EDISI 3
Senin, 3 Januari 2011
EDITORIAL - Neglected Zoonosis, One Health dan Pengentasan Kemiskinan
GALERI - Sistem Informasi Geografis untuk Kesehatan Hewan Nasional
OPINI - Polemik Pemberantasan Rabies di Indonesia
ARTIKEL - Neglected Zoonosis Diseases
EDITORIAL
Neglected Zoonosis, One Health dan Pengentasan Kemiskinan
Oleh: Albertus Teguh Muljono
Beberapa tahun terakhir ini, kewaspadaan kita akan ancaman penyakit baru (emerging) yang menyerang manusia dan hewan semakin meningkat. Banyak kasus penyakit yang bisa menular dari hewan ke manusia ataupun sebaliknya (zoonosis) yang muncul dan mengakibatkan ancaman serius baik bagi kesehatan hewan juga bagi kesehatan masyarakat. Sebut saja flu burung, flu babi, SARS dan beberapa penyakit lain. Selain beberapa penyakit yang disebutkan di atas yang menjadi perhatian dunia internasional dan prioritas pengendalian di tingkat nasional, sebagian besar zoonosis tidak menjadi prioritas bagi sistem kesehatan baik di tingkat nasional maupun internasional. WHO menyebutnya sebagai “Neglected Zoonosis”.
Berdasarkan kategori WHO, beberapa zoonosis penting yang bisa masuk ke dalam kategori neglected zoonosis antara lain yaitu anthrax, bovine tuberculosis, brucellosis, cysticercosis, ecchinococcosis, dan rabies. Pengkategorian beberapa zoonosis tersebut kedalam kategori neglected zoonosis tentu saja akan menimbulkan polemik, hal ini berdasarkan fakta bahwa beberapa zoonosis seperti anthrax, brucellosis dan rabies selalu menjadi prioritas dalam pengendalian dan pemberantasannya, namun demikian melihat kompleksnya permasalahan dan belum komprehensifnya program yang dijalankan, serta sedikitnya perhatian dan keterlibatan dunia internasional dalam program pengendalian dan pemberantasan, membuat zoonosis di atas dapat diketegorikan sebgaai neglected zoonosis. Sebagaian besar zoonosis di atas banyak terjadi di negara berkembang, dimana sebagian besar masyarakatnya masih mengandalkan hewan ternak mereka sebagai sumber pangan, tabungan, tenaga kerja dan terkadang sebagai alat transportasi, sehingga kerugian akibat adanya kasus zoonosis selain merugikan dari segi kesehatan masyarakat juga menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat hilangnya sumber pangan, tabungan, tenaga kerja dan alat transportasi potensial.
Sebagai negara berkembang, sebenarnya Indonesia telah menjalankan program untuk menjaga kesehatan masyarakat, pengendalian penyakit hewan dan pencegahan penularan penyakit hewan ke manusia atau sebaliknya. Akan tetapi selama ini program-program tersebut dijalankan secara terpisah oleh institusi dan juga profesi yang berbeda, sehingga keberhasilan dari program terpisah ini kadang sulit untuk dapat dinilai. Bukti yang nyata adalah dengan tetap adanya kejadian kasus yang terjadi dan pada beberapa zoonosis tertentu cenderung meningkat seperti halnya kasus rabies, serta selalu terjadinya keterlambatan penanganan sampai akhirnya menimbulkan kematian ataupun kerugian ekonomi yang sangat besar.
Kompleksnya permasalahan dalam mencegah dan mengendalikan zoonosis, serta rumitnya sistem yang terlibat didalamnya, mau tidak mau membuat kita harus berfikir secara komprehensif dan mulai melakukan pendekatan kesisteman dan tidak hanya melakukan pendekatan sub sistem yang selama ini dijalankan dengan menerapkan konsep one health. Konsep one health merupakan pendekatan yang mulai banyak dikenal dan diterapkan dalam memecahkan kompleksnya permasalahan dan kesisteman di bidang kesehatan dengan menerapkan strategi dan pendekatan interdisiplin dalam menyelesaikan masalah kesehatan dengan terintegrasi dan holistik.
Pada akhirnya, pelaksanaan program pengendalian zoonosis yang dilakukan dengan baik dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, menurunkan beban penyakit pada hewan ternak, mendukung program peningkatan daya dukung penyediaan pangan bagi masyarakat dan dapat mendorong pengentasan kemiskinan.
Kembali ke Atas | Galeri | Opini | Artikel | Fokus
GALERI
Sistem Informasi Geografis untuk Kesehatan Hewan Nasional
Oleh : Riana Aryani Arief
Sistem informasi geografis (SIG) adalah sistem informasi yang mengumpulkan, menyimpan, mengelola, mengolah dan menganalisis data yang memiliki atribut geografis. Dalam kaitannya dengan penyidikan dan pengendalian penyakit, SIG dapat memberikan kontribusi yang sangat signifikan. Penggunaan SIG paling awal dalam penyidikan penyakit adalah pemetaan wabah kolera di London oleh John Snow pada tahun 1954 untuk mengidentifikasi pusat kluster penyakit dan sumbernya. Saat ini, sistem informasi geografis sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem kesehatan hewan di negara maju.
Produk utama dari SIG adalah peta. Keuntungan dari visualisasi data ke dalam bentuk peta adalah informasi dapat lebih cepat dan mudah dimengerti oleh pembacanya. Dua jenis peta yang paling umum digunakan adalah peta titik dan peta choropleth. Peta titik adalah peta dimana poin-poin data ditampilkan sebagai titik dengan latar belakang data lain, seperti kondisi geografis alam (gunung, hutan, sungai), batas administrasi, sebaran populasi, faktor risiko, dan lain-lain. Sedangkan, peta choropleth adalah peta tematik dimana area-area dalam peta diberi warna sesuai dengan besaran data statistik yang ditampilkan dalam peta tersebut, misalnya peta kepadatan ternak dalam suatu kabupaten, diwakili oleh gradasi warna dengan warna yang lebih tua menandakan tingkat kepadatan yang lebih tinggi. Dalam penggunaannya, peta choropleth dapat juga digabungkan dengan peta titik.
Sistem Informasi Geografis memungkinkan dilakukannya berbagai analisis spasial untuk kepentingan pengendalian dan pemberantasan penyakit, seperti deskripsi pola spasial penyakit, identifikasi kluster, prediksi faktor risiko melalui analisis proksimitas, maupun identifikasi tren. Selain itu, SIG juga memungkinkan dibuatnya model dan simulasi penyebaran penyakit, misalnya estimasi pola dan kecepatan penyebaran penyakit tertentu di suatu daerah dengan sumber introduksi tertentu.
Pada akhirnya, yang membedakan Sistem Informasi Geografis dari sistem informasi pada umumnya adalah tambahan atribut geografis, namun penambahan unsur ini memungkinkan dilakukannya analisis yang sebelumnya sulit atau tidak mungkin dilakukan. Dalam kaitannya dengan penyakit, faktor ruang atau spasial merupakan faktor yang sangat penting karena penularan paling mungkin terjadi bila ada kedekatan spasial antara sumber dengan individu yang rentan (Durr & Gatrell 2004). Oleh karena itu, Sistem Informasi Geografis mutlak dibutuhkan dalam sistem kesehatan hewan nasional di Indonesia.
Kembali ke Atas | Editorial | Opini | Artikel | Fokus
OPINI
Polemik Pemberantasan Rabies di Indonesia
Oleh: Gusti Muhammad Sofyannoor
Penyakit anjing gila atau Rabies barangkali merupakan salah satu penyakit hewan yang sudah akrab di telinga masyarakat. Hal yang wajar mengingat hampir setiap tahun ada saja kejadian kasus gigitan anjing, baik yang dicurigai (suspect) maupun positif (confirm) Rabies. Namun demikian, Rabies umumnya dimengerti oleh masyarakat hanya sebagai penyakit pada anjing, sedangkan potensi Rabies sebagai penyakit zoonosis (zoonotic disease) kurang dipahami dengan baik. Tidak mengherankan apabila Rabies yang sudah ada di Indonesia selama kurang lebih 123 tahun ternyata belum sepenuhnya mendapat perhatian dari para pemangku kebijakan (legislatif dan eksekutif), bahkan terkesan disepelekan (Neglected).
Sifat dari suatu penyakit yang tidak menjadi perhatian pemerintah, WHO menyebutnya sebagai Neglected disease. Kategori suatu penyakit mempunyai sifat Neglected menurut WHO didasarkan pada beberapa kategori meskipun pengkategorian ini masih banyak menimbulkan polemik. Adapun beberapa parameter dari suatu penyakit yang dikategorikan bersifat neglected seperti Political will yang dilihat dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terkait pendanaan, skala prioritas dsb. Kemudian penyakit yang bersifat neglected umunya mempunyai bentuk mitigasi yang jelas, akan tetapi tidak dapat dilakukan kontrol dan pemberantasan dengan efektif dan efisien. Kategori lainnya adalah penilaian akses masyarakat untuk pengobatan dan medikasi terhadap penyakit tersebut.
Rabies bagi sebagian negara berkembang masih dinilai sebagai penyakit yang terlupakan atau disepelekan (neglected disease) mungkin karena Rabies pada hewan (animal Rabies) dianggap tidak merugikan secara ekonomi. Akan tetapi jika dikaji lebih lanjut sebenarnya kerugian akibat Rabies terkait multisektor. Di negara-negara berkembang, kerugian akibat Rabies tidak hanya karena kematian anjing dan manusia. Di daerah pedesaan (rural areas) misalnya, infeksi Rabies pada ternak akan menyebabkan kerugian ekonomi akibat menurunnya produktifitas dan kematian ternak sehingga bagi mereka yang menggantungkan hidupnya dari peternakan, tentu ini akan menyebabkan penurunan income keluarga.
Rabies juga akan berdampak pada timbulnya keresahan sosial di masyarakat, penurunan angka kunjungan wisatawan, dan meningkatnya angka kesakitan pada manusia (human Rabies). Dalam kaitannya dengan yang hal tersebut, pemberantasan Rabies seharusnya dapat dimaknai sebagai salah satu langkah pencapaian Millenium Development Goals (MDG’s) yaitu peningkatan status kesehatan masyarakat melalui upaya pencegahan penularan penyakit bersumber hewan (animal origin diseases). Tapi sayangnya, negara-negara berkembang termasuk Indonesia belum mampu memberantas Rabies karena rendahnya prioritas terhadap penyakit ini, baik dari kesehatan manusia maupun kesehatan hewan.
Sekelumit tentang Rabies, sejatinya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus (Rhabdovirus). Virus Rabies menginfeksi tubuh melalui gigitan hewan atau melalui luka lainnya pada tubuh. Virus Rabies banyak terdapat dalam air liur (saliva) hewan sehingga luka pada tubuh merupakan pintu masuk (entry point) bagi virus untuk menuju target infeksi yaitu susunan syaraf pusat (otak).
Dikenal dengan istilah penyakit anjing gila, bukan berarti Rabies hanya ditularkan melalui gigitan anjing, tetapi dapat pula ditularkan melalui hewan penular Rabies (HPR) lain seperti kucing, kera, kelelawar, bahkan ternak ruminansia. Hewan yang terinfeksi Rabies akan memperlihatkan gejala-gejala seperti hewan menjadi ganas (menyerang atau menggigit), tidak mematuhi pemiliknya, takut cahaya (photophobia), takut air (hydrophobia), air liur keluar berlebihan (hipersalivasi), kejang-kejang, dan akhirnya mati.
Dikarenakan potensi penularan pada manusia (zoonosis), Rabies oleh sebagian pihak dianggap sebagai teror yang menyebar ketakutan di masyarakat. Ketakutan tersebut cukup beralasan ketika mengetahui bahwa manusia yang terinfeksi Rabies akan memperlihatkan gejala yang mirip dengan yang ditemukan pada hewan. Pada manusia yang terinfeksi Rabies dapat ditemukan gejala-gejala antara lain demam tinggi, mual dan muntah, sakit kepala, panas-nyeri-gatal pada luka gigitan, air liur keluar berlebihan, pupil mata membesar, gelisah, kejang-kejang, lumpuh, dan akhirnya meninggal dunia apabila tidak memperoleh perawatan medis yang baik.
Dalam hal pemberantasan Rabies, hingga kini masih menekankan pada upaya pemberian vaksinasi terhadap HPR terutama anjing. Langkah ini tidak terlepas dari perubahan strategi pemberantasan Rabies yang terjadi di seluruh negara, dari yang awalnya fokus pada penanganan pasca gigitan pada manusia kepada upaya memberantas Rabies pada sumbernya yaitu hewan. Langkah ini telah disepakati oleh dunia sebagai tindakan paling efektif dan ekonomis, baik oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) maupun Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE).
Di Indonesia upaya pemberantasan Rabies sepertinya masih mencari format yang tepat dan tidak lepas dari polemik berbagai pihak. Kita menyadari bahwa banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberantasan Rabies. Walaupun WHO dan OIE telah merekomendasikan vaksinasi, akan tetapi penanganan di bagian hulu saja (vaksinasi) tidaklah cukup. Salah satu penyebabnya adalah sebagian masyarakat Indonesia menganggap anjing sebagai komoditi bernilai ekonomi yang bisa diperjualbelikan, baik sebagai hewan peliharaan di rumah, sebagai hewan penjaga kebun sawit atau karet, sebagai hewan berburu atau untuk dikonsumsi dagingnya. Dampaknya tentu saja akan terus terjadi mobilitas atau perpindahan anjing dari satu daerah ke daerah lain dalam satu wilayah, bahkan antarpulau.
Lebih lanjut, kendala pemberantasan Rabies di Indonesia tidak hanya terkait dengan cakupan vaksinasi yang rendah (kurang dari 70 % populasi target), tetapi juga rendahnya kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi. Anjing dibiarkan berkeliaran secara bebas di pemukiman, di jalan-jalan, dan hal ini cenderung dibiarkan.
Muncul wacana untuk membuat aturan agar anjing tidak boleh berkeliaran. Pendekatan yang digunakan melalui program edukasi kepada masyarakat mengingat Rabies bukanlah masalah anjing semata, tetapi berkaitan erat dengan perilaku manusia. Tentunya keberhasilan pemberantasan Rabies di Indonesia akan sangat bergantung kepada tingkat kesadaran masyarakat. Diperlukan adanya perubahan perilaku yang membuat masyarakat dapat menerima dan mematuhi berbagai kewajiban sesuai aturan yang berlaku seperti mengkandangkan anjingnya, menjaga kesehatannya serta memberikan vaksinasi secara rutin. Namun menurut hemat penulis, hasilnya baru akan terasa jangka panjang. Mengubah perilaku masyarakat agar menjadi pemilik anjing yang bertanggung jawab bukanlah pekerjaan mudah. Dibutuhkan sosialisasi secara rutin dan kontinu untuk membangun kesadaran masyarakat.
Selain vaksinasi dan edukasi, tindakan pemusnahan anjing (eliminasi) masih dapat diterima dengan mempertimbangkan bahwa penyelamatan jiwa manusia adalah prioritas utama. Meskipun demikian, eliminasi anjing liar harus tetap mengikuti kaidah kesejahteraan hewan (animal welfare) sehingga tidak menimbulkan rasa sakit atau penderitaan pada hewan. Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) telah memberikan rambu-rambu bahwa eliminasi anjing harus dilaksanakan dengan cara-cara yang paling praktis, cepat dan manusiawi serta memastikan keselamatan operatornya. Metode yang dapat dipilih diantaranya melalui pengendalian reproduksi anjing dengan cara sterilisasi atau kastrasi, penangkapan anjing liar, bahkan euthanasia.
Yang perlu diperhatikan bahwa eliminasi tidak dilakukan secara membabi buta karena dapat mengganggu keseimbangan ekologi. Gelombang penolakan di masyarakat juga dapat terjadi terutama pada masyarakat adat dimana manusia dan anjing hidup berdampingan sebagai satu kesatuan budaya. Di beberapa daerah di Indonesia, eliminasi anjing ternyata tidak berjalan maksimal karena kurangnya dukungan dari masyarakat dimana banyak warga yang tidak rela jika anjingnya dibunuh. Hal ini sangat berkaitan dengan responsible pet ownership yang masih sangat rendah kesadarannya dimasyarakat.
Sebagai penyakit yang terabaikan (a neglected disease) terutama bagi kaum miskin yang hidup di pedesaan, komitmen politik terhadap pemberantasan Rabies masih rendah. Perhatian dan anggaran yang dialokasikan bagi program pencegahan dan pemberantasan Rabies masih minim. Tidak jarang kondisi kosongnya vaksin anti rabies (VAR) di puskesmas atau rumah sakit menjadi penyebab jatuhnya korban jiwa. Ditambah lagi dengan fakta bahwa banyak korban gigitan anjing enggan untuk berobat di fasilitas kesehatan.
Masyarakat pedesaan biasanya tidak menganggap luka gigitan anjing sebagai hal yang berbahaya bagi kesehatan mereka. Mereka lebih suka mencari pengobatan sendiri secara tradisional ke paranormal atau dukun dimana gejala Rabies yang muncul pada korban dianggap sebagai akibat perbuatan “sihir”. Korban gigitan umumnya juga tidak memberi tahu keluarganya bahwa ia pernah digigit anjing sehingga terlambat memperoleh VAR. Selain itu, lokasi desa yang sulit dijangkau (hambatan geografis) menjadi kendala tersendiri sehingga hal yang paling banyak diminta dilakukan kepada masyarakat adalah segera mencuci luka gigitan dengan sabun atau deterjen untuk selanjutnya dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk memperoleh suntikan VAR.
Akhirnya, belajar dari segala polemik dan permasalahan yang dihadapi dalam upaya pemberantasan Rabies di Indonesia, diperlukan pendekatan dan cara-cara pengendalian yang bisa diterima oleh masyarakat. Strategi pemberantasan mana yang dipilih tentu akan sangat berbeda antarwilayah di Indonesia. Ancaman karena rabies tentu tidak harus disikapi dengan pemilihan cara-cara yang justru tidak bisa diterima oleh masyarakat dan lingkungan. Disamping itu, diperlukan kerjasama yang erat antara berbagai pihak sehingga menjadi satu kekuatan dalam mengendalikan dan memberantas rabies di masa-masa mendatang. Semoga.
Kembali ke Atas | Editorial | Galeri | Artikel | Fokus
ARTIKEL
Neglected Zoonosis Diseases
Oleh: Andri Jatikusumah
Pendekatan hewan dengan manusia telah tercatat sejak ribuan tahun lalu. Hewan domestik anjing contohnya tercatat telah dekat dengan manusia sejak 12.000 tahun yang lalu sedangkan untuk ruminansia sejarah mencatat semenjak 9000 SM manusia telah menggunakan kambing peliharaan sebagai salah satu sumber makanan untuk kehidupan. Kedekatan ini masih terlihat sampai dengan sekarang terlebih pada negara-negara berkembang dan negara-negara belum maju termasuk di Indonesia. Ayam, bebek, itik, angsa, anjing, kucing, sapi, domba, sapi, kerbau bahkan kuda merupakan hewan-hewan yang dekat dengan manusia khususnya keluarga-keluarga di pedesaan.
Pada saat ini menurut WHO diperkirakan terdapat sekitar 911 juta orang yang hidup dipedesaan dan sekitar 411 juta orang hidup berdampingan langsung dengan ternak. Di Indonesia jumlah penduduk miskin tahun 2010 secara kesuluruhan diperkirakan mencapai 62 juta orang dimana sepertiganya atau sekitar 20 juta orang hidup didaerah pedesaaan dan berdampingan dengan hewan atau ternak. Hewan-hewan ini hidup secara digembalakan atau dibiarkan berkeliaran di sekitar rumah dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Kedekatan antara manusia dan berbagai hewan ini menempatkan masyarakat khususnya masyarakat di pedesaan dan beberapa daerah urban yang masih berhubungan langsung dengan hewan terhadap meningkatnya risiko mendapatkan penyakit zoonosis yang merupakan penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia ataupun sebaliknya. Terlebih, tercatat bahwa 60% dari semua penyakit yang terdapat manusia merupakan penyakit zoonosis dan lebih dari 70% emerging disease saat ini juga merupakan penyakit zoonosis. Sebut saja rabies, brucellosis, anthrax, cysticercosis, taeniasis, trypanosmiasis dan infeksi mycobacterium adalah penyakit-penyakit zoonosis yang utama ditemukan pada masyarakat miskin di pedesaan yang sangat berelasi dengan hewan-hewan ternak di pedesaan. Penyakit-penyakit ini umumnya masih luput dari perhatian pemerintah, kalangan professional dan stake holder lainnya seperti dalam hal pengetahuan tentang penjelasan penyakit-penyakit tersebut di masyarakat, komitmen politik sampai dengan pendanaan dalam pengendalian dan penanganan penyakit-penyakit tersebut masih belum menjadi perhatian atau bersifat neglected, padahal dampak yang dirasakan baik secara ekonomi ataupun dampak secara sosial terhitung tidak sedikit.
Tidak sedikit penyakit-penyakit zoonosis yang penting tidak mendapatkan perhatian terkecuali Avian influenza dan SARS disebabkan potensinya terhadap pandemi, tetapi banyak sekali penyakit zoonosis yang masih bersifat neglected. Terdapat lebih dari 200 penyakit zoonosis dan hampir sebagian besar masih belum penjadi perhatian.
Dampak Ekonomi dan Sosial
Dampak Neglected Zoonosis Diseases (NZDs), utama dirasakan oleh masyarakat pedesaan, hal ini disebabkan masyarakat pedesaan masih bergantung pada hasil ternak dan juga masyarakat pedesaan belum mempunyai akses yang baik terhadap kesehatan, baik untuk kesehatan manusia ataupun ternak. Sebagai contoh menurut WHO setiap tahun diperkirakan sekitar 55.000 orang meninggal akibat Rabies di Asia dan Afrika dan membutuhkan biaya untuk melakukan pencegahan dan pengendalian sekitar US$ 590 juta untuk setiap tahunnya. Di Asia biaya rata-rata yang dibutuhkan untuk medikasi pencegahan pasca gigitan (post exposure prophylaxis) diperkirakan mencapai US$ 49 Juta dan belum penyakit-penyakit lainnya. Hal lain yang sering tidak menjadi perhitungan dari dampak suatu penyakit adalah dampak penyakit secara sosial.
Dalam melihat dampak secara sosial hal yang sering dihitung adalah efek langsung suatu penyakit terhadap produktifitas sesorang, WHO telah mengembangkan suatu ukuran atau biasa disebut Disability-adjusted life years (DALYs). DALYs adalah suatu bentuk ukuran dalam melihat suatu beban penyakit terhadap produktifitas seseorang akibat dari terjangkitnya suatu penyakit yang dibuat dalam bentuk nilai. Ukuran ini dibuat untuk mencerminkan jumlah hari yang hilang atau tidak produktif disebabkan oleh suatu penyakit sehingga bisa dihitung secara ekonomi. Sebagai contoh menurut WHO DALYs untuk penyakit cycstik echinococosis secara global mencapai US$ 764 juta untuk biaya sosial pada manusia dan US $ 2 Milyar untuk produktifitas ternak.
Di Indonesia, sebagai contoh kerugian-kerugain yang diakibatkan oleh NZDs ini juga signifikan. Dimulai oleh kerugian tak ternilai akibat korban nyawa manusia sampai dengan berkurangnya produktifitas ternak. Sebagai contoh rabies hampir setiap tahun jumlah rata-rata gigitan yang dilaporkan mencapai 29.028 kasus gigitan yang dilaporkan atau 80 gigitan perhari dengan jumlah korban pertahun mencapai 143 orang. Hal ini merupakan suatu kerugian yang sangat siginifikan dalam hal kerugian tak ternilai akibat korban nyawa manusia, biaya pengobatan dan tentunya hilangnya produktifitas kerja.
Tantangan dan Permasalahan
Berubahnya pemikiran berbagai lembaga internasional utamanya organisasi kesehatan dunia WHO (World Health Organization) dan organisasi kesehatan hewan dunia, OIE (Office International des Epizooties) dalam hal pengendalian penyakit-penyakit zoonosis yang pada awalnya hanya didasarkan pada penanggulangan atau upaya medikasi pada manusia bergeser menjadi upaya pencegahan dan mitigasi penyakit zoonosis dari sumbernya merupakan suatu terobosan yang signifikan dalam hal mitigasi penyakit-penyakit zoonosis. Tetapi keadaan ini seperti dua sisi mata uang dimana bentuk pengendalian seperti ini dinilai merupakan pendekatan yang paling efektif dan juga ekonomis tetapi juga menuntut infrastruktur kesehatan hewan yang tidak sederhana, komitmen politik, dan tentunya sumber daya yang juga tidak sedikit.
Pendekatan ini membuat stakeholder kesehatan mendapatkan tanggung jawab yang besar dan menjadi tantangan yang luar biasa bagi kalangan professional medis khususnya dokter hewan, mengingat pemahaman pemerintah dan masyarakat tentang nilai dan pentingnya aspek kesehatan hewan khususnya zoonosis masih jauh dari yang diharapkan.
Bentuk mitigasi yang jelas untuk rabies, brucellosis, anthrax dan penyakit-penyakit zoonosis lainnya pada negara-negara maju yang telah berhasil memberantas tidak dengan mudahnya dapat ditransfer kepada negara-negara yang sedang mengalami permasalahan penyakit-penyakit tersebut. Hal ini tentunya berkaitan dengan situasi lokal, budaya, dan situasi yang sangat berbeda dengan negara-negara yang telah berhasil memberantas penyakit-penyakit tersebut akan tetapi hal-hal lain seperti kurangnya pendanaan terhadap intistusi teknis dan concern pemerintah yang masih belum optimal juga merupakan faktor utama yang kerap ditemukan disamping seringkali professional medis khususnya dokter hewan menjadi tidak berdaya oleh karena kebijakan pengendalian dan pemberantasan penyakit-penyakit zoonosis ini tercurah kepada penanganan situasi darurat korban, akan tetapi akar masalah kurang mendapatkan perhatian serius.
Selain itu tantangan lainnya yang juga dirasakan adalah tidak bersinerginya kalangan professional medis dan stake holder lainnya dalam melaksanakan mitigasi penyakit-penyakit tersebut. Bentuk pemikiran baru yang komprehensif dalam mitigasi penyakit-penyakit NZDs, seperti konsep “one world one health” merupakan pendekatan baru dan membawa suatu harapan baru dalam mitigasi penyakit-penyakit zoonosis yang mengikutsertakan semua professional dan stake holder dan tidak terbatas hanya pada satu profesi saja.
Menyikapi Masalah
Perbaikan dan peningkatan mitigasi penyakit-penyakit zoonosis dengan mutlak memerlukan campur tangan semua pihak dan berbagai mutidisiplin, intersektoral dan crosscultural seperti pertanian, kesehatan, lingkungan dan sector-sektor lainnya pada level nasional. Pengendalian zoonosis yang efektif juga berarti juga memerlukan kerjasama internasional, regional yang kuat dan memberikan pemberitahuan cepat terhadap timbulnya suatu penyakit disetiap level. Keterlibatan berbagai pihak tersebut akan menjadi satu kekuatan yang menentukan efektivitas dan keberhasilan dalam mengendalikan dan memberantas NZDs dalam jangka panjang ke depan. Hal ini penting sebab bukankah setiap makhluk hidup mempunyai hak yang sama dalam mendapatkan kesehatan?
Kembali ke Atas | Editorial | Galeri | Opini | Fokus
FOKUS
Rabies : Pendekatan Budaya
Oleh: Agus Jaelani
Walaupun fakta menunjukkan bahwa rabies merupakan zoonosis mematikan yang dapat dikendalikan, namun jumlah kematian manusia akibat rabies cukup tinggi. Rabies 100% fatal bagi penderitanya, tetapi pada saat yang bersamaan penyakit ini 100% dapat dicegah (kendalikan). WHO mengestimasi kematian manusia di dunia akibat rabies mencapai 55.000 orang tiap tahunnya. Dimana jumlah kematian tertinggi terjadi di Asia yang mencapai lebih dari 31.000 jiwa tiap tahunnya (WHO, 2005). Itu sama artinya setiap 17 menit sekali terjadi kematian manusia di Asia akibat rabies. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Lebih dari 1,4 miliar orang berisiko terinfeksi rabies di Asia Tenggara (WHO, 2008). Setiap tahun 23.000 – 25.000 orang mati di Asia Tengggara karena rabies. Jumlah ini kira-kira 45% jumlah orang yang mati diseluruh dunia akibat rabies. Tiap tahunnya sebanyak lebih dari 100 orang meninggal akibat rabies di Indonesia (WHO, 2008). Jumlah ini bisa saja bertambah tiap tahunnya jika pengendalian rabies tidak dapat dijalankan secara optimal. Dalam dua tahun terakhir terjadi perkembangan rabies yang cukup signifikan. Bali yang pada awalnya bebas (historis) ternyata saat ini sudah menjadi daerah yang tertular. Korban manusia pun terus bertambah dari waktu ke waktu. Sampai saat ini sudah jatuh korban manusia sebanyak 93 orang di Bali akibat rabies.
Keterbatasan dana, vaksin, kerjasama antar sektor dan regulasi yang belum mendukung (political will) menjadi argumentasi akan kurang berhasilnya pemberantasan rabies di Indonesia. Tetapi terlepas dari semua itu faktor yang tidak kalah penting dari itu semua adalah upaya peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness). Bisa jadi kurang berhasilnya pemberantasan rabies di negeri ini lebih disebabkan karena kurang optimalnya peningkatan kesadaran masyarakat.
Sebagian besar penyebab kasus rabies adalah gigitan anjing. Kebanyakan manusia yang mati ditemukan di negara berkembang dimana rabies endemis dan rute utama penularannya adalah gigitan anjing yang terinfeksi rabies (Meslin et al. 1994). Anjing menjadi faktor penting dalam transmisi rabies dari hewan ke manusia. Sementara fakta yang ada menunjukan bahwa anjing memiliki hubungan yang sangat dekat dengan manusia. Tingginya keterlibatan anjing dalam berbagai aktifitas manusia memiliki potensi risiko yang cukup besar dalam penularan rabies. Maka upaya pengendalian (pencegahan transmisi) dapat dilakukan secara efektif jika manusia/pemilik anjing memiliki pemahaman yang benar mengenai rabies. Rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keberhasilan pengendalian rabies akan sangat bergantung kepada tinggi rendahnya tingkat pemahaman masyarakat.
Jumlah korban rabies di indonesia
Dalam dua tahun terakhir terjadi kasus gigitan hewan penular rabies (HPR) yang meningkat pesat. Menurut data Kementerian Kesehatan pada tahun 2008 terjadi 20.926 kasus gigitan dengan 104 orang meninggal. Sementara ditahun 2009 jumlah gigitan HPR meningkat pesat mencapai 42.106 kasus dengan korban manusia meninggal sebanyak 137 orang. Tahun 2010 sampai bulan agustus kasus gigitan sudah mencapai 40.180 kasus dengan kematian manusia mencapai 113 jiwa diseluruh Indonesia. Perkembangan ini terjadi seiring dengan bertambahnya daerah di Indonesia yang tertular rabies. Sebanyak 24 dari 33 provinsi telah tertular rabies.
Pendekatan Sosial Budaya
Indonesia terkenal dengan keragaman budaya. Hampir setiap daerah memiliki tradisi/budaya yang berbeda dengan daerah lainnya. Faktor budaya (socio-cultural) ini menjadi hal yang cukup penting dalam program pengendalian rabies. Melihat keberagaman budaya yang ada di masyarakat Indonesia maka perlunya strategi komunikasi yang tepat dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan rabies. Upaya-upaya dalam meningkatkan kesadaran masyarakat (public awareness) dapat dilakukan melalui pendekatan sosial budaya (socio-cultural approach). Melalui pemahaman yang benar mengenai struktur pemerintahan lokal (adat) dan tradisi yang ada disuatu daerah maka diharapkan proses public awareness dapat dijalankan dengan tepat dan efektif. Hal ini perlu dilakukan dalam mempersiapkan dan menciptakan masyarakat yang sadar dan tanggap rabies.
Kemudian bagaimana dengan daerah-daerah yang “budayanya” justru memiliki risiko tinggi (high risk) dalam penularan rabies? Sebagai contoh Sumatera Barat yang menggunakan anjing untuk berburu, masyarakat bali yang menjadikan anjing punya “kedudukan” dalam tradisi/kepercayannya dan juga masyarakat minahasa yang menjadikan daging anjing sebagai bahan masakan tradisionalnya serta beberapa daerah lainnya yang kehidupan masyarakatnya sangat dekat dengan anjing. Tidak sedikit daerah-daerah yang menjadikan daging anjing untuk konsumsi. Sementara ada hasil penelitian yang menunjukkan adanya risiko penularan rabies pada praktek-praktek penyembelihan, memasak dan mengkonsumsi daging anjing (Wertheim et al. 2009). Tentunya hal ini menjadi alert bagi kita, tetapi bukan kemudian dijadikan argumen untuk segera menghapus budaya tersebut. Karena jika hal ini dilakukan maka yang terjadi adalah tindakan kontraproduktif. Ketika kita akan menghapus budaya yang telah berkembang di masyarakat maka sama artinya kita berhadapan dengan masyarakat. Untuk itu yang sebaiknya dilakukan adalah memberikan pemahaman yang tepat kepada masyarakat untuk mengurangi risiko penularan yang dapat diakibatkan dari pelaksanaan “budaya/tradisi” yang ada, tanpa harus menghapus budaya yang sudah mengakar dimasyarakat.
Apa yang sebaiknya dilakukan
Melihat indonesia dengan berbagai budaya maka salah satu pendekatan terbaik yang dapat dilakukan dalam program pemberantasan/pengendalian rabies adalah dengan melalui strategi (public awareness) yang tidak kontraproduktif dengan budaya yang telah berjalan di masyarakat (local community). Pendekatan melalui budaya menjadi hal penting yang sebaiknya dilakukan oleh segenap stakeholder dalam mempersiapkan dan menciptakan masyarakat yang sadar dan tanggap rabies.
Kembali ke Atas | Editorial | Galeri | Opini | Artikel