Kesehatan Hewan Global (Bagian 1)
Jumat, 1 Februari 2019
MERS-CoV, Ebola, virus West Nile dan Avian Influenza adalah contoh penyakit-penyakit yang muncul dalam dekade terakhir ini yang semuanya bersumber dari hewan. Kemunculan penyakit-penyakit tersebut telah memperlihatkan bahwa kapasitas negara-negara di dunia dalam mencegah, mendeteksi dan merespon wabah tidaklah sama.
Seperti diketahui, 60 persen dari penyakit-penyakit menular yang ada saat ini berdampak kepada manusia, dan lebih dari 75 persen adalah penyakit-penyakit yang baru muncul (newly emerging diseases). Ebola, influenza, dan virus West Nile semuanya muncul pertama kali di negara-negara berkembang yang tidak memiliki kapasitas cukup untuk mengimplementasikan standar-standar Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) dalam mendeteksi, mencegah dan merespon penyakit-penyakit yang bersumber dari hewan.
Kita berada di dunia yang saling terhubung dan saling bergantung. Kerentanan terhadap suatu penyakit yang ada di satu negara mewakili kerentanan semua negara. Penyakit tidak menghormati batas-batas negara, begitu juga penyakit yang masih asingbagi negara kita atau yang biasa kita kenal sebagai penyakit eksotik bisa saja suatu waktu menjadi ancaman domestik.
Kesehatan global tidak akan dapat tercapai apabila tidak ada perhatian diberikan kepada sistim pencegahan dan pengendalian penyakit hewan. Pengendalian penyakit yang efektif bukan hanya merupakan tanggung jawab antara kesehatan manusia dan hewan yang ada di pemerintahan dan sektor swasta, tetapi juga sejumlah sektor dan pemangku kepentingan lainnya di tingkat nasional, regional dan global.
Pertumbuhan populasi dunia
Populasi dunia diproyeksikan akan mencapai 9,8 miliar penduduk pada tahun 2050, suatu lompatan jauh dari populasi 7,6 miliar saat ini. Kenaikan produksi daging diprediksi menjadi dua kali lipat pada tahun 2050 seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia, dibarengi dengan perubahan preferensi diet dan kenaikan tingkat pendapatan.
Pertumbuhan ekspor daging pada tahun 2018 kebanyakan terjadi di negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, Argentina, Thailand dan Uni Eropa, sedangkan impor daging meningkat di negara-negara seperti China, Jepang, Meksiko dan Korea Selatan.
Konsumsi daging pada tahun 2050 diproyeksikan akan meningkat hampir 73 persen, sedangkan konsumsi susu diprediksi tumbuh sebesar 58 persen. Permintaan produksi ternak ke depan terutama akan banyak terjadi di kota-kota besar di seluruh dunia, dimana pertumbuhan populasi paling banyak terjadi. Kebutuhan yang sebagian besar dipenuhi oleh operasi pemeliharaan ternak skala besar dan intensif.
Tidak ada pilihan bagi sektor peternakan selain merespon kebutuhan global. Tekanan terhadap peternak dan industri peternakan untuk menyediakan pangan hewani bagi lebih banyak penduduk dunia, dalam kondisi dimana ketersediaan air dan tanah terbatas, serta lingkungan berkelanjutan yang tetap harus dipertahankan.
Namun demikian produksi ternak yang semakin meningkat terseebut akan tetap menghadapi hambatan dari penyakit-penyakit menular dan parasit, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, dimana dana yang tersedia untuk pengendalian penyakit terus menurun selama puluhan tahun belakangan ini.
Pengendalian penyakit-penyakit pada ternak akan tetap menjadi komponen sangat penting dalam produksi pangan hewani yang efisien dan terhubung secara pasti dengan agenda ketahanan pangan global. Sejumlah penyakit pada ternak yang berpengaruh terhadap rantai pangan seperti penyakit mulut dan kuku (PMK), African Swine Fever (AFS), Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE), Avian Influenza (AI). Koordinasi dan kerjasama internasional dibutuhkan dalam upaya untuk mengendalikan penyakit-penyakit tersebut.
Pertumbuhan populasi hewan peliharaan
Segmen hewan peliharaan dapat dikatakan menghadapi tantangan yang berbeda dari sektor peternakan. Sasarannya lebih kepada bagaimana dapat melayani pemilik hewan yang cenderung memperlakukan hewannya sebagai anggota keluarga. Pemilik hewan sangat menginginkan adanya perawatan kesehatan yang memberikan jaminan agar anggota keluarganya tersebut dapat hidup lebih lama, lebih sehat, dan lebih nyaman.
Di negara-negara maju seperti Inggris, diperkirakan ada 8 sampai 10 juta ekor anjing yang hidup di 31 persen rumah tangga, di Amerika Serikat ada 72 juta ekor anjing di 37 persen rumah tangga. Saat ini hubungan antara orang dengan anjing dan kucing sebagai hewan peliharaan semakin intim, dimana hewan peliharaan berbagi lingkungan ruang yang sama dengan manusia.
Meskipun data rumah tangga yang memiliki hewan peliharaan di Indonesia tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi diasumsikan jumlah hewan peliharaan cukup tinggi. Pangsa pasar hewan peliharaan di Indonesia mencapai 15,6 persen di Asia Tenggara. Pertumbuhan hewan peliharaan di Indonesia diperkirakan akan mencapai 7,1 persen hingga tahun 2020.
Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat terutama kelas menengah di Indonesia memicu lahirnya komunitas-komunitas pecinta hewan peliharaan sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat. Produk-produk hewan peliharaan alami akan menjadi suatu industri yang meningkat pesat. Pemilik hewan dari kalangan kelas menengah bahkan rela mengeluarkan ekstra rupiah untuk memberikan kepada hewannya suatu pola hidup organik, sama seperti yang mereka harapkan untuk keluarganya.
Perkembangan pakan hewan kesayangan, penangkis nyamuk dan kutu yang sifatnya alami (natural repellent), sampai ke mainan hewan yang terbuat dari serat non-sintetik. Begitu juga dengan prosedur bedah yang semakin canggih, piranti digital dan pelayanan hewan peliharaan secara khusus memperlihatkan seberapa besar uang yang bersedia dikeluarkan oleh pemilik hewan bagi hewan teman setianya tersebut.
Keuntungan dari kepemilikan hewan peliharaan bagi kesehatan manusia, kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi tidak perlu dipertanyakan lagi. Nyatanya pola kehidupan anjing dan kucing saat ini yang terus bergerak di lingkungan manusia, dari kandang, ke rumah, ke sofa, ke tempat tidur dan lain sebagainya menyebabkan potensi penyebaran penyakit ke manusia meningkat.
Meskipun diketahui kebanyakan penyakit-penyakit baru yang menjangkiti manusia utamanya bersumber dari ternak, akan tetapi hewan peliharaan juga berpotensi menjadi sumber penyakit-penyakit baru muncul. Kita ketahui bahwa infeksi virus rabies pada anjing diperkirakan membunuh minimum 50 ribu orang setiap tahun di Afrika dan Asia. Di Indonesia sendiri, rabies menyebabkan sekitar 100 orang meninggal dunia setiap tahun.
Integrasi antara orang dengan hewan peliharaan yang sangat dekat memicu kepentingan adanya suatu sistim monitoring penyakit global yang dibangun oleh para dokter hewan yang bekerja sebagai dokter hewan praktik. Pembangunan sistim seperti ini tentu memerlukan kemauan politik, aplikasi saintifik dan dukungan finansial yang akan dapat dicapai apabila ada kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta.
Pengetahuan yang diperoleh melalui sistim surveilans seperti ini akan memberikan peluang kepada kita untuk lebih efektif dalam mengendalikan zoonosis pada hewan peliharaan, sehingga mengurangi risiko yang melekat pada hubungan paling mendasar antara manusia dan hewan.
Keamanan kesehatan global
Evolusi patogen baru dan yang muncul kembali (emerging and re-emerging pathogens) adalah konsekuensi dari banyak faktor, dan kombinasi dari faktor-faktor tersebut berpotensi menimbulkan ancaman bagi manusia dan hewan, yang hanya dapat ditangani melalui suatu strategi global yang multifaset dan terkoordinasi dengan baik. Untuk itu menjadi sangat penting bagi kita di Indonesia untuk turut serta mengamankan kesehatan global.
Indonesia menjadi anggota Global Health Security Agenda (GHSA) yang merupakan suatu inisiatif global dan kolaborasi antar negara yang saat ini sudah mencapai 50 negara, antara lain Amerika Serikat, Canada, China, Uni Eropa, India, Indonesia, Jepang dan Thailand, serta organisasi-organisasi internasional termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), dan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO).
GHSA bertujuan untuk mempercepat kemajuan menuju dunia yang terjaga dan aman dari ancaman- ancaman penyakit menular dan mempromosikan keamanan kesehatan global sebagai suatu prioritas keamanan internasional.
Sebagai negara yang berkomitmen dalam GHSA, maka Indonesia perlu berkomitmen dan mematuhi standar-standar internasional yang dibangun oleh OIE tentang kualitas dan efisiensi sistim nasional kesehatan hewan. OIE merupakan badan antar pemerintah penentu standar kesehatan hewan dan sebagai sumber unggulan untuk peringatan dini dan monitoring penyakit hewan.
Indonesia harus sedapat mungkin untuk mengikuti dan menjalankan 5 (lima) platform yang ditetapkan oleh OIE untuk suksesnya GHSA, sebagai berikut:
Pertama, Indonesia perlu mematuhi standar-standar internasional OIE untuk metoda pencegahan dan pengendalian penyakit dan kualitas sistim kesehatan hewan nasional (siskeswannas). Siskeswannas yang mematuhi standar-standar internasional OIE mengenai kualitas, dan berfungsi sesuai prinsip-prinsip tatacara pemerintahan yang baik (good governance) akan berkontribusi lebih baik dalam suatu sistim kesehatan global yang efektif dan berkelanjutan, dan responsif terhadap kebutuhan yang ada di masyarakat dunia saat ini maupun ke depan.
Kedua, Indonesia perlu menjalankan semaksimal mungkin prinsip-prinsip yang tertuang dalam ‘OIE PVS Pathway’ (Performance Veterinary Services Pathway) dalam upaya mengidentifikasi tingkat performans, kesenjangan dan kelemahan dalam kapasitas siskeswannas untuk memenuhi standar-standar internasional OIE. Perbaikan performan siskeswannas akan membantu Indonesia dalam upaya mengidentifikasi dan mengatasi kesenjangan dalam kapasitas siskeswannas secara menyeluruh, termasuk pendidikan kedokteran hewan, kemitraan pemerintah dan swasta (public private partnerships), serta kapasitas dalam mencegah, mendeteksi dan merespon ancaman- ancaman penyakit hewan menular.
Ketiga, Indonesia perlu mengikuti dan menjalankan pedoman yang ditetapkan oleh OIE dan WHO secara bersama-sama dalam memperbaiki kepatuhan terhadap International Health Regulations (IHR) yang diterbitkan oleh WHO dan standar- standar mengenai kualitas siskeswannas (PVS Pathway) yang diterbitkan oleh OIE. Dalam hal ini, Indonesia perlu menerapkan pendekatan ‘One Health’ yang dapat digunakan untuk memahami secara lebih baik penyebab dari muncul dan menyebarnya penyakit-penyakit bersumber dari hewan. Indikator-indikator yang ditetapkan dalam IHR dan PVS Pathway tersebut, dapat digunakan untuk membangun suatu sistim koordinasi antara kesehatan dan kesehatan hewan nasional yang komprehensif dan paralel dalam upaya mengelola risiko pada keterkaitan antara hewan dan manusia (animal-human interface).
Keempat, Indonesia ikut serta aktifdalam menjalankan pelaporan penyakit global yang ditetapkan dalam World Animal Health Information System (WAHIS) OIE. Indonesia harus sedapat mungkin memanfaatkan WAHIS sebagai suatu sumber terkemuka yang komprehensif untuk deteksi dini, monitoring dan pelaporan secara transparan penyakit-penyakit hewan, termasuk zoonosis. Indonesia harus menyadari bahwa pelaporan global secara cepat sesuai waktu sebenarnya (real time) adalah prasyarat dan kritis untuk komunikasi yang efisien dan respon cepat terhadap kejadian-kejadian penyakit.
Kelima, Indonesia harus memanfaatkan semaksimal mungkin keberadaan jejaring global OIE yang terdiri dari 296 Laboratorium Referensi (Reference Laboratories) dan Pusat-pusat Kerjasama (Collaborating Centres) dan begitu juga dengan keberadaan Focal Point di tingkat nasional dan yang menjadi penyedia informasi ilmiah berkelanjutan dan,permanen dalam suatu sistim respon darurat global. Focal point yang ada di masing-masing negara termasuk Indonesia, terdiri dari 6 (enam) kategori yaitu (1) notifikasi penyakit hewan ke OIE; (2) hewan aquatik; (3) satwa liar; (4) produksi ternak dan keamanan pangan; (5) produk-produk veteriner; dan (6) kesejahteraan hewan. Bersambung… (Tri Satya Putri Naipospos, Ketua II PB PDHI)
Sumber: Vetnesia Edisi 1 Januari 2019