Vets for a Better Life
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies
Thursday, 18 April 2024
Personel Babinsa TNI mengangkat bangkai babi dari aliran Sungai Bederah, untuk dikubur, di Kelurahan Terjun, Medan, Sumatera Utara, Selasa (12/11/2019).
Sumber: Antara

Kematian Massal Ternak Masih Terjadi

Selasa, 25 Februari 2020

Medan – Enam bulan didera wabah demam babi afrika (african swine fever/ASF), termasuk diwarnai demo besar di Sumatera Utara pada pertengahan Februari, para peternak babi di Sumatera Utara belum juga menemukan solusi. Wabah terus menyebar dengan jumlah kematian ternak dilaporkan 47.143 ekor di 22 kabupaten/kota, belum termasuk wabah di Bali dan diduga NTT yang membuat 2.000-an babi mati.

Pukulan wabah ASF antara lain dirasakan sekitar 700 peternak di Desa Helvetia, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumut. Sebagian besar kandang di sentra peternakan babi itu kosong, Jumat (21/2). Namun, sebagian sudah mengisi lagi kandangnya dengan babi baru. Akibatnya, ternak babi baru itu juga mati. Itu gambaran betapa minimnya penyuluhan dan sosialisasi kepada peternak.

”Kami belum pernah dapat solusi dari pemerintah. Saya isi lagi kandang dengan meminjam uang. Saya malah merugi lagi,” kata Jurtini Boru Siahaan (55), peternak di Desa Helvetia. Kandang seharusnya tidak boleh diisi sampai wabah pulih karena ASF belum ada obat dan vaksinnya. Virus ASF bisa bertahan lebih dari 100 hari di dalam kandang. Wabah ASF mulai masuk ke Indonesia melalui Sumut sejak September 2019.

Kematian babi secara masif awalnya terjadi di Kabupaten Dairi, Humbang Hasundutan, dan Deli Serdang. Setelah dua bulan wabah merebak, Pemerintah Provinsi Sumut bersikeras kematian babi disebabkan penyakit kolera babi (hog cholera). Penyakit kolera babi yang disebabkan virus demam babi klasik (classical swine fever/CSF) seharusnya tidak sulit dikendalikan karena ada vaksinnya.

Uji laboratorium Balai Veteriner Medan menyatakan bahwa kematian babi disebabkan ASF, bukan hog cholera. Namun, hasil uji laboratorium itu tidak serta-merta diikuti deklarasi atau pernyataan wabah oleh pemerintah. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), yang mempunyai wewenang menyatakan kejadian wabah adalah Menteri Pertanian.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo baru mengeluarkan pernyataan wabah atau deklarasi ASF, 12 Desember, setelah menyebar di 16 kabupaten/kota di Sumut. Sesuai Undang-Undang PKH, pernyataan wabah seharusnya diikuti penanggulangan dan penyediaan anggaran memadai. Namun, hingga kini, Pemprov Sumut dan pemerintah kabupaten/kota masih terus mengeluh karena tidak ada anggaran.

”Kami sudah mengajukan anggaran ke Kementerian Pertanian, tetapi masih dalam proses,” kata Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut Azhar Harahap. Di Bali, sekitar 1.000 babi ternak di sejumlah kabupaten juga mati. Dugaannya virus ASF meski belum ada pernyataan resmi. Kabupaten Badung merupakan daerah dengan kematian babi terbanyak, yaitu hingga 500 ekor.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Badung I Wayan Wijana mengatakan, dirinya belum berani menyimpulkan mengenai kematian ini. Ia mengajak menunggu jawaban dari Kementerian Pertanian. Dinas pertanian dan ketahanan pangan kabupaten/kota dan provinsi mengimbau tetap tenang. Mereka mengatakan tak tahu apakah babi positif ASF atau hasil laboratorium Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar dan BBVet Medan (Sumatera Utara) itu negatif.

 

Peternak Terpuruk

Di tengah ketidakpastian penanganan, para peternak semakin terpuruk. Peternak di Desa Helvetia juga belum paham penyakit yang mematikan itu. Soean Siagian (65), peternak lain di Helvetia, mengatakan, September-Oktober 2019 sebanyak 30 ternaknya mati. Ia rugi sekitar Rp 75 juta. Ternak babi yang tersisa tak menolong. Harga anjlok dari Rp 30.000 menjadi Rp 10.000 per kilogram. ”Itu pun sangat sulit dijual,” katanya.

Ketua Asosiasi Peternakan Babi Sumut Hendri Duin Sembiring mengatakan, pemerintah sebaiknya menyiapkan langkah memulihkan Sumut dari daerah wabah jadi bebas wabah. Peningkatan konsumsi juga segera didorong agar mengurangi populasi dan memutus mata rantai penyebaran virus ASF. Yang terjadi sebaliknya. Konsumsi masyarakat menurun drastis karena takut terjangkit virus.

Padahal, ASF bukan zoonosis. ”Pesta adat pun saat ini tidak lagi menggunakan babi. Ini yang membuat harga babi semakin anjlok dan peternak terpuruk,” katanya. Di Bali, tanggapan konsumen pun beragam. Intinya, mereka percaya menu daging babi olahan yang dimasak matang, aman. Rai Misno, warga Denpasar, misalnya, tidak khawatir makan. Ia memilih tempat bersih dan benar-benar memasak hingga matang.

Demi memutus mata rantai wabah, Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (Gupbi) Bali siap mendukung eliminasi ternak babi hingga radius 5 kilometer dari titik kematian ternak. Syaratnya, ganti rugi Rp 2,5 juta per ekor babi seberat 100 kg per ekor. Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Fajar Sumping Tjaturasa, dihubungi di Jakarta, mengatakan, tak ada anjuran pemusnahan massal ternak di Sumut dan Bali. ASF memang belum ada obatnya, tetapi bisa ditanggulangi jika menerapkan biosekuritas.

Petugas menyuntikkan vaksin antraks pada tubuh kambing ternak di Desa Dadapayu, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, Rabu (22/1). Setiap hari Dinas Pertanian dan Pangan Gunung Kidul melakukan penyuntikan vaksin pada ribuan hewan ternak sapi dan kambing untuk mengurangi risiko penyebaran penyakit antraks di kabupaten tersebut.

 

Antraks

Di Gunung Kidul, Yogyakarta, bukan ASF yang meresahkan peternak sapi, melainkan antraks yang muncul tahun 2019. Ratusan ternak mati mendadak, tetapi hanya beberapa yang dinyatakan positif antraks. Kemunculan antraks pertama di Dusun Grogol IV, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, April 2019. Awalnya lima sapi warga mati mendadak. Lalu, menyebar cepat.

Dinas Pertanian dan Peternakan Gunung Kidul bergegas memberi antibiotik dan vaksin antraks. ”Pengendalian penyebaran bakteri dalam radius 5 kilometer dari penemuan bakteri,” kata Kepala Seksi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Pertanian dan Pangan Gunung Kidul Retno Widyastuti. Hingga kini, vaksinasi mencakup 1.850 sapi dan 4.095 kambing. Suntik antibiotik bagi 3.693 sapi dan 8.972 kambing. (Nikson Sinaga/Ayu Sulistyowati/Nino Citra Anugrahanto)

 

Sumber: Harian Kompas

Tinggalkan Balasan

Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.

Kematian Massal Ternak Masih Terjadi

by Civas time to read: 3 min
0