Vets for a Better Life
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies
Tuesday, 16 April 2024
Andro 1

Rabies: Vaksinasi Bukan Eliminasi

Rabu, 7 Oktober 2020

Oleh:

Drh. Andri Jatikusumah, MSc.

Penulis adalah National Technical Advicer FAO ECTAD Indonesia,
Pengurus Asosiasi Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner Indonesia (AEEVI)
Anggota Badan Pengurus Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS)

 

Rabies adalah salah satu zoonosis tertua yang dikenal oleh manusia. Menurut catatan sejarah Rabies telah dikenal 2300 SM pada zaman Mesopotomia.  Catatan sejarah lain juga  menyatakan bahwa zoonosis sudah dituliskan oleh Democriticus dan Hippocrates pada abad ke-5. Bukti Artifak dari peradaban lain seperti China, India juga mencatat adanya rabies sejak jam dahulu.

Rabies di Indonesia tercatat dalam sejarah di Indonesia ditemukan pertama kali pada akhir abad 19 saat Hindia Belanda masih berkuasa dan rabies masih dapat ditemukan sampai dengan saat ini.  Selama berabad-abad, wabah rabies menyebar ke wilayah lain di Indonesia. Sampai dengan tahun 2019, terdapat 26 provinsi endemis terhadap rabies dengan empat provinsi yang secara historis bebas rabies dan empat provinsi dinyatakan bebas rabies.

Data kementerian kesehatan menunjukan bahwa terdapat lebih dari 50.000 kasus gigitan yang dilaporkan sejak 2009-2018 dengan kasus terbanyak berasal dari provinisi Bali, Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Utara dengan rata –rata kasus yang dilaporkan pada hewan sekitar 1200 kasus per tahun dengan korban kematian antara 90-200 orang setiap tahunnya.

Seperti halnya negara-negara lain yang memiliki permasalahan rabies.  Rabies di Indonesia bersirkulasi di anjing domestik dan sampai dengan saat ini belum ada pelaporan terdapat siklus rabies yang bersifat silvatik di Indonesia.

Lebih dari tiga dekade upaya pemberantasan rabies di Indonesia yang dilakukan pemerintah belum menemui hasil yang cukup signifikan.  Beberapa daerah terutama di pulau Jawa mendapatkan status bebas namun beberapa daerah baru yang bebas secara historis juga terjangkit rabies.  Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur tahun pada tahun 1997, Bali tahun 2008, Pulau Nias di Sumatera Utara tahun 2012 dan Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat tahun 2018.

Peningkatan kapasitas upaya pemberantasan rabies pun semakin ditingkatkan dengan meningkatkan skala program vaksinasi masal pada hewan dan penyediaan vaksin anti rabies atau profilaksis post-exposure dan pre-exposure untuk publik untuk lebih mudah di akses.  Namun hal ini belum tuntas menyelesaikan permasalahan rabies di Indonesia.

Vaksinasi anjing secara massal dipandang sebagai strategi jangka panjang yang lebih hemat biaya daripada ketergantungan pada pemberian profilaksis atau vaksin anti rabies untuk semua korban gigitan.  Argumen logis ini didasarkan pada  fakta bahwa pengendalian rabies  pada asal sumber penyakit merupakan strategi yang tepat sehingga dampaknya bisa dirasakan di hilir yaitu manusia.  Data menunjukkan lebih dari 95% penyakit rabies ditularkan melalui kasus gigitan anjing sehingga ha yang logis dan strategis target pengendalian rabies dilakukan pada populasi anjing.  Hal ini berarti pengendalian rabies pada anjing berarti juga melindungi manusia, ternak dan hewan lainnya.

Namun, pengertian ini dipahami secara dangkal terkait pengendalian rabies langsung dari sumbernya. Banyak orang menganggap pengendalian langsung dari sumber berarti melakukan eliminasi anjing liar yang dianggap sebagai sumber penularan rabies.

Seperti hal nya negara lain, di Indonesia anjing yang diliarkan atau anjing liar menjadi masalah bagi kesehatan lingkungan dan kesehatan masyrakat. Keberadaan anjing liar terutama dengan densitas populasi tinggi dan meresahkan masyarakat dan ketika  terjadi wabah rabies, bukanlah suatu hal yang mengejutkan ketika pemilik otoritas melakukan eliminasi anjing sebagai bentuk respon ketika penyakit rabies mewabah.

Respon wabah terhadap penyakit rabies di Flores tahun 1997 menjadi pembelajaran yang penting untuk Indonesia.  Sejak pelaporan wabah rabies pada tahun 1997, respon awal pemerintah saat itu adalah melakukan eliminasi pemusnahan anjing di desa-desa tertular di Pulau Flores terutama di kabupaten-kabupaten di Flores bagian timur.  Sekitar 70% anjing dari estimasi populasi di musnahkan, namun penyakit ini malah menyebar ke seluruh pulau dalam waktu yang relatif singkat.

Tindakan pengendalian secara praktis dengan melakukan eliminasi populasi anjing hanya akan membantu membatasi penyebaran rabies secara sementara dan tidak memotong siklus penyakit secara tuntas.  Pendekatan eliminasi anjing sebagai strategi pengendalian tidak mempertimbangkan ekologi anjing.  Daerah eliminasi akan terisi kembali oleh populasi anjing baru yang berasal dari anak anjing yang lahir serta anjing baru yang datang dari daerah lain.  Sehingga eliminasi hanya berdampak sementara pada ukuran populasi anjing.

Program vaksinasi massal yang dicampur dengan program eliminasi anjing secara sembarangan pada daerah program vaksinasi rabies beroperasi memungkinkan untuk menghilangkan anjing yang telah divaksinasi sebelumnya.  Hal ini malah mengakibatkan cakupan vaksinasi yang lebih rendah dan kontraproduktif dengan strategi pengendalian yang hanya akan peningkatan penularan rabies seiring dengan pemulihan populasi anjing .

Oleh karena itu, eliminasi bukanlah cara yang efektif untuk mengendalikan rabies, dan lebih buruk lagi, hal tersebut mendisrupsi solusi jangka panjang. Selain itu, penggunaan eliminasi seringkali dapat menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat, terutama jika metode yang tidak manusiawi digunakan.

Kenapa Vaksinasi Anjing Bukan Eliminasi Anjing ?

Apa dasar epidemiologi pemberantasan penyakit menular?

  1. Angka Reproduksi Dasar (kadang-kadang disebut rasio reproduksi dasar, dan dinotasikan R0, r nought) dari infeksi adalah jumlah infeksi sekunder yang dihasilkan secara rata-rata selama periode menularnya, dalam populasi rentan
  2. Prinsip pengendalian dan pemberantasan penyakit menular adalah upaya untuk menurunkan angka R0 menjadi <1 sehingga jumlah infeksi baru akan berkurang seiring berjalannya waktu, yang berakhir dengan lenyapnya penyakit
  3. Angka reproduksi dasar rabies menurut berbagai penelitian adalah 1-2.
  4. Vaksinasi dapat menurunkan R0 menjadi <1 dan memutus rantai penularan

Mengapa vaksinasi anjing dianjurkan dalam pengendalian rabies?

  1. Vaksinasi anjing lebih murah daripada eliminasi anjing
  2. Vaksinasi berdampak pada pengurangan durasi penularan dan intensitas penularan kepada populasi rentan
  3. Vaksinasi akan membentuk kekebalan kelompok yang dapat menurunkan R0

Mengapa eliminasi anjing tidak dianjurkan dalam pemberantasan rabies?

  1. Pengaruh pemusnahan anjing terhadap pemberantasan rabies sangat kecil
  • Rabies masih dapat mempertahankan siklusnya hanya dengan denistas populasi rentan 2 ekor anjing / km2
  • Wabah Rabies masih dapat terjadi dengan kepadatan 5 ekor anjing / km2
  1. Reproduksi anjing sangat cepat, sehingga pengaruh eliminasi sedikit dan hanya bersifat sementara
  2. Pelaksanaan eliminasi seringkali dilaksanakan secara acak, yang seringkali mengakibatkan kematian anjing yang divaksinasi
  3. Pemusnahan anjing sering mendapat tentangan dari masyarakat sehingga menimbulkan resistensi terhadap program pemerintah di lapangan, termasuk program vaksinasi

 

Strategi Vaksinasi

Negara-negara Eropa dan Jepang telah bebas dari rabies pada tahun 1950an hingga awal 1980an.  Negara-negara di Amerika latin juga telah memperlihatkan perkembangan signifikan sehingga sebagian besar negara di benua amerika tidak lagi melaporkan banyak kasus rabies terutama pada manusia dibandingkan di Afrika dan Asia.

Pengalaman negara-negara tersebut telah memberikan pengetahuan kolektif dan mendemonstrasikan startegi yang paling efektif dan pembelajaran apa yang dipetik untuk tidak diulangi oleh negara lain.  Vaksinasi massal pada populasi anjing merupakan strategi utama dalam pemberantasan rabies di negara-negara tersebut.

Namun demikian pelaksanaan strategi vaksinasi massal tidak serta merta harus dilakukan begitu saja tanpa pengetahuan mendasar hal yang lain sehingga startegi vaksinasi massal dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

Informasi tentang ekologi anjing menjadi sesuatu hal yang wajib diketahui.  Informasi kesuburan anjing, informasi perilaku anjing dan dinamika populasi anjing merupakan beberapa informasi yang dibutuhkan jika progam vaksinasi massal ingin dijalankan. Selain itu faktor sosial kultural serta informasi dinamika penularan penularan rabies pada populasi juga menjadi hal yang perlu diketahui untuk efektiftas strategi vaksinasi massal.

Target vaksinasi untuk mencapai cakupan vaksinasi 70% seperti yang dianjurkan oleh FAO dan WHO tentunya memerlukan sumber daya yang tidak sedikit.  Dengan estimasi populasi anjing di Indonesia mencapai lebih dari 10 juta ekor, infrastruktur produksi vaksin rabies untuk hewan dalam negeri menjadi sesuatu hal yang penting dan perlu diperhatikan.  Selain itu sumber daya manusia untuk memasukkan vaksin kedalam tubuh anjing juga menjadi perhatian untuk mencakup seluruh nusantara.

Dalam mencapai target bebas rabies, diperlukan strategi di tingkat nasional dan regional dengan pendekatan One Health dan pelibatan banyak sektor. Pengembangan strategi juga diharapkan tidak hanya didasarkan pada pendekatan konvensional namun juga terobosan yang secara efektif dapat mempercepat target bebas rabies.

Indonesia selayaknya menjadi contoh bagi negara negara di Asia Tenggara untuk mendukung pencapaian target dunia bebas rabies di 2030.  Keterlibatan masyarakat bersama-sama Pemerintah serta lembaga mitra serta kolaborasi semua pihak menjadi kunci untuk mencapai rabies nol kasus di

Indonesia Kolaborasi Berkualitas, Vaksinasi Tuntas, Rabies Bebas

Selamat Hari Rabies Sedunia 2020

 

Sumber: Vetnesia Edisi Agustus 2020 (Download Artikel)

 

Tinggalkan Balasan

Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.

Rabies: Vaksinasi Bukan Eliminasi

by Civas time to read: 5 min
0