EDISI 7
Kamis, 12 Maret 2015
EDITORIAL - Penyakit Zoonotik pada Satwa Liar
GALERI - Bushmeat dan Zoonosis
OPINI - Perdagangan Hewan dan Munculnya Penyakit Zoonotik
ARTIKEL - Estimasi Populasi Satwa Liar
FOKUS - Peranan Surveilans Penyakit Zoonotik pada Satwa Liar
EDITORIAL
Penyakit Zoonotik pada Satwa Liar
Oleh: M. D. Winda Widyastuti
Penyakit zoonotik (ditularkan dari hewan ke manusia maupun sebaliknya) hingga saat ini masih menjadi salah satu ancaman kehidupan di dunia. Menurut Food Agriculture Organization (FAO), 60% dari penyakit yang baru muncul (new emerging disease) bersifat zoonosis, dan 72% dari penyakit zoonotik tersebut bersumber dari satwa liar. Dengan semakin berkembangnya waktu, perhatian dunia kepada satwa liar menjadi tidak hanya pada aspek konservasinya saja (baik terhadap ancaman kepunahan habitat dan populasinya), namun juga terhadap ancaman terjangkitnya penyakit yang selain juga dapat mengancam kelestarian spesies juga dapat menyebabkan ancaman bagi keselamatan manusia. Beberapa contoh penyakit zoonotik yang dapat bersumber dari satwa liar dan menjadi perhatian dunia antara lain adalah Antraks, Ebola, Flu Burung, dan Rabies.
Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit zoonotik bersumber satwa liar memerlukan rencana yang baik dan komitmen dari berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, para pemerhati lingkungan dan satwa liar, dan masyarakat. Dalam upaya tersebut diperlukan pengetahuan dan pemahaman terhadap berbagai aspek teknis untuk mendukung kegiatan tersebut. Selain itu, pemahaman terhadap aspek sosial dan budaya masyarakat juga sangat diperlukan, mengingat sebagian masyarakat di Indonesia mempunyai kebiasaan mengomsumsi berbagai jenis satwa liar sebagai bagian dari budaya mereka. Selain itu, satwa liar di Indonesia untuk sebagian orang juga digunakan sebagai sumber penghasilan melalui sistem perdagangan.
Salah satu aspek teknis yang sangat penting dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit bersumber satwa liar adalah surveilans. Peranan surveilans menjadi sangat penting terutama untuk melakukan pendeteksian penyakit secara dini, di samping juga fungsi atau peranan lainnya. Dalam pelaksanaan surveilans maupun upaya lainnya diperlukan juga adanya data dasar yang mempunyai validitas yang baik, sehingga penguasaan terhadap strategi penghitungan populasi satwa liar juga sangat diperlukan. Selain itu, peningkatan kesadaran masyarakat melalui berbagai pesan kunci sosialisasi yang dibangun berdasarkan pemahaman yang baik terhadap tingginya risiko penyebaran penyakit zoonotik bersumber satwa liar melalui perdagangan dan kebiasaaan konsumsi satwa liar perlu dilakukan. Hal ini harus didasarkan pada berbagai bukti ilmiah baik di Indonesia maupun dunia, dan pemahaman situasi lokal yang ada di Indonesia.
Kembali ke Atas | Galeri | Opini | Artikel | Fokus
GALERI
Bushmeat dan Zoonosis
Oleh: Loisa
Bahan pangan asal hewan merupakan bagian penting dari diet manusia sejak manusia mulai berburu hewan. Kegiatan perburuan dan perdagangan satwa liar masih banyak terjadi di beberapa daerah di Indonesia dan menjadi permasalahan serius yang harus mendapat perhatian. Perdagangan dan konsumsi satwa liar di Indonesia sudah berlangsung cukup intensif dan semakin meningkat setiap tahunnya, dimana terdapat 50 restoran di Indonesia yang menyediakan menu hidangan satwa liar. Aktivitas terkait perdagangan dan konsumsi daging satwa liar (bushmeat) menimbulkan munculnya risiko penularan penyakit dari satwa liar ke manusia ataupun sebaliknya (zoonosis). Selain perdagangan satwa liar, proses hingga satwa tersebut akan dikonsumsi oleh manusia memiliki peluang menularkan penyakit ke manusia, antara lain proses transportasi, pemasaran, proses pengolahan, sampai satwa tersebut dihidangkan di atas meja. Jumlah seluruh penyakit zoonosis yang sebenarnya tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan lebih dari 200 jenis penyakit zoonotik yang dapat ditularkan dari satwa liar ke manusia maupun sebaliknya.
Satwa liar terlibat dalam penyebaran penyakit zoonotik dan bertindak sebagai ‘reservoir’ utama dari penularan agen patogen ke hewan domestik dan manusia ataupun sebaliknya. Agen penyebab zoonosis pada satwa liar sering disebabkan oleh berbagai jenis bakteri, virus, parasit, dan fungi. Beberapa faktor penyebab timbulnya zoonosis pada satwa liar, antara lain terjadi perluasan populasi manusia dan gangguan terhadap habitat satwa liar, termasuk kegiatan pertambangan dan perambahan hutan, perkembangan teknologi dalam perburuan dengan menggunakan senjata atau jerat kawat, perubahan praktek-praktek pertanian, globalisasi perdagangan, perdagangan satwa liar, pasar daging satwa liar (bushmeat), pasar hewan hidup, konsumsi pangan eksotik, pengembangan eco-tourisme dan akses kedekatan terhadap satwa kebun binatang serta juga kepemilikan satwa peliharaan eksotik.
Risiko penyakit zoonotik yang muncul akibat konsumsi daging satwa liar telah menjadi kepentingan dan perhatian global, dimana konsumsi daging satwa liar di Afrika Tengah dan Amazon yang mencapai 1 – 3,4 juta ton dan 67 – 164 juta kilogram setiap tahunnya. Salah satu penyakit zoonotik yang disebabkan oleh kontak langsung dengan daging satwa primata adalah Simian foamy virus. Virus ini diidentifikasi sebagai retrovirus yang dapat menginfeksi manusia akibat kontak secara langsung. Kejadian atau outbreak virus Ebola di Afrika Barat juga berkaitan dengan kebiasaan penduduk setempat mengonsumsi daging Simpanse.
Di Indonesia kebiasaan mengonsumsi daging satwa liar sering terjadi dengan tersedianya pasar tradisional yang menjual daging satwa liar untuk dikonsumsi, contohnya Pasar Tradisional di Tomohon, Manado. Selain menjual kebutuhan pangan secara umum, pasar ini juga menjual pangan asal satwa yang tidak biasa untuk dikonsumsi, seperti daging ular, daging babi hutan, daging monyet, tikus panggang, dan kucing bakar. Contoh lain yang lebih ekstrim, budaya masyarakat di beberapa daerah yang mengonsumsi otak monyet ekor panjang berumur tua (Macaca fascicularis) yang sudah tidak digunakan untuk atraksi topeng monyet, dimana sangat berisiko penyebaran zoonosis. Beberapa penyakit zoonotik yang disebabkan oleh satwa liar, antara lain hepatitis, tuberkulosa (TBC), rabies, cacing, toksoplasmosis, psittacosis, salmonelosis, leptospirosis, dan herpes. Satwa primata (bangsa kera dan monyet) dapat menularkan penyakit hepatitis, TBC dan herpes. Kasus rabies sering dikaitkan dengan hewan anjing, kucing, kera, kelelawar, dan satwa lainnya. Hampir semua satwa berpotensi menularkan penyakit cacingan dan salmonelosis, misalnya primata, musang, kucing, burung nuri, kakatua, hewan domestik ataupun hewan kesayangan.
Untuk mencegah perluasan penyebaran penyakit zoonotik maka dibutuhkan pencegahan dan pengendalian yang efektif melalui peran berbagai pihak baik pemerintah maupun masyarakat. Pentingnya pembinaan dan edukasi terhadap penduduk/masyarakat sekitar diperlukan terkait dampak penyakit yang ditimbulkan akibat kebiasaan mengonsumsi daging satwa liar yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
Bahan Bacaan:
Galant D, Hawkins L. 2013. Bushmeat: a source of zoonotic disease. UMKC School of Pharmacy.
Naipospos TP. Kebijakan Penanggulangan Penyakit Zoonosis Berdasarkan Prioritas Departemen Pertanian. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Jakarta: Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan.
Posnote. 2005. The Bushmeat Trade. www.parliament.uk/post/home.htm.
Kembali ke Atas | Editorial | Opini | Artikel | Fokus
OPINI
Perdagangan Hewan dan Munculnya Penyakit Zoonotik
Oleh: Erianto Nugroho
Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17% satwa di dunia terdapat di Indonesia, walaupun luas Indonesia hanya 1,3% dari luas daratan dunia. Indonesia menjadi peringkat pertama dalam hal kekayaan mamalia sebanyak 515 jenis dan menjadi habitat lebih dari 1.539 jenis burung. Sebanyak 45% ikan di dunia hidup di Indonesia (Widianto 2014).
Menurut data dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2013 Indonesia menjadi habitat bagi hewan-hewan endemik atau satwa yang hanya ditemukan di Indonesia saja. Jumlah mamalia endemik Indonesia ada 259 jenis, burung 384 jenis dan amphibi 173 jenis. Keberadaan satwa endemik sangat penting, karena jika punah di Indonesia maka itu artinya mereka punah juga di dunia. Selain masalah habitat yang semakin menyusut secara kuantitas dan kualitas, perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia. Lebih dari 95% satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran (Widianto 2014).
Perdagangan hewan/satwa baik hewan peliharaan (domestik) maupun satwa liar akhir-akhir ini sangat ramai baik di dalam maupun di luar negeri. Berbagai macam cara penjualan dilakukan baik secara sembunyi-sembunyi di pasar gelap maupun secara terbuka dengan memanfaatkan media sosial (media online). Pada Januari 2014 tercatat ada 220 iklan yang menawarkan satwa dilindungi melalui media online (Widianto 2014). Pertukaran secara legal biasanya dilakukan untuk kebun binatang, keilmuan pendidikan dan konservasi biasanya lebih sedikit dari yang diperdagangkan secara ilegal. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia dan hampir semua hewan liar yang diperdagangkan menderita penyakit dan bisa berpotensi menular ke manusia (zoonosis).
Sebuah survei dari 1.410 penyakit manusia yang ditemukan 61% adalah zoonosis (Karesh et al. 2005), dan 75% dari penyakit manusia yang ada memiliki kaitan dengan hewan liar. Satwa liar diindikasikan terlibat dalam kebanyakan penyakit zoonosis dan bertindak sebagai ‘reservoir’ utama dari penularan agen patogen ke hewan domestik dan manusia. Hewan eksotis di penangkaran yang terkait dengan zoonosis adalah bagian dari masalah penyakit yang muncul secara global. Hewan eksotis yang menjadi perhatian utama terutama diwakili dalam perdagangan hewan peliharaan, kebun binatang dan sirkus. Di Inggris ada sekitar 42 juta hewan peliharaan eksotik (termasuk ikan) di rumah-rumah pribadi dan sekitar 40 individu hewan sirkus (Warwick et al. 2012).
Munculnya berbagai penyakit zoonosis telah dikaitkan dengan perdagangan dan konsumsi satwa liar oleh manusia serta diperburuk oleh perpindahan satwa liar dan manusia yang terinfeksi melewati batas internasional. Perdagangan satwa liar dan pembukaan lahan menempatkan manusia, ternak, dan satwa liar pada kondisi kontak yang sangat dekat, sehingga penyakit memiliki banyak kesempatan untuk muncul dan menyebar dengan efek yang merugikan untuk kesehatan hewan dan manusia, keanekaragaman hayati dan ekonomi global. Perubahan suhu secara global dan curah hujan akibat perubahan iklim kemungkinan besar dapat mendorong pergerakan beberapa bakteri, parasit, jamur dan virus ke daerah baru dan akan menginfeksi spesies baru dengan cara yang baru. Lebih parah lagi, hilangnya keanekaragaman genetik, stres dan habitat yang terpisah-pisah akan meningkatkan kerentanan populasi satwa liar terhadap penyakit mematikan. Saat ini semakin disadari bahwa zoonosis yang bersumber pada satwa liar menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Munculnya beberapa penyakit baik di dalam maupun di luar negeri seperti Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), Ebola, Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI), menunjukkan adanya hubungan kesehatan antara hewan, manusia dan lingkungan (Swift, et al. 2007).
Pada beberapa literatur (Anonim 2014) dikatakan bahwa hewan sangat berpotensi dalam menyebarkan zoonosis, seperti primata yang memiliki hubungan genetik yang sangat dekat dengan manusia, memiliki beberapa penyakit yang berisiko seperti rabies, herpes B virus, Monkeypox, tuberculosis, bakteri saluran cerna (salmonella, shigella) dan lainnya. Sedangkan hewan pengerat yang merupakan hewan liar yang dipelihara di Eropa, zoonosis yang sering terjadi adalah infeksi dalam bentuk ringan pada kulit seperti scabies, dermatitis (pulicosis), pasteurellosis. Hewan berkantung seperti sugar glider sangat digemari di Eropa, menurut informasi terakhir telah menjadi reservoir untuk bovine tuberculosis. Kalelawar diketahui sebagai reservoir untuk rabies, sedangkan kalelawar buah di Australia dan Malaysia memiliki keterkaitan zoonosis terhadap Hendra dan Nipah virus. Untuk reptil zoonosis yang sering terjadi adalah salmonellosis.
Keprihatinan atas zoonosis saat ini pada hewan peliharaan, telah disuarakan selama puluhan tahun. Brugere-Picoux dan Chomel (2009) menyatakan bahwa sebagian besar penyakit yang munculdi Perancis adalah zoonosis dengan beberapa kasus belum pernah terjadi sebelumnya, dan perdagangan hewan eksotis yang semakin tinggi sebagai hewan peliharaan merupakan faktor yang signifikan. Tempat penjualan hewan peliharaan (pasar) merupakan risiko tinggi terjadinya infeksi dan risiko ini pada dasarnya tidak terkendali. Kebun binatang dan sirkus juga melibatkan risiko zoonosis tapi mungkin relatif rendah karena kunjungan publik dan eksposur/paparan jarang terjadi. Artikel ilmiah baru-baru ini dan laporan yang diterbitkan di Amerika Serikat telah menekankan bahwa kontrol perbatasan tidak memenuhi tantangan mencegah serangan penyakit zoonosis (serta ancaman lain, misalnya untuk pertanian dan satwa liar) dari perdagangan hewan peliharaan eksotis (Locke 2004).
Saat ini jumlah jenis satwa liar Indonesia yang terancam punah menurut IUCN (2011) adalah 184 jenis mamalia, 119 jenis burung, 32 jenis reptil, 32 jenis amphibi, dan 140 jenis. Jumlah total spesies satwa Indonesia yang terancam punah dengan kategori kritis (critically endangered) ada 69 spesies, kategori endangered 197 spesies dan kategori rentan (vulnerable) ada 539 jenis (IUCN 2013). Satwa-satwa tersebut benar-benar akan punah dari alam jika tidak ada tindakan untuk menyelamatkannya.
Tingkat perdagangan dan penyelundupan satwa liar yang dilindungi di Indonesia pada tahun 2012 dilaporkan cukup tinggi. Selama setahun terakhir, organisasi perlindungan satwa ProFauna mencatat perdagangan satwa dilindungi secara online mencapai 303 ekor satwa yang terdiri atas 27 spesies. Secara internasional, perdagangan satwa liar diatur melalui Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) untuk flora dan fauna. Malaysia, Vietnam, Indonesia dan China adalah negara-negara pengekspor utama dari satwa liar tangkapan. Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang merupakan negara-negara pengimpor satwa liar yang signifikan (Naispospos 2010).
Kasus terbaru perdagangan satwa liar yang berhasil digagalkan, yakni penyelundupan 4.000 kura-kura moncong babi asal Papua. Kura-kura tersebut akan dikirim ke Singapura. Selain itu pnyelundupan satwa liar lain juga berhasil digagalkan beberapa waktu lalu dari dua warga Kuwait yang hendak menyelundupkan orangutan, siamang, piton dengan cara dibius dan dimasukkan dalam koper. Sebelumnya penyelundupan satwa langka ekor 27 Cendrawasih dari Papua juga berhasil digagalkan dari seorang warga Jerman (Anonim 2014).
Pemerintah sudah mengeluarkan peraturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU 5/1990). Sanksi pidana bagi orang-orang yang sengaja melakukan pelanggaran seperti menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi seperti yang tercantum dalam pasal 40 ayat (2) UU 5/1990 adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Dari sisi keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa nomor 4 tahun 2014 terkait dengan perburuan dan perdagangan satwa liar secara ilegal. MUI melarang perburuan dan perdagangan satwa liar di Indonesia. Fatwa tersebut mengajak umat Islam di Indonesia untuk melindungi hewan yang terancam punah dengan melestarikan habitat mereka dan membatasi perdagangan ilegal. MUI melarang perdagangan hewan langka karena itu bisa mengganggu keseimbangan ekosistem. Alasan dikeluarkannya fatwa itu dengan pertimbangan, setiap makhluk hidup memiliki hak untuk melangsungkan kehidupannya dan didayagunakan untuk kepentingan kemaslahatan manusia. Memperlakukan satwa langka dengan baik (ihsan), dengan jalan melindungi dan melestarikannya guna menjamin keberlangsungan hidupnya hukumnya wajib.
Bahan Bacaan:
Anonim. 2011. Health risk from new companion animals report. Eurogroup for Wildlife and Laboratory Animals.
Anonim. 2014. Orangutan, gibbons and other animals seized at Soekarno-Hatta International Airport. http://www.traffic.org/home/2014/6/17/orangutan-gibbons-and-other-animals-seized-at-soekarno-hatta.html. [17 Juni 2014]
Brugere-Picoux, L. dan Chomel, B. 2009. Importation of tropical disease to europe via animals and animals products: risk and pathways. Bulletin de I Academie Nationale de Medicine.
Karesh, W., Cook R.A., Bannett, E.L., Newcombe, J. 2005. Wildlife trade and global disease emergence. Emerging Infectious Disease. 11, 1000-1002, Center for Disease Control, Atlanta.
Locke, N. 2004. Zoonotic disease and exotic pets: a public health policy analysis. http://sboh.wa.gov/Portals/7/
Doc/HealthyEnvironments/
Zoonotics_ExoticPets.pdf. [16 Juni 2014]
Naispospos, TPN., 2010. Perdagangan satwa liar dan risiko penyakit zoonosis. http://tatavetblog.blogspot.com/2010/10/perdagangan-satwa-liar-dan-risiko_31.html.
Pavlin B.I., Schloegel L.M., and Dazak P. (2009). Risk of Importing Zoonotic Diseases through Wildlife Trade, United States. Emerging Infectious Diseases.
Swift, L. Hunter, P.R., Lees, A.C., Bell, D.J. 2007. Wildlife Trade and the Emergence of Infectious Diseases. Eco Health Journal Consortium.
Warwick, C., Arena, P.C., Steedman, C., Jessop, M. 2012. A review of captive exotic animal linked zoonoses. Journal of Environment Health Research.
Widianto, E. 2014. 300 ribu satwa liar dunia ada di Indonesia. http://www.tempo.co/read/
news/2014/03/03/206559030/
300-Ribu-Satwa-Liar-Dunia-Ada
-di-Indonesia. [16Juni 2014].
Kembali ke Atas | Editorial | Galeri | Artikel | Fokus
ARTIKEL
Estimasi Populasi Satwa Liar
Oleh: Riana A. Arief
Informasi mengenai populasi satwa merupakan salah satu informasi dasar dalam penentuan berbagai kebijakan terkait satwa liar. Dalam kaitannya dengan konservasi, kelangkaan sebuah spesies ditentukan oleh jumlah satwa yang diperkirakan masih berada di alam. Hal ini juga kemudian mempengaruhi tindakan-tindakan apa saja yang dapat diambil untuk mempertahankan kelestarian satwa tersebut. Dalam kaitannya dengan penyakit, informasi populasi penting untuk menilai besarnya dampak penyakit terhadap keberlangsungan populasi satwa sebagai sebuah spesies atau risiko penularan penyakit dari satwa kepada hewan ternak atau manusia di sekitarnya.
Dua metode yang umum digunakan untuk menghitung populasi satwa liar adalah Mark-Recapture dan Distance Sampling. Prinsip utama kedua metode tersebut adalah mengestimasi probabilitas deteksi satwa yang ada berdasarkan data lapangan. Perlu disadari bahwa deteksi untuk penghitungan satwa tidak sempurna karena satwa liar secara naluriah akan menghindari manusia. Bila informasi probabilitas deteksi ini tidak dipertimbangkan dalam usaha menghitung populasi satwa liar, maka estimasi populasi yang dihasilkan akan selalu lebih rendah dari yang sesungguhnya.
Metode Mark-Recapture dilaksanakan dengan menandai individu secara fisik atau melalui identifikasi foto dan dalam survei-survei selanjutnya mencatat apakah individu yang diamati merupakan individu yang pernah teramati sebelumnya atau individu yang baru. Berdasarkan catatan pengamatan masing-masing individu ini, probabilitas deteksi satwa dan juga beberapa parameter lainnya dapat diestimasi. Beberapa asumsi dasar dari metode Mark-Recapture adalah satwa yang ditandai atau teridentifikasi mewakili populasi yang dipelajari, tanda pada satwa tidak ada yang hilang atau lepas dan tidak ada misidentifikasi satwa yang teramati.
Metode Mark-Recapture dapat dilaksanakan dengan sedikitnya dua kali survei dan dianalisis secara sederhana menggunakan estimator Lincoln-Petersen, namun pelaksanaan survei yang lebih sering dan pengumpulan data pendukung yang lebih lengkap, seperti umur, jenis kelamin, dan informasi individual lainnya dapat meningkatkan kualitas estimasi yang dihasilkan. Salah satu asumsi tambahan yang terikat pada estimator Lincoln-Petersen adalah semua individu dalam populasi memiliki probabilitas deteksi yang sama, namun heterogenitas individual ditemukan dalam banyak studi yang telah dilakukan. Sebagai contoh, satwa dewasa karena ukuran tubuhnya yang lebih besar dan perbedaan perilaku akan memiliki probabilitas deteksi yang lebih besar daripada anakan dan satwa jantan pada beberapa spesies juga lebih mudah terdeteksi daripada betina selama musim kawin.
Di samping masalah heterogenitas individu, survei yang dilaksanakan dalam jangka waktu yang lama, seperti survei tahunan, juga perlu mempertimbangkan dinamika populasi seperti tingkat kematian, tingkat kelahiran, imigrasi ke dalam daerah studi dan emigrasi keluar daerah studi. Kelebihan dari metode Mark-Recapture adalah fleksibilitasnya dalam memfasilitasi estimasi parameter-parameter di atas. Jadi, metode Mark-Recapture dapat dilaksanakan secara sederhana dengan dua kali survei dan keterbatasan-keterbatasan tertentu, akan tetapi metode ini juga dapat digunakan untuk menggambarkan populasi satwa secara lebih lengkap dan rumit.
Metode lain yang umum digunakan untuk mengestimasi populasi satwa di suatu daerah adalah Distance Sampling. Dasar dari analisis menggunakan metode ini adalah bahwa probabilitas deteksi menurun seiring dengan meningkatnya jarak satwa dari pengamat. Berdasarkan pemikiran ini, penurunan probabilitas ini dapat dibuatkan model matematikanya dengan jarak sebagai prediktor sehingga densitas satwa dalam daerah studi dapat diestimasi. Keunggulan dari metode ini adalah survei cukup dilakukan sekali, tanpa harus menandai atau mengidentifikasi satwa secara individual. Pengamatan dapat dilakukan dengan berjalan pada garis (line transect) atau pengamatan pada titik (point transect) dengan syarat lokasi garis dan titik pengamatan dalam daerah studi ditetapkan secara acak. Keterbatasan atau asumsi yang harus dipenuhi untuk metode ini adalah deteksi harus sempurna pada jarak 0 m, satwa teramati pada posisi asalnya atau tanpa terganggu oleh pengamat, dan jarak diukur secara akurat. Beberapa asumsi dasar ini, terutama yang pertama dan kedua, seringkali sulit dipenuhi karena sifat naluriah satwa liar yang menghindari manusia, namun hal ini dapat diatasi dengan pengalamanan dan kreativitas dalam pelaksanaan survei di lapangan. Selain itu, Distance Sampling juga tidak sefleksibel metode Mark-Recapture dalam mengatasi masalah heterogenitas individu terkait probabilitas deteksi.
Spesies prioritas untuk ditingkatkan populasinya
(Sumber: Warta Konservasi Papua Barat)
Estimasi populasi satwa liar merupakan bidang keilmuan yang terus berkembang secara pesat. Pengembangan metode dan model populasi terus dilakukan di kalangan akademisi untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan metode yang ada. Setiap metode yang dijabarkan di atas memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing dan pemilihan metode yang tepat bergantung pada jenis satwa yang dipelajari dan kemampuan personil di lapangan. Program komputer MARK (http://www.phidot.org/software/mark/index.html) dan DISTANCE (http://www.ruwpa.st-and.ac.uk/distance/) dapat diunduh tanpa biaya untuk menganalisis data Mark-Recapture dan Distance Sampling. Sebuah buku panduan untuk pemula juga tersedia untuk program MARK yang membahas sekilas konsep dasar analisis Mark-Recapture dan model-model populasi yang dapat dianalisis menggunakan program ini (http://www.phidot.org/software/mark/docs/book/).Selain satwa liar, metode-metode estimasi populasi ini dapat diadopsi untuk mempelajari hewan domestikyang perilakunya semi-liar dan deteksinya diduga tidak sempurna, seperti anjing masyarakatyang diliarkan.
Bahan Bacaan:
Buckland, Stephen T., David R. Anderson, Kenneth P. Burnham, and Jeffrey L. Laake. Distance sampling. John Wiley & Sons, Ltd, 2005.
Cooch, Evan, and Gary White. “Program MARK: a gentle introduction.”available online with the MARK programme 7 (2006).
Thomas, Len, Stephen T. Buckland, Eric A. Rexstad, Jeff L. Laake, Samantha Strindberg, Sharon L. Hedley, Jon RB Bishop, Tiago A. Marques, and Kenneth P. Burnham. “Distance software: design and analysis of distance sampling surveys for estimating population size.” Journal of Applied Ecology 47, no. 1 (2010): 5-14.
White, Gary C., and Kenneth P. Burnham. “Program MARK: survival estimation from populations of marked animals.” Bird study 46, no. S1 (1999): S120-S139.
Kembali ke Atas | Editorial | Galeri | Opini | Fokus
FOKUS
Peranan Surveilans Penyakit Zoonotik pada Satwa Liar
Oleh: Sunandar
Penyakit zoonotik didefinisikan sebagai penyakit menular yang ditularkan secara alamiah dari hewan domestik atau hewan liar ke manusia atau sebaliknya. Sehingga hewan mempunyai peranan yang penting dalam menjaga terjadinya infeksi zoonosis di alam.
Kejadian penyakit infeksius yang baru muncul pada manusia, 75% diantaranya adalah zoonosis, dimana peranan satwa liar semakin meningkat sebagai sumber penularan antar spesies. Satwa liar juga dapat menjadi sumber penyakit non zoonotik di peternakan yang berpotensi merugikan manusia, kerugian tidak hanya dari segi ekonomi tetapi dapat juga menyebabkan kerugian dalam penyedian produk asal hewan.
Penyakit infeksius yang baru (emerging) dan baru muncul (new emerging) dapat mempengaruhi manusia, hewan domestik, ternak, dan satwa liar, serta dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap kesehatan, perdagangan dan keanekaragaman hayati (Mariana A. 2007). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan munculnya penyakit meliputi perubahan ekologi, perubahan demografi dan perilaku manusia, perjalanan dan perdagangan, teknologi dan industri, adaptasi dan perubahan mikroba, dan gagalnya sistem kesehatan masyarakat.
Baik ternak maupun satwa liar rentan terhadap penyakit-penyakit tertentu. Namun, keberadaan penyakit atau infeksi pada satwa liar tidak lantas berarti penyakit tersebut juga berada pada ternak atau hewan domestik di negara atau zona yang sama, maupun sebaliknya. Pengawasan terhadap satwa liar dapat dimasukkan dalam sistem surveilans karena dapat berfungsi sebagai reservoir dan sebagai indikator risiko penyakit pada manusia dan hewan domestik. Surveilans pada satwa liar menyajikan tantangan yang mungkin berbeda secara signifikan dalam pengawasan hewan domestik.
Salah satu strategi yang penting dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonotik yaitu dengan melakukan surveilans penyakit dengan efektif. Surveilans pada satwa liar merupakan komponen yang paling penting dalam program kesehatan satwa liar nasional karena dapat memberikan informasi mengenai keberadaan penyakit pada satwa liar, wilayah geografis dan host. Surveilans juga diperlukan untuk mendeteksi penyakit baru, penyakit baru muncul, mengetahui proporsi hewan yang terinfeksi dalam sutu populasi, informasi yang diperlukan untuk menilai risiko dalam pergerakan satwa liar dan perdagangan internasional serta informasi yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan dan rekomendasi yang dapat diterapkan.
Dalam mendokumentasikan pembebasan suatu penyakit pada suatu wilayah harus dilakukan survei secara periodik dengan menggunakan metode sampling berdasarkan probabilitas sehingga data yang dihasilkan dapat diekstrapolasi pada target populasi dengan menggunakan analisa statistik yang valid. Namun pada populasi satwa liar, metode sampling berdasarkan probabilitas jarang digunakan karena masalah akses terhadap satwa liar dan kurangnya informasi populasi yang akurat. Sehingga pada surveilans satwa liar, pengambilan sampel tidak dapat dilakukan secara acak tetapi akan berdasarkan sampel yang mungkin diperoleh dari populasi (convenience sampling). Dengan metode ini, data surveilans yang diperoleh dapat mempengaruhi dalam proses analisa dan kesimpulan yang dihasilkan. Meskipun demikian, surveilans tetap merupakan alat yang penting dalam manajamen kesehatan mausia dan hewan secara nasional dan internasional, serta harus dilaksanakan di setiap negara.
Bahan Bacaan:
Merianos A. Surveillance and Response to Disease Emergence. Curr Top Microbiol Immunol. 2007;315:477-509. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/17848076.
Morse SS. Factors and determinants of disease emergence. Rev Sci Tech. 2004;23(2):443-51. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/15702712.
Rhyan JC, Spraker TR. Emergence of diseases from wildlife reservoirs. Vet Pathol. 2010;47(1):34-9. doi:10.1177/0300985809354466.
World Organisation for Animal Health. Training Manual on Wildlife Diseases and Surveillance.; 2010.
Kembali ke Atas | Editorial | Galeri | Artikel | Artikel