Peran Karantina dalam Pengawasan Invasive Alien Species
Jumat, 5 Oktober 2018
Salah satu tugas dan fungsi dari Badan Karantina Pertanian yang melekat pada Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani sesuai dengan Permentan No.43/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian adalah penyusunan kebijakan teknis, pemberian bimbingan teknis dan pemantauan, serta evaluasi di bidang pengawasan Invasive Alien Spesies (IAS) impor, ekspor, serta antar area.
Menurut Convention on Biological Diversity (CBD), IAS are plant, animals, pathogens, and other organism that are non-native to an ecosystem, and which may cause economic or environmental harm or adversely affect human health. Jadi IAS merupakan spesies yang di-introduksi baik secara sengaja maupun tidak dari luar habitat aslinya, yang mampu bertahan hidup dan bereproduksi pada habitat barunya, kemudian menjadi ancaman bagi biodiversitas, ekosistem, pertanian, sosial ekonomi maupun kesehatan manusia pada tingkat ekosistem, individu maupun genetik pada habitat baru tersebut.
Mengingat pentingnya menjaga keanekaragaman hayati Indonesia, maka Indonesia telah meratifikasi Konvensi Keanekaragamana Hayati melalui Undang-Undanga No.5/1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai keanekaragaman Hayati.
Wilayah Indonesia terbagi menjadi dua zoogeografi yang dibatasi oleh Garis Wallace yang memisahkan wilayah oriental (termasuk Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan) dengan wilayah Australia (Sulawesi, Irian, Maluku, NTB dan NTT). Hewan-hewan di wilayah barat/oriental bisa menjadi spesies asing bagi wilayah timur/Australia, begitu juga sebaliknya.
Contohnya adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan satwa eksotik (bukan asli) yang di-introduksi dari luar Papua ke dalam Papua, sehingga membawa beberapa dampak negatif bagi ekosistem di Papua, karena salah satu kebiasaan monyet ekor panjang adalah memakan telur burung Cenderawasih. Hal tersebut berpotensi mengganggu stabilitas keanekaragaman hayati hewani, khususnya terhadap populasi beberapa jenis burung khas Papua, yaitu burung Cenderawasih.
Penyebaran IAS dapat terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja. Penyebaran secara sengaja dapat melalui perdagangan komoditas itu sendiri, sedangkan yang tidak sengaja adalah yang terbawa lalu lintas dengan cara menjadi kontaminan pada komoditas pertanian yang diperdagangkan. Beberapa spesies hewan yang sudah ada di Indonesia yang masuk dalam daftar jenis invasif menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.94/2016 tentang Jenis Invasif adalah Mycocaster coypus Molina/colypu rat, Mustela ermine, Sciurus carolinensis/grey squirrel, Mus musculus/house rat, Rattus rattus/black rat, Cervus elaphus/red deer, Bufo marinus/giant toad, Iguana iguana/green iguana, Phyton molurus bivittatus/burmese phyton, Aedes albopictus/Asian tiger mosquito, dan Anopheles quadrimaculatus.
Badan Karantina Pertanian sebagai entry barrier di tempat pemasukan, perlu melakukan langkah kesiagaan dini terhadap lalu lintas komoditas hewan terutama bagi yang sudah masuk dalam daftar invasif tersebut. Pemasukan spesies asingĀ melalui tempat pemasukan perlu pengawasan karena sifat invasif belum tentu muncul di habitat baru, bisa jadi karena jumlah yang dimasukkan belum cukup untuk menjadi invasif. Pengawasan tentang IAS tidak bisa dilakukan sendiri, tetapi harus dilakukan bersama dengan instansi lain terkait dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam hal menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya IAS, serta menumbuhkan kecintaan terhadap hewan asli Indonesia dan agar tidak melepas-liarkan hewan eksotik ke lingkungan sekitar. Selain melakukan pengawasan terhadap jenis IAS hewan yang dilalu-lintaskan, petugas karantina tetap melakukan tindakan karantina hewan sesuai dengan Undang-Undang No.16/1992 tentang Karantina Hewan dan Tumbuhan, serta sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.82/2000 tentang Karantina Hewan untuk mendeteksi kemungkinan masuk dan tersebarnya Hama dan Penyakit Hewan Karantina (HPHK), sehingga jenis IAS tersebut tetap dapat dinyatakan sehat. (Ririn Setyowati, Medik Veteriner pada Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani)
Sumber: INFOVET Edisi 291 Oktober 2018