri Enterobacter sakazakii sehingga menimbulkan kekhawatiran dimasyarakat.  Adanya cemaran susu formula oleh E. sakazkakii diduga bisa terjadi oleh kontaminasi eksternal yaitu penanganan yang buruk saat merekonstitusi susu formula dengan air atau kontaminasi internal selama produksinya. Pencemaran selama produksi kemungkinan terjadi setelah proses pasteurisasi susu yaitu selama pengeringan, selama pencampuran kering dan atau pengemasan.

Untuk menghindari terjadinya pencemaran E. sakazakii pada produk susu formula, maka dibuat suatu panduan yang dikeluarkan oleh Codex pada tahun 2008. Panduan tersebut mensyaratkan pengujian bakteri E. sakazakii yang sebelumnya tidak dipersyaratkan di mana pun di seluruh dunia. Persyaratan produksi dan pengujiannya relatif ketat, meski tidak seketat untuk Salmonella yang dianggap lebih tinggi frekuensi kasus infeksinya. Panduan Codex tersebut mensyaratkan untuk tiap lot produksi dilakukan pengujian sebanyak 30 sampel masing-masing 10 g dan tidak boleh ada satu sampel pun yang terdeteksi mengandung E. sakazakii. Jika ditransformasikan secara statistika berdasarkan ICMSF (2002) maka suatu lot susu formula akan tidak boleh diperdagangkan jika rata-rata jumlah E. sakazaki-nya lebih dari 1 dalam 278 g susu. Panduan bagi konsumen maupun rumah sakit lebih dititikberatkan pada praktik sanitasi yang baik bagi orang (pekerja), air, botol yang digunakan untuk merekonstitusi susu formula serta pembatasan waktu untuk tidak menyimpan susu formula yang telah direkonstitusi pada suhu kamar lebih dari 2 jam. Sebagai tambahan, beberapa negara juga mengadopsi panduan dari WHO (2007) yang merekomendasikan rekonstitusi dengan menggunakan air bersuhu 70 derajat C untuk meminimalkan risiko patogen ini.

 

Upaya Pencegahan

Selain itu dalam upaya pencegahan infeksi E. sakazakii, konsumen juga harus diberikan pengetahuan tentang bagaimana penanganan, penyimpanan dan persiapan produk-produk yang dapat tercemar.

 

Bahan Bacaan

Farmer J.J III, Asbury MA, Hickman FW, Brenner DJ, The Enterobacteriaceae Study
Group (USA) (1980). “Enterobacter sakazakii: a new species of “Enterobacteriaceae”
isolated from clinical specimens”. Int J Syst Bacteriol 30: 569–584.

FAO and WHO. 2008. Enterobacter sakazakii (Cronobacterspp.) in powdered follow-up
formulae: meeting report.

Iversen C, Lehner A, and Mullane N. (2007). “The taxonomy of Enterobacter sakazakii:
proposal of a new genus Cronobacter gen. nov. and descriptions of Cronobacter sakazakii
comb. nov. Cronobacter sakazakii subsp. sakazakii, comb. nov., Cronobacter sakazakii
subsp. malonaticus subsp. nov., Cronobacter turicensis sp. nov., Cronobacter muytjensii
sp. nov., Cronobacter dublinensis sp. nov. and Cronobacter genomospecies 1″.
BMC Evol Biol 7: 64.

Kane V. 2004. Faster Detection of Enterobacter sakazakii in Infant Formula.

http://www.oxoid.com/uk/blue/

press/press.asp?art=Y&amp
;arch=Y&pRef=
pr014304&c=UK&lang=EN&yr=2004

White-M. Nazarowec and J. M. Farber. 1997. Enterobacter sakazakii: a review.
International Journal of Food MicrobiologyVolume 34, P. 103-113

White. Maria Nazarowec. 1998. Biological Characterization of Enterobacter sakazakii.
Desertation. Ottawa-Carleton Institute of Biology. Canada.

WHO. 2004. Enterobacter sakazakii and other microorganisms in powdered infant
formula: meeting report, MRA Series 6.  http://www.who.int/entity/
foodsafety/publications/micro/es.pdf

Kembali ke Atas | Editorial | Galeri | Artikel | Artikel

Tinggalkan Balasan

Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.

EDISI 4

by Civas time to read: 15 min
0