Antibiotik baru ditemukan setelah 30 tahun
Rabu, 7 Januari 2015
Antibiotik baru pertama yang ditemukan setelah hampir 30 tahun ini disebut sebagai ‘pergeseran paradigma’ dalam usaha mengatasi resistensi penyakit terhadap obat-obatan.
Teixobactin dapat digunakan untuk mengobati berbagai macam infeksi bakteri seperti tuberkulosis, septisemia dan Clostridium difficile. Obat ini diperkirakan akan tersedia dalam lima tahun mendatang.
Namun yang lebih penting adalah obat ini dapat membuka jalan bagi penemuan generasi antibiotik yang baru sebagai akibat dari cara senyawa ini ditemukan.
Selama ini para peneliti selalu percaya bahwa banyak terdapat antibiotik yang baru dan poten di tanah karena berbagai macam bakteri telah mengembangkan cara-cara baru untuk melawan mikroba lainnya.
Namun 99 persen mikroba tidak dapat tumbuh di dalam laboratorium, mengakibatkan banyak peneliti menjadi frustrasi karena mereka tidak dapat memperoleh obat-obatan penyelamat jiwa yang alami tersebut.
Kini sebuah tim peneliti dari Northeastern University di Boston, Massachusetts, telah menemukan cara baru menggunakan chip elektronik untuk menumbuhkan mikroba di tanah dan mengisolasi senyawa kimia antibiotiknya.
Tim ini menemukan satu senyawa, yaitu Teixobactin, yang sangat efektif dalam mengatasi infeksi bakteri Clostridium difficile, Mycobacterium tuberculosis, dan Staphylococcus aureus.
Profesor Kim Lewis, Direktur Antimicrobial Discovery Centre mengatakan “Selain dari implementasi langsungnya, saya rasa terjadi juga pergeseran paradigma dalam pola pikir karena selama ini kita bertindak berdasarkan pemikiran bahwa timbulnya resistensi itu tidak dapat dielakkan dan kita harus fokus pada introduksi obat baru yang lebih cepat daripada resistensi.
“Teixobactin menunjukkan bagaimana kita dapat mengadopsi strategi alternatif dan mengembangkan senyawa yang mana bakteri tidak resisten.”
Antibiotik pertama, Penicillin, ditemukan oleh Alexander Fleming tahun 1928 dan lebih dari 100 senyawa telah ditemukan setelahnya, namun tidak ada kelas antibiotik baru yang ditemukan sejak 1987.
Kurangnya obat baru ditambah dengan penggunaan berlebihan mengakibatkan bakteri menjadi semakin resisten terhadap obat-obat modern.
Dame Sally Davies, Chief Medical Officer pemerintahan Inggris mengatakan resistensi antibiotik merupakan ‘ancaman yang setara dengan risiko terorisme’ dan memperingatkan masyarakat bahwa Inggris berpotensi kembali ke kondisi abad ke-19 dimana infeksi atau operasi kecil dapat menyebabkan kematian.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga mengklasifikasi resistensi antimikroba sebagai ‘ancaman serius’ bagi seluruh dunia yang ‘berpotensi terjadi pada siapapun, semua umur, di negara manapun”.
Namun penemuan baru ini memberikan harapan baru akan penemuan banyak antibiotik baru yang dapat digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri.
Para peneliti percaya bahwa bakteri tidak akan membentuk resistensi terhadap Teixobactin setidaknya dalam 30 tahun ke depan karena metode aksinya yang beragam.
Pengujian pada tikus menunjukkan bahwa antibiotik ini berfungsi baik dalam menghilangkan infeksi tanpa efek samping. Tim peneliti saat ini sedang fokus pada peningkatan produksi agar dapat diujicobakan pada manusia.
“Saat ini kami dapat memberikan dosis untuk menyembuhkan tikus dan serangkaian model infeksi serta aplikasi sebanyak 10 mg per kg agar berkorelasi dengan penggunaan pada manusia,” tambah Profesor Lewis.
Terobosan ini disambut baik oleh para peneliti yang mengatakan temuan ini dapat menjadi ‘titik balik’ dalam perjuangan melawan resistensi mikroba.
Profesor Laura Piddock, Dosen Mikrobiologi dari University of Birmingham, mengatakan “Alat penapis (screening) yang dikembangkan oleh tim peneliti ini dapat menjadi ‘titik balik’ bagi penemuan antibiotik karena memungkinkan isolasi berbagai senyawa dari tanah bermikororganisme yang sebelumnya tidak dapat tumbuh dalam kondisi lab biasa.”
Profesor Mark Woolhouse, Dosen Epidemiologi Penyakit Infeksius dari University of Edinburgh menambahkan “Laporan penemuan antibiotik baru selalu memberikan harapan, namun yang paling menarik dari tulisan ini bagi saya adalah kemungkinan bahwa penemuan ini baru ujung dari gunung es.”
“Sebagian besar antibiotik merupakan produk alami yang diekstrak dari mikroba dalam tanah. Yang sudah ditemukan sejauh ini berasal dari bagian yang sangat kecil dari keanekaragaman mikroba yang ada.”
“Lewis dkk telah menemukan cara mencari antibiotik dari mikroba jenis lain yang merupakan bagian dari mikroba yang sangat sulit untuk dipelajari.”
Dr. Angelika Gründling, Pembaca Mikrobiologi Molekuler dari Imperial Collega London mengatakan penemuan ini ‘memberi harapan bahwa banyak antibiotik baru dapat digunakan di klinik-klinik tidak lama lagi’.
“Harapan besarnya sekarang adalah lebih banyak antibiotik baru dapat ditemukan dengan cara serupa.”
Kesehatan Masyarakat Inggris (Public Health England) juga menyambut baik terobosan ini.
“Meningkatnya resistensi antibiotik merupakan ancaman bagi pelayanan kesehatan modern saat ini, jadi penemuan ini dapat menjembatani jurang pemisah yang semakin melebar antara kejadian infeksi dan obat-obatan yang tersedia untuk penanganannya,” kata Profesor Neil Woodford, Kepala Unit Referensi Infeksi Terkait Resistensi Antimikroba dan Pelayanan Kesehatan dari Badan Kesehatan Masyarakat Inggris.
Hasil penelitian ini dipublikasi di jurnal Nature. (Sarah Knapton)
Sumber: The Telegraph