Vets for a Better Life
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies
Tuesday, 19 March 2024
Tata2

Kesehatan Hewan Global (Bagian 2)

Jumat, 1 Maret 2019

Meskipun kesadaran tentang kesehatan global menjadi tantangan bagi semua pihak tanpa terkecuali, namun masih tetap dibutuhkan upaya harmonisasi beragam pendekatan di tingkat multilateral.

Masih banyak pendapat di kalangan negara-negara anggota OIE yang menganggap kurangnya transparansi dalam pelaksanaan tindakan-tindakan sanitary yang menyebabkan kurangnya kepercayaan antara negara mitra dagang.

Perlunya perbaikan transparansi antar negara

Isu-isu transparansi yang seringkali dihadapi negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah (1) transparansi dalam pelaporan penyakit dan (2) transparansi dalam penerapan standar-standar internasional hewan yang berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan hewan serta keamanan perdagangan.

Transparansi dalam pelaporan penyakit berarti setiap negara anggota OIE melaksanakan pelaporan penyakit hewan yang terdeteksi di wilayah teritorialnya. OIE mendesiminasi informasi tersebut ke seluruh dunia melalui websitenya, sehingga setiap negara dapat mengambil aksi pencegahan yang diperlukan. Informasi ini termasuk juga penyakit-penyakit yang dapat ditularkan ke manusia dan introduksi patogen baru.

Seperti halnya negara lain, Indonesia menganggap penting dan seringkali memanfaatkan standar-standar kesehatan hewan internasional yang dimuat dalam OIE Terrestrial and Aquatic Animal Health Code. Upaya membangun kepercayaan dan transparansi dengan mengimplementasikan standarstandar internasional sangat penting dalam mencapai kesetaraan dan keadilan antar negara. Data dan informasi ilmiah serta standarstandar internasional keamanan pangan merupakan barang publik yang sifatnya global (global public goods) yang bergantung kepada proses transparan dan memiliki tujuan.

Transparansi dimanfaatkan secara berbeda-beda oleh masing-masing pemangku kepentingan. Transparansi bagi organisasi internasional dan anggota-anggotanya digunakan untuk mendukung adanya suatu sistim pengaturan multilateral yang efektif dan inklusif. Transparansi bagi sektor swasta berkontribusi bagi terjadinya persaingan yang sehat dan lingkungan yang stabil, sehingga memungkinkan sektor swasta untuk berkembang, dan pada gilirannya menciptakan lapangan pekerjaan, mempromosikan pertumbuhan ekonomi, ketahanan pangan dan pengurangan kemiskinan. Sedangkan transparansi bagi masyarakat awam (civil society) berkontribusi dalam membangun kepercayaan dalam melaksanakan aksi-aksi publik dan aksi-aksi dalam sistim multilateral.

Resistensi antibiotik

Kecenderungan timbulnya resistensi antibiotik memunculkan suatu ancaman global terhadap manusia dan hewan. Kebanyakan literatur menyatakan konsekuensi dari munculnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik dan penyebarannya di antara hewan memiliki dampak potensial terhadap kesehatan masyarakat.

Suatu studi memperkirakan bahwa sekitar 33 ribu orang meninggal setiap tahun di seluruh dunia sebagai konsekuensi langsung dari infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Sementara itu, suatu laporan dengan profil yang tinggi memperkirakan bahwa pada tahun 2050, 10 juta orang akan meninggal dunia setiap tahun disebabkan oleh resistensi antibiotik apabila tidak ada respon global terhadap masalah ini.

Meski demikian perkiraan global tentang beban masalah resistensi antibiotik yang sebenarnya dianggap tidak terlalu informatif. Sampai saat ini masih diperlukan data yang detil dan dapat diandalkan dalam upaya untuk memperbaiki tindakan-tindakan pengendalian resistensi antibiotik berdasarkan surveilans berbasis populasi di negara-negara berpendapatan rendah, menengah dan tinggi.

Pada dasarnya, selama ini area penggunaan antibiotik ditargetkan untuk promosi pertumbuhan kelompok ternak (growth promotants), pencegahan penyakit dan pengobatan penyakit. Produk-produk alternatif — misalnya: vaksin, prebiotik, probiotik dan modulator kebal — menyediakan suatu opsi baru bagi dokter hewan dan peternak untuk mengurangi penggunaan antibiotik.

Pada ternak produksi, beragam penyakit bakterial menyebabkan ternak sakit dan penderitaan bagi ternak, sehingga timbul kerugian ekonomi akibat gangguan produksi. Penyakit-penyakit pernafasan dan pencernaan merupakan yang terpenting pada beberapa spesies, dan mastitis adalah yang paling utama pada ternak yang dipelihara untuk produksi susu.

Pada ternak produksi semacam ini dimana kepadatan ternak tinggi, risiko wabah penyakit juga tinggi. Sebagai contoh peternakan feedlot dimana anak sapi digemukkan untuk produksi daging sapi. Penyakit-penyakit bakterial juga penting di sektor aquakultur dimana hewan aquatik, seperti ikan dan udang dibudidayakan dalam jumlah besar dengan kontak antar individu yang sangat dekat.

Ternak unggas, babi penggemukan, dan ikan paling banyak diobati dengan antibiotik secara oral per kelompok melalui pakan atau air, sedangkan pada ternak sapi, kerbau, dan babi pembibitan diobati secara individual menggunakan formulasi yang diinjeksikan ke tubuh hewan.

Akses, rasional dan motif penggunaan antibotik untuk produksi hewan pangan secara global sangat bervariasi. Di beberapa negara terdapat sejumlah pembatasan terhadap akses dan penggunaan antibiotik bagi ternak produksi, tetapi di negara-negara lain penggunaan antibiotik diatur secara ketat dan antibiotik hanya dapat diberikan setelah ada resep dari dokter hewan.

Di samping penggunaan teurapetik dan profilaksis, antibiotik juga digunakan untuk memperbaiki pertumbuhan ternak produksi dengan menyertakan antibiotik dosis rendah dalam pakan. Penggunaan semacam ini dianggap kontroversial mengingat risiko munculnya resistensi antibiotik dan seleksi bakteri resisten, sehingga dainggap menjadi ancaman utama bagi kesehatan hewan maupun kesehatan manusia.

Penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (growth promoters) sudah dilarang di sejumlah negara di dunia. Pertama kali oleh Swedia pada tahun 1986, diikuti oleh negara-negara lain, dan pada tahun 2006 sudah dilarang di seluruh negara-negara Uni Eropa. Indonesia juga sudah melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan sejak tahun 2018.

Untuk memitigasi dampak penyakit-penyakit bakterial tersebut, antibiotik haruslah digunakan secara teurapetik untuk mengobati hewan sakit dan untuk profilaksis untuk mengantisipasi jika terjadi wabah penyakit pada individu ternak atau kelompok ternak.

Di Amerika Serikat, industri peternakan besar seperti Tyson dan Perdue telah melakukan respon terhadap permintaan konsumen untuk mengurangi atau menghilangkan penggunaan antibiotik dalam pemeliharaan ternak. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan makanan cepat saji raksasa seperti McDonald’s, Subway, Kentucky Fried Chicken (KFC) dan lainnya berkomitmen untuk menghentikan pembelian daging ayam dan daging sapi yang dipelihara dengan menggunakan antibiotik yang penting bagi kedokteran manusia.

Dalam pelayanan kesehatan hewan, anjing dan kucing adalah hewan yang paling banyak hadir di klinik dan rumah sakit hewan. Di rumah sakit hewan yang modern, peralatan diagnostik yang canggih biasanya tersedia, dan terdapat peluang yang terbaik untuk dilakukan perawatan intensif dan bedah. Dalam hal semacam ini, ada kepadatan hewan yang tinggi dan penggunaan antibiotik sering terjadi, terutama untuk infeksi nosokomial.

Dalam dekade terakhir terdapat jumlah laporan yangmeningkat dari rumah sakit mengenai infeksi pada orang dengan bakteri gram negatif multiresisten, yang terkait dengan resistensi terhadap generasi ketiga cephalosporin atau carbapenems pada anjing.

Meskipun konsekuensi resistensi sebagian besar adalah negatif, akan tetapi pendalaman terhadap bobot masalah dan fokus dari kalangan masyarakat ilmiah dan media terhadap isu ini juga memberikan aspek yang positif. Kemunculan resistensi telah menjadi suatu insentif bagi pengembangan, evaluasi dan adaptasi dari rejim-rejim lain yang digunakan untuk pengobatan atau pencegahan.

Upaya Indonesia ke depan

Upaya Indonesia dalam pencegahan dan pengendalian penyakit hewan menular harus didasarkan atas tatacara pemerintahan yang baik dengan menerapkan legislasi, kebijakan dan metoda yang tepat. FAO, OIE dan WHO telah mengidentifikasi aksi-aksi prioritas ‘One Health’, yaitu rabies, influenza zoonotik, resistensi antimikroba, begitu juga pengendalian penyakit-penyakit zoonotik pada sumbernya yaitu hewan.

Siskeswannas yang dibangun dan dikembangkan Indonesia harus mematuhi prinsip-prinsip tatacara pemerintahan yang baik, sehingga mampu melakukan deteksi dini, respon cepat, pertukaran data, dan transparansi dalam notfikasi penyakit dan komunikasi antar negara. Sistim nasional tersebut akan menjadi efisien apabila setiap negara menghormati dan mengimplementasikan perjanjian-perjanjian, regulasi dan standar-standar antar negara yang sudah ada.

Penghormatan terhadap kewajiban seperti itu akan memungkinkan terjadinya harmonisasi global dalam kebijakan-kebijakan dan metoda-metoda pencegahan dan pengendalian penyakit hewan, serta juga sangat relevan dengan kepentingan surveilans dan pencegahan resistensi antimikroba.

Disamping itu, inovasi dan bioteknologi menjanjikan suatu dukungan di masa depan bagi upaya meningkatkan diagnostik dan genomik yang diaplikasikan untuk pengembangan vaksin-vaksin generasi baru untuk mencegah penyakit dan juga pengembangan alternatif antibiotik untuk menangani resistensi penyakit.

Untuk mempromosikan penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggung jawab oleh dokter hewan, maka pedoman-pedoman internasional dan nasional harus diterbitkan dan dipatuhi untuk mendapatkan tujuan ganda yaitu memastikan efikasi teurapetik dan memitigasi resistensi.

Di masa depan, perawatan kesehatan hewan peliharaan dan ternak produksi harus memiliki tujuan yang sama yaitu mengurangi insidensi penyakit-penyakit hewan menular dengan mengurangi kebutuhan antibiotik. Hal ini bahkan menjadi relevan, mengingat saat ini sangat tidak mungkin kelas antibiotik baru akan tersedia untuk penggunaan pada hewan. Apabila kelas antibiotik baru tersedia dan akan dipasarkan di masa depan, antibiotik tersebut mungkin terbatas hanya untuk penggunaan pada manusia saja. Selanjutnya hal ini akan mendorong upaya-upaya untuk memitigasi muncul dan menyebarnya resistensi terhadap antibiotik yang saat ini ada di dunia kedokteran hewan melalui program-program penatalaksanaan antibiotik (antibiotic stewardship), termasuk tindakan-tindakan seperti biosekuriti dan lainnya untuk mempertahankan agar ternak tetap sehat tanpa penggunaan antibiotik.

(Tri Satya Putri Naipospos, Ketua II PB PDHI)

 

Sumber: Vetnesia Edisi 2, Februari 2019

Tinggalkan Balasan

Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.

Kesehatan Hewan Global (Bagian 2)

by Patricia Noreva time to read: 5 min
0