Vets for a Better Life
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies
Friday, 29 March 2024
penemuan antibiotik baru
Ilustrasi

AGP or EGP

Sabtu, 5 Mei 2018

Refleksi

ASOHI di awal Mei menyelenggarakan Seminar Nasional Kesehatan Unggas 2018. Temanya “Manajemen Pemeliharaan Unggas Zaman Now.” Seminar diselenggarakan dengan 3 tujuan. Salah satu diantaranya adalah peserta dapat mengetahui tata cara memelihara yang efektif dan efesien pasca diberlakukannya Permentan No.14/2017.

Paling tidak, ada 7 kalangan yang diharapkan hadir sebagai peserta. Kalangan Peternak/Pengusaha Peternakan Unggas ditempatkan pada urutan pertama. Tepat sekali penempatan tersebut. Segmen inilah yang terdampak langsung oleh pemberlakuan Permentan No. 14/2017. Seperti dimaklumi bersama, di dalam Permentan yang berlaku sejak 1 Januari 2018 itu terdapat pelarangan penggunaan Antibiotic Growth Promoters (AGP).

Padahal sejak zaman Old penggunaan antibiotika sebagai pencegahan sudah menjadi tradisi. Pemberian antibiotik melalui air minum yang diindikasikan sebagai tindakan preventif, telah jamak. Bahkan merupakan bagian tak terpisahkan dalam Program Kesehatan Ayam. Kala itu, berbagai argumentasi dilontarkan. Di antaranya, untuk “mencuci dan membersihkan” organ tubuh ayam dari kontaminasi bakteri.

Antibiotika dalam Program Kesehatan Ayam biasanya diberikan untuk anak ayam umur 1-3 hari. Ada pula yang memperpanjang hingga umur 5 hari. Selanjutnya pada periode kritis, yakni: saat vaksinasi, pindah kandang, pergantian pakan, awal produksi, dan puncak produksi telur. Lebih seru lagi, diprogramkan pemberian antibiotika selama 3-5 hari setiap bulan selama ayam petelur dipelihara.

 

Sanksi-Sanksi

Sejak medio 2017 hingga Mei 2018, sekurang-kurangnya terselenggara 10 kali seminar, diskusi teknis, dan forum pertemuan sejenis yang membahas Permentan No. 14/2017. Penyelenggaranya beraneka macam. Ada instansi pemerintah (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan/DJPKH beserta segenap jajarannya), perguruan tinggi, dan organisasi profesi. Ada pula organisasi pelaku usaha, dan bahkan organisasi peternak.

Dalam seminar-seminar tersebut, umumnya yang menjadi salah satu narasumber adalah pejabat di lingkungan DJPKH. Sah-sah dan baik-baik saja bila hal itu terjadi. Sebagai regulator, tentu lebih tepat bila pejabat teknis yang bersangkutan dan menguasai permasalahan bertindak sebagai narasumber.

Berdasarkan pengamatan langsung di beberapa lokasi seminar, sang narasumber piawai menguraikan setiap bab dan membahas pasal demi pasal Permentan yang diundangkan tanggal 12 Mei 2017 itu. Umumnya nada penyampaiannya datar. Namun, ketika sampai Bab IV Ketentuan dan Sanksi, Pasal 26, tensi dan nada bicaranya cenderung meningkat. Apalagi bila membahas sanksi denda dan pidana.

Dalam pertemuan koordinasi Pengawasan Mutu dan Keamanan Pakan Tahun 2018 yang diselenggarakan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur pada tanggal 23 April 2018 di Surabaya, seorang peserta mengajukan pertanyaan. “Mengapa lebih banyak membahas dan menekankan masalah sanksi, dibandingkan solusi?” Padahal implementasi regulasi tersebut di lapangan, memiliki tingkat kompleksitas tinggi.

Menurut hemat perserta yang bertanya tersebut, alangkah bijaknya bila dalam menyampaikan suatu kebijakan (baca: regulasi), aspek pemberi solusi lebih ditonjolkan. Dengan demikian bersifat edukasi dan persuasi. Bukanlah instruksi, apalagi intimidasi.

 

Transformasi

Data Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) mengenai tingkat pengetahuan dan sikap peternak ayam petelur tentang antibiotik dan resistensi menunjukkan 52,5% (rendah); 22,5% (sedang); dan 25% (tinggi). Sedangkan dasar pertimbangan penggunaan antibiotika di peternakan ayam petelur berturut-turut adalah pengalaman sendiri, rekomendasi Technical Service (TS), dan teman peternak lainnya. Rekomendasi/pertimbangan dari Petugas Dinas Peternakan tidak ada (nihil).

Mengenai praktek peternak ayam peterlur terkait penggunaan antibiotika, data CIVAS 55% menggunakan antibiotika sesuai dengan waktu yang ditentukan; 42,5% tidak sesuai; dan hanya 2,5% kadang-kadang sesuai.

Dibutuhkan perubahan tradisi yang signifikan pada peternak dan/atau pekerja kandang dalam pemberian antibiotika untuk ayam. Tradisi penggunaan antibiotika sebagai pencegahan menjadi hanya untuk pengobatan. Sudah barang tentu butuh berbagai upaya yang tidak ringan.

Program edukasi/sosialisasi oleh DJPKH beserta segenap jajarannya perlu dilakukan berkesinambungan. Juga harus melibatkan perguruan tinggi (akademisi), organisasi profesi, organisasi pelaku usaha perunggasan. Outputnya tentu lebih optimal bila program itu dilaksanakan secara terpadu dan bersinergi antar semua pemangku kepentingan.

Melalui program edukasi/sosialisasi tersebut, diharapkan (baca: diharuskan) diberikan alternatif-alternatif solusinya. Tentu saja solusi yang bersifat implementatif. Bukan solusi di awang-awang. Sebut saja, bagaimana perlaksanaan biosekuriti yang praktis, dan juga ekonomis.

Melalui saat ini, mari bertransformasi. Kalau sebelumnya lebih banyak instruksi, intimidasi, dan pengenaan sanksi-sanksi. Mulai saat ini berganti dengan pemberian solusi melalui edukasi, sosialisasi dan persuasi. Bila dulu-dulunya memberikan solusi sifatnya di awang-awang (kurang praktis dan tidak implementatif), kini berubah dengan menawarkan solusi yang aplikatif.

Transformasi yang dilakukan secara terpadu dan bersinergi itu hendaknya benar-benar menyentuh dan mengena langsung pada para pelaku usaha peternakan unggas. Utamanya para peternak itu sendiri dan para pekerja kandangnya (operator kandang).

Bila hal itu tidak dilaksanakan dengan baik dan benar, maka ada risiko-risiko yang harus diterima. Baik risiko yang berderajat berat maupun ringan. Salah satu risiko yang kemungkinan besar terjadi adalah timbulnya sikap apatis dan skeptis: AGP eh EGP (Emang Gue Pikirin). (Heri Setiawan, Dewan Pakar Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia, tinggal di Surabaya)

 

Sumber: INFOVET Edisi 286 Mei 2018

Tinggalkan Balasan

Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.

AGP or EGP

by Civas time to read: 3 min
0