Vets for a Better Life
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies
Friday, 29 March 2024
Tata
Sumber: Kompas

Indonesia Akan Bebas Rabies 2030?

Rabu, 7 Oktober 2020

Oleh:

Drh. Tri Satya Putri Naipospos, M.Phil.,Ph.D.

Penulis adalah Ketua Badan Pengurus Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS)
Ketua 2 Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI)

 

Indonesia tengah berjuang dalam dua puluh tahun terakhir ini untuk menangani penyakit rabies yang berjangkit di hampir sebagian besar wilayah teritorialnya. Pemerintah bersama dengan masyarakat telah berusaha untuk menghadapi ancaman penyakit yang serius ini, tetapi pertanyaannya adalah mengapa rabies masih tetap sulit untuk diberantas di Indonesia?

Seperti halnya dengan Negara-negara lain di Asia, Indonesia merupakan juga negara yang berupaya untuk membebaskan diri dari rabies. Mengingat sifat serius dari ancaman rabies yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini, dengan kematian mencapai sekitar 100 orang per tahun, yang sebagian besar adalah anak-anak.

Tulisan ini ingin mengingatkan kembali tentang pentingnya vaksinasi dan kolaborasi yang efektif dan berkelanjutan, yang perlu terus dipertahankan oleh tiga kementerian yang paling berwenang dalam hal penanganan rabies yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

Hari Rabies Sedunia

Hari Rabies Sedunia diperingati setiap tahun pada tanggal 28 September. Tema tahun 2020 ini adalah fokus pada vaksinasi dan kolaborasi. Secara singkat, tema ini mengingatkan kita kepada tiga isu kunci saat ini yaitu pertama, sasaran dunia untuk mencapai bebas rabies di tahun 2030; kedua, pentingnya vaksinasi anjing dan pemberian profilaksis pasca pajanan untuk korban gigitan; dan ketiga, perlunya dunia bersatu untuk bersama­sama mencapai kesuksesan dalam pemberantasan rabies.

Meskipun epidemiologi rabies telah dipelajari secara intensif dan langkah­langkah yang diperlukan untuk pengendaliannya telah dipahami dengan cukup baik selama bertahun­-tahun, akan tetapi pada kenyataannya selama 16 tahun terakhir terjadi peningkatan kasus rabies pada hewan. Peningkatan kasus yang digambarkan sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan di banyak wilayah negara, terutama di Afrika dan Asia.

Jumlah kematian manusia akibat rabies secara global menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah sekitar 59.000 per tahun. Centres for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat menyatakan sulit untuk mengestimasi total beban rabies secara global dengan hanya menggunakan data kematian manusia. Rabies dalam arti alamiah sebenarnya bukanlah penyakit manusia. Sebaliknya, rabies adalah penyakit yang ditemukan pada hewan domestik dan satwa liar yang dapat menyebabkan kasus pada manusia.

 

Vektor Rabies

Anjing adalah vektor utama untuk rabies pada manusia, dan bertanggung jawab atas lebih dari 95% kasus manusia. Oleh karena itu untuk mengendalikan rabies pada anjing, terutama anjing yang bebas berkeliaran atau liar adalah prioritas pertama untuk pencegahan pada manusia.

Data populasi anjing tidak masuk dalam Sensus Pertanian, karena anjing bukan hewan produksi. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa populasi anjing baik yang berpemilik maupun yang berkeliaran atau liar diperkirakan cukup tinggi di sejumlah wilayah di Indonesia.

Besaran populasi anjing di suatu wilayah pada kenyataannya berkorelasi dengan tingginya jumlah kematian rabies pada manusia. Wilayah­wilayah dengan indikasi seperti itu mencakup Provinsi Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat dan Maluku.

Rabies diketahui berhasil diberantas pada populasi anjing di seluruh wilayah Amerika karena tersedianya vaksin modern dan kepemilikan anjing yang bertanggung jawab. Begitu juga rabies berhasil diberantas pada populasi anjing dan satwa liar darat di negara­negara Eropa Barat. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa rabies sesungguhnya dapat dikendalikan apabila tersedia sumber daya yang cukup dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan rabies.

Mengingat pengendalian rabies di negara­-negara berkembang selalu menghadapi keterbatasan sumber daya dan belum optimalnya partisipasi masyarakat, maka tidak dapat dihindarkan bahwa diperlukan kesungguhan dari pemerintah untuk menjadikan rabies sebagai isu prioritas nasional. Indonesia perlu mengikuti panggilan aksi bersama dan berpartisipasi penuh dalam tekad dunia untuk bebas dari rabies.

 

Vaksinasi Massal Anjing

Menurut Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) dan rekomendasi WHO, persentase kritis yang diperlukan untuk jumlah anjing yang akan divaksinasi untuk mencegah kasus rabies setidaknya harus 70 persen dari populasi. Cakupan vaksinasi populasi anjing untuk 26 provinsi yang dinyatakan endemik di Indonesia saat ini diperkirakan hanya sekitar 30 persen.

Cakupan target 70 persen didukung oleh bukti empiris dan pengamatan teoritis di seluruh dunia yang menyelidiki hubungan antara cakupan vaksinasi dan penurunan kejadian rabies. Di wilayah-­wilayah dengan tingkat pergantian populasi anjing tinggi, dimana terjadi sejumlah besar kelahiran dan kematian anjing, maka cakupan vaksinasi yang tinggi sangat penting dipertahankan untuk menjaga tingkat kekebalan populasi.

Meskipun Pemerintah Indonesia telah berupaya sejak 1967 untuk mengembangkan vaksin rabies hewan dan memproduksinya melalui Pusat Veteriner Farma di Surabaya. Dalam perjalanannya, kualitas vaksin dalam negeri tersebut harus terus diperbaiki dan ditingkatkan agar mampu memberikan perlindungan yang lebih efektif terhadap rabies.

Tantangan yang dihadapi bukan hanya menyangkut perbaikan kualitas vaksin, tetapi juga kuantitas vaksin yang belum memadai untuk memenuhi cakupan 70 persen tersebut di atas. Untuk mengatasi kebutuhan vaksin, maka selama ini juga dimanfaatkan vaksin rabies impor yang kualitasnya baik.

Untuk mendapatkan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dari apa yang telah dicapai saat ini, maka pengendalian rabies secara nasional melalui vaksinasi massal anjing harus difokuskan di tahap awal bagi wilayah­wilayah prioritas, seperti pulau Bali, Flores, Lembata, Nias dan Sumbawa.

Begitu juga provinsi­provinsi yang endemik rabies seperti Provinsi Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Barat. Ditambah juga kabupatenkabupaten di Provinsi Jawa Barat yang masih terus mengalami kasus rabies, seperti Kabupaten Sukabumi, Garut, Tasikmalaya, Cianjur dan Kota Sukabumi.

 

Penguatan Kolaborasi

Dalam pencapaian bebas rabies 2030, maka perlu diperhatikan kompleksitas masalah yang membayangi upaya pencegahan dan pengendaliannya. Pendekatan strategis untuk program­-program yang bertujuan untuk memberantas rabies pada manusia dan hewan harus fokus pada peran berbagai kelompok yang multidisiplin, termasuk dari sektor publik dan swasta.

Penerapan pendekatan multidisiplin kolaboratif yang sering disebut One Health, dapat menjadi langkah yang efektif dalam memerangi rabies, apabila didasarkan atas perencanaan multidisiplin yang tepat, edukasi masyarakat, 70 persen cakupan vaksinasi massal anjing, dan surveilans epidemiologi.

Kurang efektifnya program edukasi masyarakat menghasilkan tingkat kesadaran yang rendah tentang beban penyakit dan penerapan langkah yang diperlukan untuk mencegah dan mengendalikan rabies. Rendahnya kesadaran juga menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam program pengendalian rabies di tingkat lokal. Untuk edukasi publik dan pengendalian yang efektif harus dipertimbangkan faktor sosial, budaya, agama, dan politik setempat.

Pembersihan dan manajemen luka gigitan anjing yang tepat, dan pemberian profilaksis pasca pajanan sangat diperlukan untuk pencegahan rabies yang efektif pada manusia. Begitu juga peningkatan jumlah vaksin rabies dan operasional vaksinasi pada hewan sangat diperlukan untuk pencegahan rabies yang efektif pada hewan.

Program pemberantasan rabies seharusnya bukan hanya menjadi beban pemerintah, tetapi juga harus dikontribusikan oleh lembaga­lembaga nonpemerintah, seperti asosiasi farmasi, asosiasi profesi, organisasi kesejahteraan hewan atau penyayang binatang dlsbnya. Disamping itu diperlukan keterlibatan industri vaksin, industri pariwisata, industri perhotelan dlsbnya. Begitu juga mitra dengan kelembagaan internasional seperti WHO, OIE, FAO dan Aliansi Global untuk Pengendalian Rabies (GARC).

 

Sumber: VETNESIA Edisi Agustus 2020 (Download Artikel)

Tinggalkan Balasan

Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.

Indonesia Akan Bebas Rabies 2030?

by Civas time to read: 4 min
0