Waspadai Penyakit Mulut dan Kuku
Selasa, 16 Oktober 2018
Harga daging sapi yang mencapai Rp 120.000 per kilogram membuat pemerintah “tergiur” melonggarkan aturan impor daging. Muncul wacana membuka keran impor daging dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku, seperti India dan Brasil. Alasannya, harga daging impor dari negara itu relatif murah dibandingkan dari Australia dan Selandia Baru. Selama ini Indonesia mengimpor daging dan sapi dari Australia dan Selendia Baru.
Harga boleh murah, tetapi risikonya tak sebanding dengan devisa yang bisa dihemat. Penyakit mulut dan kuku (PMK) adalah penyakit yang paling ditakuti negara pengekspor ternak dan produk ternak. Selain penularannya sangat cepat dan meluas, kerugian yang ditanggung jika penyakit ini mewabah tak tertanggungkan.
Kedahsyatan penyebaran PMK membuat Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2000 mengeluarkan peringatan waspada terahdap wabah PMK yang jangkauannya melampaui batas kontinen dan bisa memicu krisis global. Munculnya PMK yang menjadi pandemi oleh FAO disebut Pan Asia.
Pan Asian pertama muncul dari India tahun 1990, lalu menyebar ke utara ke Arab Saudi dan seluruh Timur Tengah. Ke selatan, Pan Asia masuk melalui Turki, lalu ke Eropa. Ke timur dan barat menyebar ke Nepal, Taiwan, Bhutan, Tibet dan China. Akhir 1999, Pan Asia menyebar ke hampir seluruh Asia Tenggara. Jepang dan Korea Selatan dinyatakan bebas PMK sejak 1908 dan 1934 tak luput terkena wabah.
PMK atau Aphthae epizooticae adalah penyakit menular yang menyerang sapi, kerbau, babi, kambing, rusa, domba, dan hewan berkuku genap lainnya. Kasus PMK pertama di Indonesia dilaporkan tahun 1887 terjadi sapi perah di Malang, Jawa Timur. Sejak itu, PMK menyebar kemana-mana. Indonesia pun melakukan upaya pemberantasan dan pembebasan PMK tahun 1974-1986. Setelah 16 tahun atau pada tahun 1990, upaya tersebut diakui secara resmi oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia atau Office International des Epizooties (OIE) yang menyatakan PMK tersebut benar-benar hilang dan bebas di Indonesia.
Status ini harus dipertahankan dengan menerapkan aturan ketat dalam impor ternak, produk ternak, bahan asal ternak, dan prosedur karantina. Jangan karena kepentingan sesaat, capaian jangka panjang menjadi hancur.
Sumber: Harian Umum Kompas dan Balai Besar Penelitian Veteriner