Selasa, 12 Nopember 2013      Login | Register

Peternak Tertekan Kebijakan Impor

Usaha peternakan unggas, khususnya ayam, kini mendapat tekanan seiring masuknya kembali produk daging ayam impor.* UNDANG SUDRAJAT/"PR"
BAGI subsektor usaha peternakan rakyat, bentuk peningkatan perhatian pemerintah kepada sektor pertanian dapat dibuktikan melalui konsistennya aparat atas berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah. Namun, kondisi yang ada menunjukkan perkembangan yang kurang sesuai dengan harapan peternak rakyat, baik usaha unggas maupun ternak sapi. Belakangan ini mereka merasa semakin terdesak dengan sejumlah aturan pemerintah yang terkesan semakin berpihak kepada sistem kapitalis.
Usaha peternakan unggas, khususnya ayam, kini mendapat tekanan seiring masuknya kembali produk daging ayam impor. Untuk usaha sapi potong dan sapi perah, sejak lama mereka menghadapi ketidakseimbangan masuknya produk impor dengan lokal yang seakan tak tertahankan.

Staf Ahli Perhimpunan Peternakan Unggas Indonesia (PPUI) Ashwin Pulungan menilai, pemerintah sering tak konsisten atas sejumlah undang-undang dan peraturan pemerintah. Ini menjadi salah satu penyebab sering terjadinya nasib "babak belur" para peternak rakyat saat berhadapan dengan pengusaha besar.
"Ini bukan berarti kami peternak unggas yang kecil harus selalu diperhatikan atau dimenangkan melawan perusahaan besar yang juga memiliki hak dan kesempatan untuk berusaha. Kami hanya ingin ada keseimbangan dan peluang untuk tetap eksis antara usaha kecil berdampingan dengan yang besar, dengan mengandalkan sejumlah undang-undang dan peraturan pemerintah," ujarnya.
Ia mencontohkan, pemerintah tak melaksanakan secara utuh Undang-Undang No. 6 Tahun 1967, membuat situasi usaha bisnis unggas nasional tergiring ke sistem kartel atau monopoli dan lebih berpihak kepada mekanisme pasar.

**

Jepitan bagi usaha peternakan unggas rakyat, khususnya ayam, semakin terasa, setelah pemerintah melalui Departemen Pertanian akhirnya mengizinkan impor daging ayam. Selain keamanan produknya masih dipertanyakan, juga secara sistematis akhirnya akan menghancurkan usaha peternakan unggas rakyat.
Ashwin Pulungan mencurigai adanya sindikasi kelompok internasional untuk kepentingan cara pandang mereka dengan mencoba menghancurkan perekenomian masyarakat Indonesia. Usaha peternakan unggas rakyat menjadi sasaran empuk dan diketahui sebagai usaha memasyarakat. Apalagi sejauh ini perputaran uang dalam bisnis unggas nasional mencapai Rp 70 triliun per tahun.
Ia menilai, modus yang dicurigainya adalah pemiskinan rakyat Indonesia, yang semakin terasa belakangan ini seiring kembali "dekatnya" hubungan Indonesia dengan Amerika. Apalagi, Amerika diketahui sebagai salah satu produsen dan pedagang daging ayam utama dunia, yang ingin memperluas pasar ke Indonesia.
"Singkatnya, adalah hanya sandiwara jika ada pihak yang meminta pemerintah Indonesia lebih memerhatikan usaha pertanian. Pada praktiknya, justru hanya menyusupi aparat pemerintah agar mengikuti kemauan mereka untuk menghabisi usaha peternakan unggas rakyat," katanya.
Keluhan dari sektor usaha sapi potong, di antaranya dilontarkan oleh pengurus Asosiasi Pengusaha Daging Sapi (Apdasi) Kota Bandung Hanafi. Ia mencurigai adanya suatu jaringan yang ingin memasukkan produk daging sapi dan ternak sapi impor sebanyak-banyaknya ke Indonesia, sehingga para peternak rakyat dan pengusaha daging sapi lokal dihabisi.
"Kami mempertanyakan, mengapa Departemen Pertanian belum juga menerapkan undang-undang yang membatasi kuantitas produk daging sapi dan ternak impor secara tegas. Memang, sebagian dari para importir daging sapi juga adalah rekan kita, namun dari peraturan yang ada mereka semakin diuntungkan, sedangkan kami mungkin tinggal menunggu waktu," katanya.
Disebutkan, ini bukan berarti para peternak atau pengusaha daging sapi lokal ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya karena faktor daya beli masyarakat akan sangat memengaruhi. Namun sinyalemennya, ada pihak yang melontarkan isu daya beli masyarakat untuk mengambil kesempatan mengisi pasar dengan produk-produk impor.
Baik Ashwin maupun Hanafi sama-sama berharap, aparat pemerintah agar mampu kembali konsisten kepada berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah yang sesuai dengan kepribadian masyarakat Indonesia. Tergiringnya berbagai aturan dan perundang-undangan Indonesia, termasuk urusan ternak kepada sistem kapitalis membuat para penyelenggara negara dinilai tak lagi sesuai dengan asas Pancasila dan melupakan sejarah perjuangan.
Kepala Dinas Peternakan Jabar Rachmat Setiadi mengatakan, pada akhirnya pemerintah daerah mesti pandai-pandai menyiasati berbagai kondisi, termasuk berkaitan dengan keseimbangan produk impor dengan persaingan produk lokal. Regulasi mesti dapat diterapkan karena berpengaruh pada daya beli konsumen umum dengan keinginan para peternak rakyat untuk tetap eksis. (Kodar S./"PR")***