Rabu, 17 Februari 2010      Login | Register

Peternak Unggas Terancam

BANDUNG(SINDO) – Dalam lima bulan terakhir,harga pakan ternak di pasaran naik hingga 26% dari Rp3.225 menjadi Rp4.075 pada Januari 2008.

Kenaikan harga pakan ini tentu saja memberatkan para peternak. Karena di tengah daya beli masyarakat yang belum pulih,ternyata harga jual produk masih di bawah harga break even point(BEP).

Ketua Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) Yudi Guntara mengatakan, kenaikan harga pakan ini dipicu kenaikan harga bahan baku, seperti jagung dari USD220 menjadi USD306/ton, soya bean mill (SBM) naik dari USD320 menjadi USD500/ ton,meatbonemill(MBM) naik dari USD410 menjadi USD- 575/ton, dan corn gluten mill (CGM) naik dari USD530 menjadi USD675/ton.
”Kenaikan harga bahan baku ini diprediksi masih akan terus meningkat karena di negara eksportir seperti Amerika, jagung masih akan terusdikonsumsiuntukbahan baku biofuel sehingga pasokannya otomatis berkurang,” kata Yudi kepada wartawan di Jalan Belitung, Selasa (22/1) malam.

Yudi mengungkapkan, kondisi kenaikan harga pakan ini tidak berimbang dengan harga jual produk ayam yang masih di kisaran Rp8.000– 9.000/kg. Akibatnya, perusahaan breader mengurangi produksinya hingga 30%.Pengurangan produksi dari industri penggemukan ayam ini berdampak pada kenaikan harga day old chicken (DOC) dari Rp250 pada awal Januari menjadi Rp2.650/ekor saat ini.
”BEP ayam saat ini kira-kira Rp10.500/kg,jadi kalau harga masih di kisaran Rp9.000/ kg,tentu peternak akan mengalami kerugian. Sementara kalau harga ayam normalnya Rp12.000/kg diberlakukan, tentu masyarakat konsumen akan terbebani,”tandas Yudi. Menurut Yudi, secara nasional, produsen DOC biasanya memproduksi 26 juta DOC/pekan.
Namun karena permintaan menurun, produksi mereka juga mengalami penurunan hingga 17 juta ekor/pekan. Keadaan ini dikhawatirkan menimbulkan kelangkaan pasokan daging ayam di pasaran dalam 1–2 bulan ke depan. Ahli Pakan dari Fakultas Peternakan Unpad Hery Supratman mengatakan, di negara maju seperti Amerika, bahan biofuel sebagian besar berasal dari sereal, seperti jagung dan kedelai.
Sementara Indonesia, setiap tahunnya mengimpor jagung sekitar 600.00 ton yang sebagian besar dari Amerika, China, dan India.Dia khawatir,saat pemerintah menyatakan swasembada kedelai dan menyiapkan lahan tidak kurang dari 2 juta hektar,justru akan terjadi kekurangan pasokan jagung.
Menurutnya, pemerintah seharusnya melihat kebutuhan masyarakat khususnya industri agrobisnis dari segala sisi. ”Nantibisasajapasokankedelai ada,namun jagung tidak ada.Rencana penurunan bea masukjagungmenjadi0% dari sekarang 5% pun tampaknya tidak akan signifikan menurunkan harga,”tandas Hery.
Dihubungi terpisah, Staf Ahli Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI) Waryo Sahru mengatakan, di Jabar saat ini hanya sekitar 4.000 dari 8.000 peternakan yang masih aktif. Kenaikan harga pakan dan DOC yang tidak dibarengi kenaikan harga jual,membuat modal peternak tergerus akibat kerugian. Selain ada peternakan yang stop produksi, ujar dia, beberapa peternakan terpaksa mengurangi produksinya hingga 50%.
Penurunan produksi ini dilakukan agar tetap bisa menggulirkan modal. ”Kebanyakan yang stop produksi itu menunggu sampai keadaan kembali normal sehingga dari hitung-hitungan ada keuntungan yang bisa didapat,” tukasnya. Waryo menambahkan,keberadaan perusahaan asing integratedyang memproduksi, mulai dari bibit ayam hingga daging ayam, juga berperan terhadap masalah yang dialami peternak lokal. (sirojul muttaqien)