Penyalahgunaan Antibiotik di Peternakan Ayam Broiler
Jumat, 16 Juli 2021
Jakarta – Peternak ayam broiler rata-rata menggunakan antibiotik untuk mencegah penyakit. Padahal, antibiotik hanya boleh digunakan untuk pengobatan. Pemakaian yang tidak tepat memicu kemunculan bakteri kebal antibiotik.
Investigasi Kompas bekerja sama dengan World Animal Protection (WAP), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) mengungkap kemunculan bakteri kebal antibiotik pada daging ayam broiler.
Sementara itu, penelusuran di sejumlah peternakan ayam broiler di Jawa Barat pada Mei hingga awal Juni lalu menemukan, peternak plasma dengan sokongan perusahaan peternakan besar sebagai inti, terbiasa menggunakan antibiotik dalam jumlah besar dan tidak tepat.
Peternak menggunakan antibiotik saat ayam dalam kondisi sehat. Antibiotik digunakan bukan untuk keperluan terapi atau pengobatan penyakit, dan diberikan dalam jumlah besar dengan dosis yang kontinyu pada setiap siklus panen.
Antibiotik merek Baytril yang mengandung antibiotik Enrofloxacin ditemukan di peternakan ayam broiler milik U di Bandung, Jawa Barat, Jumat (28/5/2021). Antibiotik ini digunakan untuk pencegahan penyakit pada ayam berusia 2-4 hari.
Waktu pemberian antibiotik sangat variatif. Sebagian peternak memberikan antibiotik sebagai pencegahan saat ayam berusia 2-4 hari. Sementara yang lain saat ayam usia 8-10 hari.
Kepala kandang salah satu peternakan mitra PT Japfa Comfeed di Subang, SU, menuturkan, antibiotik diberikan saat ayam usia 2-5 hari. Jenis antibiotiknya golongan kuinolon, salah satunya ofloksasin. Antibiotik dicampur minuman dengan perbandingan 1:2. “Rata-rata pakai, jaga-jaga saja,” katanya akhir Mei lalu.
Peternak plasma dengan sokongan perusahaan peternakan besar sebagai inti, terbiasa menggunakan antibiotik dalam jumlah besar dan tidak tepat. Peternak menggunakan antibiotik saat ayam dalam kondisi sehat. Antibiotik digunakan bukan untuk keperluan terapi atau pengobatan penyakit
Kompas mengamati langsung pemberian antibiotik oleh UD, peternak mitra PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPI) di Bandung, Jumat (28/5) pagi. Hari itu adalah hari ke-2 DOC masuk ke kandang. Ada dua metode pemberian antibiotik. Pertama, UD menuangkan antibiotik merek Baytril (enrofloksasin) pada ember berisi 30 liter air. Campuran ini dibagi ke belasan tempat minum portabel. Selanjutnya, UD kembali mencampur Baytril dan air ke dalam gayung kemudian dituang ke 18 tempat minum permanen.
UD juga memberikan antibiotik saat ayam berusia 12-15 hari. Jenis antibiotik yang diberikan Cosumix (sulphachloropyridazine dan trimetoprim) atau Doxysol (doksisiklin hiklat dan colistin sulfat).
Penelusuran Kompas di sejumlah peternakan ayam broiler di Jawa Barat sepanjang bulan Mei hingga awal Juni 2021 menemukan, peternak terbiasa menggunakan antibiotik dalam jumlah besar dan tidak tepat. Peternak juga menggunakan antibiotik saat ayam dalam kondisi sehat.
Sejumlah peternak ayam broiler di Gunung Sindur dan Dramaga Bogor, Jawa Barat, memakai antibiotik Doxerin+ yang berkandungan doksisiklin dan eritromisin, serta obat Enromas yang berkandungan enrofloksasin saat usia ayam masih kurang dari sepekan.
Kepala kandang peternakan ayam broiler di Gunung Sindur, SN mengaku memberi antibiotik merek Colamox sejak ayam berusia 1- 4 hari. Dari informasi di laman jual beli daring, Colamox diketahui mengandung amoksisilin dan colistin.
Temuan pemakaian berbagai antibiotik di sejumlah peternakan masih butuh penelitian lanjutan untuk mengungkap adanya bakteri kebal antibiotik di peternakan ayam broiler. Namun, dari hasil riset CIVAS ditemukan bakteri kebal antibiotik pada sampel sekum (bagian usus) dan karkas (daging) ayam broiler di rumah potong hewan unggas (RPH-U), dan sampel karkas di gerai penjualan produk pangan hewani.
Bakteri Kebal Obat
Hasil riset CIVAS sepanjang November 2020 hingga Mei 2021 mengonfirmasi temuan terjadinya resistansi antibiotik pada rantai pangan ayam broiler. Dalam riset, CIVAS meneliti 120 sampel yang terdiri dari 30 sampel sekum atau bagian usus ayam broiler dari rumah potong hewan unggas (RPH-U), 30 sampel karkas dari RPH-U dan 60 karkas beku dari gerai penjualan yang terafiliasi dengan perusahaan peternakan besar.
Sampel diuji di laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner Kementerian Pertanian. Dari 30 sampel sekum, 21 sampel di antaranya berbakteri Eschericia coli (E. coli). Pengujian sensitivitas menunjukkan adanya resistansi bakteri terhadap lima jenis antibiotik, yakni terhadap meropenem sebanyak 67 persen (14 sampel berbakteri E. coli), sulfametoksazol 48 persen (10 sampel), colistin 33 persen (7 sampel), siprofloksasin 24 persen (5 sampel), dan kloramfenikol 5 persen (1 sampel).
Sementara, isolat E. coli pada sampel karkas RPH-U kebal terhadap colistin 60 persen (12 sampel), sulfametoksazol 45 persen (9 sampel), siprofloksasin 20 persen (4 sampel), dan kloramfenikol 10 persen (2 sampel). Adapun dari total 60 sampel karkas beku di tujuh gerai, 22 sampel di antaranya berbakteri E. coli dan sebanyak 59 persennya (13 sampel) kebal terhadap colistin, 45 persen (10 sampel) kebal sulfametoksazol, 18 persen (7 sampel) kebal siprofloksasin, dan 9 persen (2 sampel) kebal kloramfenikol. Tidak ditemukan bakteri resistan meropenem pada karkas segar RPHU maupun karkas beku gerai.
Temuan ini mengkhawatirkan mengingat daging ayam adalah sumber utama protein hewani bagi masyarakat Indonesia. “Karena nanti dampaknya, kalau kita mengonsumsi produk yang mengandung bakteri resistan, ya tentu kalau kita jatuh sakit karena bakteri resistan itu, tidak ada antibiotik yang bisa digunakan,” ujar Ketua Badan Pengurus CIVAS drh Tri Satya Putri Naipospos, Selasa (29/6).
Tata menuturkan, kejadian antimicrobial resistance (AMR) yang di dalamnya termasuk resistansi antibiotik pada peternakan, dipicu antara lain oleh penggunaan antibiotik yang berlebih di peternakan unggas. “Kalau saya bilang terjadi di sini juga yang namanya overuse. Karena selama puluhan tahun kita terbiasa dengan penggunaan antibiotik pemacu pertumbuhan itu, antibiotic growth promoter (AGP) ya,” katanya.
Karena nanti dampaknya, kalau kita mengonsumsi produk yang mengandung bakteri resistan, ya tentu kalau kita jatuh sakit karena bakteri resistan itu, tidak ada antibiotik yang bisa digunakan
Sejak Januari 2018 pemerintah melarang penggunaan AGP dalam pakan. Larangan ini bagian dari kampanye pencegahan AMR. Meski demikian, masih ada peternak yang diduga memakai AGP sebagai campuran pakan. Salah satu peternak di Bogor, HW, mengaku menggunakan AGP Starter untuk membuat ayam lebih cepat gemuk dalam kurun pertumbuhan.
Colistin
Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Muhammad Munawaroh, pemberian antibiotik kepada hewan ternak yang tidak sakit bisa menyebabkan kemunculan bakteri resistan. “Itu yang sekarang tidak boleh, karena antibiotik itu benar-benar hanya diberikan bila hewannya sakit,” ucapnya, Jumat (21/5) di Jakarta.
Sementara, Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Singgih Januratmoko mengakui, kesadaran peternak terkait AMR baru muncul setelah sosialisasi dari Kementerian Pertanian sekitar tahun 2018. Hingga 2021 pun, pemahaman terhadap hal tersebut belum seragam di kalangan peternak.
Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang juga guru besar ilmu mikrobiologi klinik Universitas Indonesia, Amin Soebandrio, menyoroti temuan E. coli yang sudah kebal dengan antibiotik colistin. Menurut Amin, colistin jadi tumpuan harapan pasien yang sakit akibat infeksi bakteri E. coli, Klebsiella pneumoniae, atau Acinetobacter baumannii. Sejumlah infeksi bakteri itu hampir mengalami situasi pandrug-resistant atau nyaris tidak mempan oleh bermacam antibiotik.
“Colistin resminya di Indonesia belum dipakai. Jadi, di rumah sakit itu kalau mau pakai colistin sebetulnya harus minta izin khusus,” ucap Amin menggambarkan seberapa ketatnya pemakaian antibiotik itu. Pemakaian colistin betul-betul dihindari selama bakteri masih bisa diatasi dengan antibiotik lain.
Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Hari Paraton mengatakan, rumah sakit di Indonesia biasanya memesan colistin ke Singapura hanya pada saat dibutuhkan. Obat ini tidak tersedia di Indonesia karena salah satu efek sampingnya, yakni memicu gagal ginjal.
Karena itu, colistin hanya dipakai jika pasien sudah menghadapi situasi antara hidup dan mati. “Mereka sudah ketemu yang resistan sama colistin. Nah, kalau dia nanti bakterinya nyeberang ke manusia, mau dikasih apa lagi?” ujar dia.
Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nuryani Zainuddin menyatakan, timnya turut memantau perkembangan pola kemunculan bakteri resistan secara berkala. Seperti pada bakteri E. coli, dia menjelaskan secara penampakan memang terdeteksi resistansi terhadap sejumlah antimikroba. Namun, proporsi antara bakteri resistan dengan yang peka (masih bisa diatasi antibiotik) sangat beragam.
Menurut Nuryani, pola resistansi E. coli terhadap colistin tampak cenderung turun seiring regulasi pelarangan colistin di sektor peternakan beberapa tahun terakhir. Terkait temuan pola resistansi E. coli pada produk pangan hewani di gerai, Nuryani sulit memastikan galur (strain) tersebut memang berasal dari peternakan. Ada banyak faktor risiko kontaminasi di sepanjang rantai produksi hingga sampai ke tingkat gerai.
Pemerintah baru secara resmi melarang penggunaan colistin pada hewan sejak Juli 2020. Namun di lapangan, colistin masih dijual secara bebas, terutama secara daring. Peternak juga masih ada yang menggunakan antibiotik ini.
Tak Terhindarkan
Sementara itu, terkait pemakaian antibiotik di peternakan mitra CPI, Senior Vice President Poultry Production dan Animal Health PT CPI Tbk, Jusmeinidar Jusran mengatakan, praktik itu tak terhindarkan mengingat anak ayam langsung menghadapi risiko terpapar bakteri sejak awal di kandang, salah satunya dari sekam yang dipakai sebagai alas. Masalah lainnya, kelembaban di Indonesia tinggi sehingga memudahkan bakteri tumbuh subur.
Sementara, PT Japfa Comfeed dalam keterangan tertulisnya juga menyatakan, pemberian antibiotik di peternakan plasma saat tiga hari pertama didasari temuan infeksi bakteri pada sejumlah DOC di peternakan. Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi ke DOC lain. Japfa mengklaim telah menerapkan tata laksana budidaya di kandang peternakan mitranya.
Seorang anak buah kandang sedang menurunkan Day Old Chick (DOC) dari boks ke dalam kandangnya di daerah Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada Kamis (27/5/2021).
Kontrol Pemerintah
Manajer Kampanye Peternakan World Animal Protection (WAP) Rully Prayoga menyatakan, penemuan bakteri resistan dalam produk ayam broiler ini seharusnya tidak boleh terjadi. terlebih, bakteri resistan ini ditemukan pada produk ayam yang memiliki Nomor Kesehatan Veteriner (NKV).
“NKV ini sekarang sedang digembar-gemborkan pemerintah sebagai bentuk kontrol keamanan produk pangan,” katanya.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai, temuan bakteri resistan antibiotik pada daging ayam broiler menjadi penanda bahwa ada risiko kesehatan bagi konsumen. Begitu pula dengan temuan bakteri resistan daging ayam broiler yang memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV) dari pemerintah.
“Kami melihat regulasi yang ada saat ini belum cukup efektif membuat satu rantai pasok pangan daging ayam yang aman dari fenomena AMR itu. Kami berharap pemerintah sebagai regulator dapat mengintensifkan pengawasan aspek higiene pada sistem rantai produksi pangan tersebut sehingga tidak membahayakan konsumen,” jelasnya. (Johanes Galuh Bimantara/Fajar Ramadhan/Aditya Diveranta/Khaerudin)
Baca juga: e-paper Kompas Edisi 16 Juli 2021.pdf dan Resistensi Antibiotik di Rantai Pangan
Baca juga: Laporan Studi Resistensi Antimikroba pada Rantai Pangan Ayam Potong
Sumber: Kompas.id