“Jembrana”, Virus Penebar Kematian Sapi Bali
Rabu, 15 Maret 2017
Jakarta – Sebagai salah satu negara pengimpor daging sapi, Indonesia memiliki kekhususan tersendiri dengan keberadaan ternak asli yang dibudidayakan secara tradisional dan turun-temurun, salah satunya di Bali. Jenis sapi dengan nama latin Bos Sondaicus atau Bibos Javanicus ini dikenal dengan nama Sapi Bali.
Secara historis sapi jenis ini memang umum ditemukan di Pulau Jawa, Lombok, khususnya Bali. Keunggulan sapi ini dibanding dengan jenis lainnnya terletak pada reproduksinya yang sangat baik dan postur dagingnya yang lebih padat dibanding sapi umumnya. Itu pula alasan sapi ini banyak diandalkan menggarap sawah.
Ciri lain yang membedakan sapi ini dengan jenis lainnya merupakan bentuk tubuhnya yang menyerupai banteng dan warna kecokelatan dengan garis hitam di punggungnya saat kecil. Perbedaan antara betina dengan jantan terlihat saat dewasa. Sapi jantan berwarna hitam dan betina berwarna coklat kemerahan.
Pengiriman sapi jenis ini ke luar wilayah Bali yang berlebihan mengakibatkan penurunan populasi selama beberapa tahun terakhir. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Pemprov Bali I Wayan Sumantra.
Setidaknya pada tahun 2013 lalu ada 65.000 ekor sapi yang dikirim ke luar wilayah Bali. Atas permintaan pemerintah pusat jumlah pengiriman ditambah sampai menurunkan populasinya dari 673.000 ekor menjadi sekitar 473.000 ekor.
Data Pemprov Bali mencatat pada 2016 ada 553.000 ekor sapi yang berarti mengalami peningkatan dari tiga tahun sebelumnya. Hingga Maret tahun 2017 bahkan diperkirakan kembali meningkat sekitar 600 ekor.
Terlepas dari kualitas sapi Bali yang terbilang unggul dan merupakan jenis endemik Indonesia. Hewan ternak ini ternyata membawa kekhawatiran bagi peternak-peternak, tidak hanya di Bali sebagai daerah asalnya. Namun juga di beberapa wilayah di Indonesia.
Ciri sapi Bali melekat pada kekhasan penyakit bernama jembrana yang umum menjangkitinya. Menteri pertanian lewat SK nomor 4026 tahun 2013 menyatakan jembrana sebagai penyakit hewan menular strategis (PMHS). Penyakit ini menimbulkan kerugian ekonomi, mengganggu kesehatan masyarakat, dan kematian hewan yang tinggi.
Dampak fatal akibat penyakit ini mendapat prioritas, baik pengendalian dan pemberantasannya, secara nasional. Sejak tahun 1993 penyakit hewan menular ini kerap kali menimbulkan wabah pada ternak sapi Bali. Seiring ekspansi sapi Bali ke berbagai daerah di Indonesia, penyebaran jembrana pun meluas ke provinsi lain.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian meninjau sejak tahun 2013 Kabupaten Kampar dan kabupaten lainnya di Provinsi Riau merupakan salah satu daerah endemi penyakit jembrana. Sepanjang tahun 2016 dilaporkan telah terjadi kematian Sapi Bali sebanyak 254 ekor akibat terjangkit penyakit ini.
Sementara Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Pekanbaru mencatat 134 ekor sapi Bali mati akibat terjangkit penyakit jembrana sepanjang Desember 2016 hingga Maret 2017. Padahal sepanjang Januari-November 2016, jumlah kematian sapi karena Jembrana di Pekanbaru hanya sebanyak 2 ekor.
Peternak sapi Jawa Tengah Dodik mengakui penyakit Jembrana menjadi momok menakutkan, mengingat dampaknya yang bisa berujung pada kematian sapi ternak. “Kami di Jawa, ada regulasi tidak boleh pelihara sapi Bali, sapi Bali itu diduga pembawa virus jembrana. Nanti itu kalau sudah ada yang kena, mewabah, ya fatal dampaknya,” ujarnya Kamis (12/10).
Peternak Sapi Bali, I Gusti Made Putra Wibawa, Jumat (13/10), menerangkan, sapi yang terjangkit penyakit jembrana memiliki ciri-ciri awal penurunan nafsu makan dan daya tahan tubuh. Virus penyakit ini lebih mudah menyerang kekebalan tubuh hewan terutama pada saat-saat seperti perubahan iklim dan cuaca yang ekstrim.
Kemudian yang menjadi ciri selanjutnya adalah demam pada sapi yang bisa mencapai 42 derajat celcius. Pada tahap ini sapi juga mengalami pendarahan pada area di bawah kulit, seperti di daerah panggul, punggung, perut, dan skrotum. Pria yang juga menjabat Ketua II Asosiasi Sarjana Membangun Desa ini menambahkan, tak jarang gejala penyakit ini diikuti pula dengan diare berdarah. Luka-luka tampak pada selaput lendir dan mulut hingga cairan yang keluar dari hidung (ingus) secara terus-menerus.
Jembrana yang memiliki nama lain “keringat darah” ini juga menyebabkan pembengkakan kelenjar limpa pada sapi hingga menimbulkan kematian. Virus ini tidak hanya menyerang satu dua ekor sapi dalam sebuah peternakan, namun penyebarannya berpotensi lebih masif sampai menjadi wabah pada suatu wilayah.
“Kalau wabah itu, satu sapi saja yang kena dan penangannya tidak benar, itu bisa mewabahi satu daerah. Sekarang kan sudah ada Balai Veteriner (kedokteran hewan). Bertugas untuk mengendalikan wabah itu.” kata analis Laboratorium Terpadu Kampus II Universitas Andalas, Payakumbuh, Arif Trisma.
Arif justru mengungkapkan adanya mimpi buruk baru bagi peternak sapi. Penyakit bernama listeria disampaikan Arif dapat menular dari ternak ke manusia atau manusia ke ternak. Efeknya dapat menyebabkan terjadinya kemandulan atau gangguan reproduksi.
Menular ke Manusia
Selain jembrana, beberapa penyakit juga menghantui komoditas sapi di Indonesia. Salah satunya yang dinilai membahayakan adalah anthrax atau biasa juga disebut radang limpa. Penyakit ini disebabkan oleh kuman bacillus anthracis dan dapat menyerang semua hewan berdarah panas termasuk sapi.
Daerah endemis anthrax di Indonesia menyebar ke 14 provinsi yaitu Sumatera Barat, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Di Yogyakarta (2003), Jawa Timur, Sulawesi Barat dan Gorontalo. Peristiwa terbaru diduga anthrax terjadi tahun 2016 lalu di Sulawesi Barat dan Gorontalo.
Untuk tingkat kabupaten/kota, di tahun 2016 wabah anthrax terjadi di Kabupaten Sidrap, Kabupaten Gowa, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Maros (sulwesi Selatan), Kabupaten Poliwali Mandar (Sulawesi Barat), Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango (Provinsi Gorontalo), dan Kabupaten Pacitan (Provinsi Jawa Timur). Khusus untuk Gorontalo, wabah anthrax merupakan yang pertama ditemukan di provinsi ini.
Hingga Oktober tahun 2016, hanya 7 provinsi yang tidak pernah dilaporkan terjadi kasus anthrax yaitu Aceh, Riau, Bangka Belitung, Maluku Utara, Maluku, Papua dan Papua Barat.
Memasuki tahun 2017, Yogyakarta digemparkan dengan peristiwa 16 warga tertular anthrax yang dibawa sapi sakit. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman memastikan pemusnahan terhadap sapi terdeteksi penular anthrax tersebut telah dilakukan. Isolasi juga dilakukan agar virus anthrax tidak menyebar.
Penyakit ini berdampak pada kerugian ekonomi, keresahan masyarakat, dan kematian hewan yang tinggi, bahkan bisa membunuh manusia yang terjangkit, pengendalian dan pemberantasan anthrax menjadi perhatian utama secara nasional. Monitoring, sosialisasi dan evaluasi merupakan salah satu program pemerintah dalam rangka pencegahan penyakit anthrax.
Penguatan tenaga medis sebagai garda terdepan penanganan penyakit ini pun dilakukan. Sampai bulan Desember 2016 tercatat 1483 unit Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) tersebar di 460 kabupaten/kota yang terbagi dalam 1483 Kecamatan. Jumlah tenaga dokter hewan tercatat 1255 orang dan tenaga paramedis veteriner sebanyak 3337 orang.
Mengacu pada data tersebut, dibandingkan tahun sebelumnya, terjadi peningkatan jumlah puskeswan sebesar 17,52% yaitu dari 1262 puskeswan menjadi 1483 puskeswan. Peningkatan jumlah tenaga dokter hewan di puskeswan sebesar 47,13% dari 853 orang menjadi 1255 orang. Sementara tenaga paramedik veteriner di Puskeswan meningkat 37,22% dari 2432 di tahun 2015 menjadi 3337 orang di tahun 2016.
Di samping antrhax, beberapa penyakit ditemui yang tergolong penyakit hewan menular strategis pada ternak sapi yaitu brucellosis, Penyakit Mulut dan kuku (PMK) dan Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) atau dikenal dengan istilah “sapi gila”. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita mengungkapkan, PMK dan BSE tak ditemukan di Indonesia namun pemerintah berupaya menjaga tidak masuknya kedua penyakit menular ini ke tanah air.
“PMK dan BSE saat ini tidak ditemui di Indonesia sehingga kita hanya menjaga agar tidak masuk dari negara lain. Untuk anthrax dan brucella dilakukan pengendalian dan pemberantasan penyakit yaitu dengan menerapkan program vaksinasi, biosecurity dan surveilans,” jelas I Ketut.
Sejumlah penyakit lain yang kerap ditemui di ternak sapi yaitu surra, septichaemia epizootica (SE), MCF, IBR dan BVD. Ia memastikan pemerintah melaksanakan program vaksinasi, biosecurity serta surveilans dan monitoring secara rutin, baik dalam rangka pencegahan dan pengendalian penyakit hewan menular.“Setiap tahun hasil pelaksanaan program dan kegiatan dituangkan dalam database dan juga buku peta penyakit dan situasi kesehatan hewan di Indonesia. Dalam peta tersebut dapat dilihat data secara nasional sampai level daerah (desa),” tukasnya.
Tradisional
Dodik mengemukakan, program vaksin rutin dilakukan pemerintah, termasuk untuk mengantisipasi penyakit anthrax, jembrana sehingga dipastikan sapi yang masuk ke wilayah Jawa Tengah lebih higienis. Sebagai salah satu wilayah produsen sapi, provinsi Jawa Tengah, dalam hal ini dinas pertanian setempat juga selalu melakukan sosialisasi untuk pencegahan masuknya penyakit menular pada sapi.
“Ada penyuluhan tentang penyakit-penyakit, misalnya cacing hati, terus juga yang di pencernaan, nah itu biasanya ada penanganannya, dengan injeksi atau dengan diberi obat oral. Ada di pasaran obat-obatnya,” papar Dodik.
Pengobatan secara tradisional juga dikemukakan Dodik kerap dilakukan peternak di Jawa Tengah. Sebagai contoh sapi yang menderita kembung disebutnya harus mendapatkan penanganan khusus. Peternak umumnya memberi sapi itu dengan asupan minyak goreng.
“Kalau dengan temen-temen di dinas biasanya di lambungnya (sapi) itu disuntik, pakai kayak pipa. Karena sebenarnya itu isinya buih-buih,” timpalnya.
Umumnya menurut Dodik, tak jarang penyakit yang diderita sapi justru diakibatkan oleh kesalahan peternak itu sendiri. Pemberian pakan rumput terlalu muda misalnya atau rumputnya dengan kondisi yang masih basah kerap memicu terjadinya kembung pada sapi. (Dianita Catriningrum/Rohadatul Aisy)
Sumber: Valid News