Kuda Sumba, Identitas yang Kian Terancam
Segerombolan kuda berwarna coklat kemerahan, hitam, dan abu-abu berlarian di padang savana sambil meringkik di Desa Wunga, Kecamatan Hahar, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
Kuda adalah simbol kendaraan nenek moyang masyarakat Sumba dan bernilai adat istiadat. Kuda mempunyai ikatan historis. Menyebut kata Sumba, orang membayangkan kuda.
Kuda telah menjadi bagian dari hidup masyarakat di pulau paling selatan Indonesia itu sejak pertengahan abad ke-18 Masehi. Itu jauh sebelum Belanda mendatangkan sapi ongole dan menetapkan Sumba sebagai pusat pembibitan tahun 1914.
Anggota DPRD NTT dari Daerah Pemilihan Sumba, John Umbu Detta, di Kupang, Selasa (20/4), mengatakan, kuda sumba termasuk ras timur yang diduga keturunan kuda mongol. Penyebarannya ke wilayah Asia diperkirakan bersama dengan penyebaran agama Hindu.
Kuda sumba sangat erat kaitannya dengan budaya masyarakat. Pada setiap pesta adat, kuda selalu dilibatkan. ”Dalam pesta budaya pasola, puluhan, bahkan ratusan, kuda dilibatkan bermain dalam adu ketangkasan melempar lembing dari atas kuda yang berlari kencang,” papar Tuya Nggaba (46), peternak asal Pahunga Lodu, Sumba Timur.
Kuda diibaratkan sebagai kendaraan nenek moyang. Jika kuda sedang meringkik di padang savana, itu menunjukkan nenek moyang sedang datang menunggangi kuda tersebut. Penggembala kuda pun harus mengenakan pakaian adat Sumba selama menggembala.
Selain memiliki fungsi kuda beban, hewan sembelihan, kuda pacu, atau sarana menggembala sapi, kuda juga berfungsi sebagai mahar dan mobilisasi penduduk.
Harga satu ekor kuda biasa berkisar Rp 2 juta-Rp 8 juta. Kuda pacu berkisar Rp 10 juta-Rp 250 juta, tergantung dari berapa kali kuda itu memenangi pertandingan tingkat nasional atau regional. Semakin banyak trofi yang diraih, harga kuda semakin tinggi.
Belakangan, kuda pacu juga menghadirkan gengsi sosial yang tinggi di kalangan warga Sumba. Bahkan, sejumlah warga Tionghoa memiliki bisnis jual beli kuda pacu. Kuda dijual sampai ke Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Denpasar, dan seluruh daratan Nusa Tenggara Timur dengan harga hingga Rp 250 juta per ekor.
Populasi kuda sumba turun menjelang pertengahan abad ke-20 akibat serangan penyakit antraks. Populasi sempat meningkat lagi melalui perkawinan silang dengan kuda Australia.
Saat ini, menurut Umbu Detta, populasi kuda sumba terus menurun dan terancam punah karena diperdagangkan secara bebas ke luar daerah, seperti Bima, Makassar, Denpasar, Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta. Kuda sumba biasanya dibeli untuk andong/transportasi, pacu, konsumsi, atau sebagai kuda perah seperti di Bima.
Populasi kuda sumba diperkirakan tinggal sekitar 50.000 ekor. Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur Robert Gana menjamin, kuda sumba tak akan punah.(KORNELIS KEWA AMA)
Sumber : Kompas