Menakar Ancaman Rabies dan Faktor Kultural di Indonesia
Senin, 28 September 2020
Oleh:
Drh. Imron Suandy, MVPH
Penulis adalah Dewan Pakar Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS)
Dalam memperingati Hari Rabies Dunia yang jatuh pada 28 September, yang juga merupakan hari wafatnya Louis Pasteur, ilmuwan asal Perancis yang berhasil menemukan vaksin Rabies. Sejak saat itu, lebih dari satu abad vaksin rabies ditemukan, akan tetapi masyarakat global memandang penyakit ini sebagai momok yang menakutkan yang mengancam jiwa manusia sampai saat ini.
Bayangkan, siapapun yang terinfeksi virus rabies (semisal akibat gigitan hewan pembawa rabies/HPR), maka hampir pasti berakhir dengan kematian.
Data global menyebutkan, sekitar lebih dari 35.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit ini, dan sekitar 40% dari data tersebut merupakan anak-anak yang berumur kurang dari 15 tahun.
Di Indonesia sendiri, rata-rata kasus gigitan HPR dalam 5 tahun terakhir tercatat sebanyak lebih dari 80 ribu orang setiap tahunnya, laporan kasus luar biasa terbaru terjadi di Nusa Tenggara Barat, setelah sebelumnya upaya pemberantasan rabies di Provinsi Bali belum dapat ditangani, mulai awal Pulau Dewata dinyatakan terjadi wabah rabies pertama kali di tahun 2008.
Dari sudut pandang etiologi, rabies merupakan penyakit yang sudah terang benderang diketahui penyebab dan cara pencegahannya, artinya sudah cukup pengetahuan yang diperlukan untuk dapat memberantas penyakit ini.
Pada prinsipnya sederhana, selama mayoritas populasi hewan pembawa rabies disekitar kita divaksinasi secara konsisten, maka virus rabies dapat hilang dengan sendirinya. Tinggal seberapa sadar masyarakat memvaksinasikan hewan piara HPR-nya (kelompok hewan karnivora berdarah panas, seperti anjing, kucing, musang, dan primata), maka ancaman bahaya rabies dapat dikendalikan. Akan tetapi hal ini tidak sesederhana dalam pelaksanaannya di Indonesia, pengaruh kultur masyarakat sangat erat terkait dengan kejadian kasus gigitan hewan pembawa rabies (GHPR).
Beberapa praktik-praktik seperti pemeliharaan anjing komunitas di masyarakat Bali, budaya atau hobi masyarakat dalam kegiatan berburu babi hutan di beberapa wilayah Sumatera, atau pemeliharaan anjing untuk kepentingan menjaga wilayah areal pertanian di sentra-sentra perkebunan di Kalimantan, sampai dengan kebiasaan konsumsi daging HPR di daerah Sulawesi memberikan kompleksitas dalam pengendalian rabies di Indonesia, disamping keberadaan anjing tak berpemilik (stray dogs) di daerah urban masih sering dijumpai disekitar kita.
Tak kalah rumitnya berbagai aspek teknis dalam pengendalian rabies juga menjadi bagian yang sering menjadi cerita setiap tahunnya, sebut saja terkait dengan kontinyuitas dalam pemenuhan ketersediaan vaskin atau serum anti-rabies (VAR/SAR) di daerah endemis, sulitnya melakukan vaksinasi terhadap hewan yang mayoritas tidak dikandangkan atau tanpa pemilik, dan kurangnya keberpihakan prioritas pemerintah dan pemerintah daerah pasca otonomi daerah dalam pengendalian rabies, memberikan nuasa pesimisme dalam pengendalian penyakit rabies di Indonesia.
Ancaman kematian jiwa akibat penyakit rabies, seolah-olah diabaikan dan tidak cukup untuk dapat merubah kultur dan komitmen kita semua untuk bekerja keras mengejar ketertinggalan. Padahal cita-cita masyarakat global dalam menjadikan Rabies sebagai sejarah di tahun 2030 terus didengung-dengungkan di berbagai belahan dunia. Untuk itu, jika Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat global dan mendukung upaya pembebasan rabies 2030, maka akselerasi dalam pelaksanaan strategi pengendalian rabies mutlak dilakukan dalam 10 tahun ke depan.
Titik berat pendekatan yang harus dilakukan, wajib mempertimbangkan faktor kultural masyarakat, disamping komitmen pemerintah dalam memfasilitasi penyediaan aspek sarana-prasarana yang dibutuhkan dan tanpa lelah mendidik masyarakat untuk sadar dan mau terlibat dalam pelaksanaannya.
Sumber: Radar Bogor – Mimbar Bebas – Edisi Senin, 28 September 2020