Vets for a Better Life
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies
Thursday, 4 March 2021
Virus Flu Burung Jenis Baru Mematikan
Ilustrasi

Ancaman Penyakit Baru di Perunggasan

Sabtu, 1 September 2018

Jakarta − Kementerian Pertanian bersama FAO ECTAD Indonesia dan sejumlah lembaga lainnya telah mengambil sejumlah langkah aktif dalam mengendalikan temuan jenis virus flu burung baru di Indonesia, H9N2 yang bersifat Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) atau penyakit flu burung yang tidak membahayakan bagi manusia, sejak awal 2017 lalu. Virus H9N2 dapat menurunkan produksi, terutama pada peternak ayam petelur hingga 70 persen. Hal tersebut dikemukakan Fadjar Sumping Tjatur Rasa Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) dalam sebuah seminar (5/7).

“Kita menghadapi tantangan penurunan produksi telur akibat H9N2. Di sisi lain, kita kesulitan untuk memproduksi vaksin. Dahulu untuk virus flu burung jenis H5N1 (bersifat highly pathogenic), lebih mudah untuk memproduksi vaksinnya. Tapi untuk virus H9N2 ada kesulitan untuk ditumbuhkan dan dibuat vaksinnya,” tutur Fadjar.

Selain H9N2, Fadjar menerangkan pihaknya juga mendapatkan banyak laporan terkait kematian terutama pada peternakan broiler ( ayam pedaging). “Muncul berbagai dugaan penyebab timbulnya kasus-kasus tersebut, apakah hanya karena infeksi tunggal dari suatu jenis penyakit atau melibatkan infeksi bersama dan permasalahan lainnya seperti manajemen pakan, vaksinasi, biosekuriti atau sebagainya,” imbuhnya.

Oleh itu, ia mendorong para peternak agar bisa memperbaiki pengelolaan kandang, sebagai usaha terbaik untuk mencegah infeksi virus dan kuman pada unggas. “Perhatian kami yang lain, yaitu terkait penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promoter/AGP) di sektor perunggasan,” jelasnya. AGP sudah dilarang di seluruh dunia, AGP hanya memberi keuntungan jangka pendek, tapi sangat merugikan untuk jangka panjang.

Senada dengan Fadjar, FAO ECTAD Indonesia Team Leader, James McGrane menegaskan, penggunaan antibiotik yang tidak sesuai menjadi perhatian serius di seluruh dunia karena menyebabkan resistensi antimikroba. Tidak hanya pada sektor kesehatan manusia, tapi juga pada sektor pertanian dimana penggunaan antibiotik di sektor tersebut masih sulit untuk dikendalikan. “Jika kita tidak melakukan sesuatu, diperkirakan kematian manusia akibat infeksi yang tidak bisa disembuhkan karena kuman yang resisten dapat mencapai 10 juta jiwa pada 2050,” terangnya.

Untuk itu, tambah James, melalui program EPT2 (Emerging Pandemic Threats-2) yang didanai oleh USAID, FAO ECTAD mendorong peningkatan kapasitas pemerintah Indonesia dalam menghadapi dan mencegah ancaman pandemik termasuk resistensi antimikroba. “Kami bersama Kementan dan para peternak bisa duduk bersama untuk mendiskusikan masalah yang sedang dan akan kita hadapi di waktu yang akan mendatang, dan mari kita bersama-sama mencari solusinya,”paparnya.

 

Investigasi Penyakit “Baru”

Menurut Hendra Wibawa, pakar dari Balai Besar Veteriner Wates, Yogyakarta, berbagai permasalahan berkaitan dengan penyakit unggas dijumpai pada 2017, antara lain virus Avian Influenza subtype H9N2 yang berhasil diisolasi dari outbreak kasus penurunan produksi telur pada peternakan layer (ayam petelur) di akhir 2016 sampai awal 2017 dan adanya peningkatan kasus kematian pada broiler 2017 yang diduga akibat infeksi virus Inclusion Body Hepatitis (IBH)/Fowl Adenovirus (FAdVs). “Informasi kasus penurunan produksi layer dan kematian broiler terus berkembang menjadi isu nasional,” ujarnya.

Investigasi kasus penyakit dilakukan Balai Besar Veteriner Wates pada sentra peternakan unggas komersial di Jawa Timur,  Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta pada 22 hingga 26 Januari 2018.

“Tujuan dari investigasi tersebut adalah mengetahui distribusi kasus penyakit penurunan produksi dan kematian pada unggas yang terjadi di lapangan, melakukan diagnosa agen penyakit unggas, dan mengidentifikasi faktor-faktor resiko yang berkaitan dengan kasus penyakit unggas,” terangnya.

Jumlah peternakan yang disampling sebanyak 58 peternakan komersial sektor-3, meliputi 35 peternakan layer (550 ekor), 20 peternakan broiler (340 ekor), tiga peternakan ayam jawa super (45 ekor). “Dari hasil sampling terindentifikasi 27 peternakan kasus dan 31 peternakan non-kasus (kontrol),” kata Hendra.

Berdasarkan pengamatan klinis pada unggas dan DNA sequencing adalah susunan asam amino pada cleavage site HA virus termasuk kelompok virus LPAI. Dengan subklinis-klinis seperti gangguan pernafasan, penurunan produksi telur (30-60%), dan kematian rendah (<5%).

Selain AI, ada pula IBH/FAdVs yang sering dijumpai pada broiler atau breeder dengan simptom anoreksia, lemah, depresi, dan kematian bisa mencapai >10%. “Antibodi terhadap FAdVs dapa terdeteksi di beberapa flok ayam walaupun belum terjadi outbreak penyakit. Bisa terjadi koinfeksi atau bisa dipicu agen imunosupresif lain seperti virus IBD, virus CAV, dan aflatoksin. Tetapi bisa terjadi juga tanpa agen imunosupresif lain,” jelas Hendra.

Distribusi FAdVs ditemukan di banyak negara dunia. Di Indonesia, IBH ditemukan pertama kali di Jawa (Kabupaten Semarang) dan DKI Jakarta pada 1985. Outbreak pada 2017 masih menjadi tanda tanya inklusi penyakit baru atau penyakit lama yang muncul kembali dengan jumlah kasus meningkat.

Temuan kasus IBH dari surveilans BBVet Wates, Hendra menerangkan, sampel dari kasus di lapangan (akhir 2017 sampai awal 2018) dalma bentuk organ yang diformalin dan organ segar. Sampel sebagaian besar dari peternakan broiler sektor tiga di Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Umur broiler yang terinfeksi rata-rata di atas 2 minggu, dengan tanda klinis depresi, tidak mau makan, demam, abdomen bengkak dan kebiruan, serta adanya kematian berkisar 10-30%. “Ketika dilakukan nekropsi, hati terlihat membengkak/membesar, lebih pucat, rapuh dan nampak adanya pendarahan titik (ptechiae) yang menyebar. Hasil histopatologi ada hepatitis dan intranuclear inclusion body,” paparnya.

Kesimpulan dari surveilans yang dilakukan oleh BBVet Wates, telah terdeteksi virus AI-H9N2 (kasus pada layer) dan virus FAdVs-IBH (kasus pada broiler) di beberapa peternakan unggas di Indonesia pada 2016-2017. Pada layer, telah terjadi gangguan pernapasan (ngorok, pilek) disertai penurunan produksi, infeksi beberapa agen viral, bakterial dan parasit (AIV, NDV, dan Mycoplasma). Sedangkan pada broiler terjadi berak putih, stunting, gangguan pernafasan disertai kematian, infeksi virus IBH, Eimeria, Mycoplasma, NDV, dan kemungkinan virus gumboro (IBD). “Beberapa faktor berkolerasi positif dengan kejadian kasus, terutama lemahnya biosekuriti terhadap akses middle-man ke dalam kandang, memiliki risiko lebih tinggi terjadinya kasus penyakit pada unggas,” ungkap Hendra.

Investigasi leibh lanjut diperlukan untuk mengetahui apakah proporsi antibodi tinggi terhadap H9 disebabkan kekebalan dari vaksinasi atau berasal dari kekebalan alami akibat paparan virus lapang. “Selain itu, diperlukan pengendalian manajemen biosekuriti seperti pengetatan dan pembatasan lalu lintas di farm, perbaikan mutu pakan, proper cleaning serta desinfeksi. Lalu, vaksinasi dengan vaksin yang tepat dan sesuai dengan virus yang beredar di lapangan,” tandas Hendra. (Nova)

 

Sumber: TROBOS Edisi 228 September 2018

Tinggalkan Balasan

Ancaman Penyakit Baru di Perunggasan

by Civas time to read: 4 min
0