Cemaran Enterobacter Sakazakii Bukan Hal Baru
Keberadaan Enterobacter Sakazakii dalam susu formula bukan hal baru di kalangan peneliti pangan. Keterkaitan antara meningitis pada bayi, E Sakazakii, dan susu formula telah diidentifikasi sejak tahun 1983. Sejak itu dilakukan banyak penelitian di pelbagai negara untuk memperkuat bukti temuan itu. Menurut Ratih Dewanti, ahli mikrobiologi pangan dari Departemen Ilmu dan Tegnologi Pangan Institut Pertanian Bogor, yang juga peneliti pada South East Asia Food Science and Technology Center, penelitian itu seharusnya dilihat sebagai suatu identifikasi potensi bahaya dari suatu produk pangan.
Adapun dari segi resiko, terkena bahaya ada banyak factor yang perlu dipertimbangkan. Antara lain, berapa banyak jumlah bakteri dalam susu sehingga bisa menimbulkan penyakit. Berapa banyak bayi yang menjadi sakit akibat minum susu formula yang mengandung bakteri, bayi dari kelompok mana yang rentan terhadap bakteri itu.
Dari segi epidemiologi, sepanjang tahun 1983-2004 dilaporkan ada 60 kasus E Sakazakii pada bayi terkait susu formula, antara lain di Amerika Serikat, Kanada, Belgia, Eslandia, dan Israel. Gejalanya bervariasi, dari diare berat sampai meningitis dan kematian. Sebanyak 80% kasus terjadi pada bayi di bawah usia satu tahun, tepatnya 66% pada bayi berusia kurang dari satu bulan terutama bayi premature, bayi dengan berat badan lebih rendah, atau bayi yang ibunya terindikasi HIV/AIDS. Adapun resiko pada bayi diatas satu tahun dan berbadan sehat sangat kecil.
Hal yang perlu diingat, susu formula maupun makanan bayi bukan produk steril. Karena itu, harus diseduh dengan air bersuhu minimal 70 derajat celcius serta harus dikonsumsi segera, tidak boleh disimpan lebih dari empat jam setelah dicairkan.
Codex Committee on Food Hygiene yang terdiri-dari para ahli dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam pertemuan tahunannya masih merevisi aturan yang antara lain menentukan apakah E Sakazakii dijadikan kriteria dalam pemeriksaan susu formula. Saat ini sudah membahas draf keempat.
Sri Estuningsih, staf pengajar di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, melakukan penelitian terkait E Sakazakii sebanyak tiga kali. Tahun 2003 dengan dana dari Deutscher Akadimischer Austausch Dienst (DAAD) Jerman, tahun 2004 dengan dana dari Justus-Liebig-University, Jerman, dan tahun 2006-2007 dengan dana penelitian Hibah Bersaing Departemen Pendidikan Nasional, Penelitian Mikrobiologi dilakukan di Justus-Liebig-University Jerman. Adapun pathologi dan kultur jaringan dilakukan di Laboratorium FKH IPB.
Hasil Penelitan tahun 2003 dipublikasikan di Journal of Food Protection, Desember 2006. Sedangkan hasil penelitian 2004 dan 2006 belum dipublikasikan di jurnal internasional. Menurut Sri Estuningsih, pada penelitian postdoctoral tahun 2003, ia melakukan penelitian pada makanan bayi untuk mengetahui keberadaan bakteri Salmonella dan Shigella bersama peneliti lain dari Institute of Veterinary Food Science, Justus-Liebig-University. Ada 74 contoh makanan (bubur) bayi dari lima merek, empat dari Indonesia dan satu dari Malaysia, yang dianalisa. Seluruh contoh tidak mengandung Salmonella dan Shigella. Namun 10 contoh dari Indonesia justru mengandung E Sakazakii.
Mengingat didunia internasional diketahui bahwa bakteri itu juga terdapat di susu formula, tahun 2004 Estu meneliti susu formula untuk bayi usia 0-12 tahun. Ternyata 3 dari 46 contoh yang diteliti positif mengandung E Sakazakii.
Tahun 2006, estu bersama peneliti lain dari FKH, Hernomoadi Huminto, I Wayan T Wibawan, dan Rochman Naim, meneliti 22 contoh susu formula dan 15 contoh makanan bayi. Hasilnya, 22,73% susu formula dan 40% makanan bayi tercemar E Sakazakii.
Pemaparan ke bayi mencit menunjukkan bakteri dan racun itu menyebabkan enteritis (radang usus), sepsis (radang pada peredaran darah), serta meningitis (radang selaput otak).
Hasil penelitian ini sudah dipresentasikan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan pada tahun 2006. “Tujuan kami adalah meningaktkan kewaspadaan bahwa ada potensi bahaya E Sakazakii dalam susu formula dan makanan bayi. Diharapkan hal itu menjadi dasar penelaahan untuk kebijakan pengawasan pangan,” tutur Sri Estuningsih.
Kini tinggal bagaimana pemerintah, kalangan kedokteran dan masyarakat menyikapi penelitian itu dengan arif agar kualitas kehidupan kita makin baik. (Atika Walujani M)
Sumber: Kompas