www.civas.net
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies
Wednesday, 2 October 2019
Cow Illustration

Bebas Brucellosis, Sebuah Upaya Utopis?

Kamis, 1 Desember 2016

Tidak semua daerah mampu memenuhi kebutuhan daging sapi dari peternak lokalnya masing-masing. Tak jarang sapi atau daging sapi harus didatangkan dari daerah lain. Bahkan keinginan pemerintah daerah untuk mendongkrak produksi setempat dengan meningkatkan populasi sapinya pun, tidak bisa tidak, harus mendatangkan sapi dari luar daerah. Alhasil, lalu lintas sapi dari satu wilayah ke wilayah lain menjadi tak terelakkan.

Tingginya perpindahan hewan antar daerah ini menuntut tingginya surveilans dan monitoring penyakit menular. Dan brucellosis, salah satu yang mendapat perhatian tersendiri. Kalimantan Timur (Kaltim) misalnya, yang pemerintah provinsinya mencanangkan target populasi sapi di level 2 juta ekor di 2018, harus memasukkan sapi dari luar daerah. Sementara, provinsi ini berstatus bebas brucellosis sejak 2009. Keterangan ini disampaikan Edith Hendartie, Kapala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Provinsi Kaltim. Lebih lanjut ia menerangkan, dari target yang dipatok 2 juta ekor sapi, saat ini populasi masih dikisaran ratusan ribu ekor. “Pemerintah harus menjaga Kaltim dari brucellosis, di sisi lain masih membutuhkan hewan dari luar,” jelas Edith.

Risiko Kaltim kembali tertular brucellosis terbuka, karena mendapat pasokan sapi hidup dari Sulawesi, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan daerah lainnya. “Upaya monitoring dilakukan berdasarkan ketentuan dari pemerintah pusat dengan pendekatan karantina. Kasus terakhir ditemukan pada 2013, di sapi pengadaan bukan milik masyarakat lokal. Sebanyak 3 ekor positif, kala itu langsung dilakukan test and slaughter,” katanya. Masuknya ternak wajib diwaspadai karena sebagian besar sapi berasal dari wilayah endemis brucellosis.

Meski sudah melalui tahapan karantina dari daerah asal, sampai Kaltim kesehatan sapi kembali dicek. Tujuannya untuk memastikan hewan terjangkit penyakit atau tidak. Penyakit brucellosis harus diwaspadai karena punya dua aspek dampak, membahayakan bagi kesehatan manusia karena zoonosis (dapat menular ke manusia) dan mengakibatkan kerugian bagi peternakan. “Karena Kaltim aman dari brucellosis, maka kami memberlakukan uji RBT terhadap setiap ternak yang masuk,” tegas Edith.

 

Data Belum Akurat

Brucellosis merupakan penyakit yang penyebabnya adalah bakteri brucella dan menyerang organ reproduksi. Gejala utamanya adalah abortus atau keguguran atau keluron. Ketua Badan Pengurus Center for Indonesia Veterinary Analytical Studies (CIVAS), Tri Satya Putri Naipospos pernah memberikan keterangan terkait kejadian kasus brucellosis di Indonesia. Menurut wanita yang akrab disapa Tata ini, data yang ada tidak cukup akurat. Pasalnya, data hanya bergantung pada hasil surveilans Balai Besar Veteriner (BBVet). “Kebanyakan data dari balai tersebut, dan belum pernah ada laporan langsung dari masyarakat mengenai wabah kejadian abortus,” katanya.

Doktor ahli epidemiologi penyakit hewan ini menjelaskan, sampai saat ini diagnosa brucellosis baru dengan surveilans serologis. Deteksi pertama adalah menguji serum hewan menggunakan metode Rose Bengal Test (RBT), yang ibarat screening  hasilnya dapat diperoleh secara singkat. Hasil positif RBT harus diikuti dengan Complement Fixation Test (CFT), untuk mengonfirmasi kebenaran hasil RBT. Sapi-sapi yang terbukti positif dengan CFT ini kemudian diistilahkan sebagai sapi reaktor.

Menurut Tata, kasus brucellosis masih banyak terjadi pada sapi perah maupun sapi potong di berbagai wilayah tanah air, dan sulit diberantas. Gangguan sistem reproduksi ini menjadi ganjalan menggenjot populasi sapi potong dan sapi perah nasional serta target swasembada daging sapi.

Data-data penelitian dari balai penelitian veteriner, kata dia, menunjukkan kasus brucellosis di sapi perah cukup tinggi. “Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat cukup tinggi. Dan saya tidak melihat pola pemberantasan yang serius,” ujarnya bernada mengkritik. Maka itu, perlu digalang peran semua stakeholder agar kasus brucellosis dapat ditekan.

Meskipun tingkat kematian akibat brucellosis adalah kecil, tetapi penyakit ini sangat penting secara ekonomi. Pada ternak secara umum, kerugian yang paling nyata adalah aborsi, stillbirth, dan kemajiran, baik sementara maupun permanen. Pada ternak perah, selain kegagalan kebuntingan penyakit ini juga mengakibatkan penurunan produksi susu.

 

Beralih pada Uji Cepat

Secara teori penyebab keguguran bisa bermacam-macam, tidak hanya brucellosis. Tetapi dugaan adanya brucellosis timbul apabila ditemukan terjadinya keluron dalam kelompok ternak yang diikuti menghilangnya penyakit itu. “Keluron biasanya ditemukan pada trimester terakhir atau umur 6 bulan atau lebih,” jelas Puji Hartini, Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan PT Paeco Agung saat dimintai komentarnya. Dia pun mengaku tidak tahu persis berapa angka keguguran yang disebabkan oleh brucellosis di  Indonesia. “Yang jelas tingkat prevalensinya masih tinggi. Dan brucellosis sudah puluhan tahun ada di Indonesia,” imbuh Puji.

Lebih lanjut Puji mengatakan, diagnosa brucellosis pada hewan didasarkan pada isolasi dan identifikasi bakteri brucella, uji serologis dan gejala klinis. Selama ini, pengujian diagnosa berlangsung lama mengikuti serangkaian uji serologis yang memakan waktu sedikitnya dua hari. Sehingga tindakan pengendalian yang sesuai kaidah medis veteriner seringkali telat. Sementara langkah yang efektif dan segera, mutlak diperlukan dalam pengendalian dan pencegahan penyebaran agen penyakit ini.

Gambaran Tata pun seolah membenarkan. Ia mengatakan, identifikasi per individu ternak adalah salah satu kesulitan dalam pengendalian brucellosis. Peternakan tanah air umumnya peternakan rakyat, tidak ada identifikasi dan recording. Tanpa identifikasi, kata Tata, pembebasan brucellosis tidak akan berhasil. Bukan mustahil, saat uji serologi memberikan hasil positif dan petugas kembali ke lokasi untuk mengambil tindakan slaughter (dipotong), sapi sudah tidak ada. “Informasi yang saya dapat, perlu 3 hari untuk sebuah keputusan positif. Bisa jadi sapinya sudah tidak ada atau ternaknya salah, karena pemilik yang tidak kooperatif,” jelas Tata.

Puji melanjutkan, sudah saatnya beralih ke uji cepat guna efisiensi waktu dan uang. “Screening awal menjadi alternatif pengganti uji, sehingga mengurangi kerepotan di lapangan,” ujarnya. Ia menambahkan keterangan uji cepat brucella ini diklaimnya memiliki sensitivitas 94,68% dan spesifisitas 99%.

Waktu pengujian hanya berkisar 5-10 menit, dengan sampel menggunakan serum. “Dari hasil uji tersebut, tes cepat dapat digunakan sebagai uji deteksi cepat antibodi brucella di lapangan. Keunggulannya, praktis dipakai di lapangan yang jauh dari jangkauan khusus untuk personal di lapangan, dapat disimpan tanpa rantai dingin, dan hasil dapat diperoleh dengan cepat,” terang dia setengah promosi produknya.

Uji cepat tersebut, kata Puji lagi, didasarkan pada immunochromatographic sandwinch lateral flow yang dapat mendeteksi adanya antibodi Brucella abortus secara kualitatif dalam serum darah sapi. Sayangnya, metode pengujian ini tidak dapat membedakan antibodi akibat infeksi alam atau vaksinasi. Keduanya menunjukkan hasil positif yang sama.

 

Sumber: Trobos Livestock Edisi 207/Desember 2016

Tinggalkan Balasan

Bebas Brucellosis, Sebuah Upaya Utopis?

by Civas time to read: 4 min
0