FGD Seri 1 Covid-19: Panggilan untuk Memulihkan Keseimbangan Manusia, Biodiversitas dan Lingkungan
Minggu, 27 Juni 2021
Oleh: Nofita Nurbiyanti & Tri Satya Putri Naipospos
Bogor, Jawa Barat – Belajar dari pandemi Covid-19, Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) turut aktif menginisasi Focus Group Discussions (FGD) berseri yang dilaksanakan melalui daring dan luring. Dalam FGD Seri 1 dengan subtema “Peran Biodiversitas untuk Kehidupan Manusia dan Pentingnya Memelihara Keseimbangan dengan Lingkungan untuk Pemulihan Pasca COVID-19” yang diselenggarakan pada 26 Juni 2021 di The Sahira Hotel.
Aktivitas manusia yang mendorong perubahan iklim dan kehilangan biodiversitas, juga mendorong risiko pandemi melalui dampaknya terhadap lingkungan kita.
Richard Mahapatra, Managing Editor Down to Earth
FGD Seri 1 ini dihadiri oleh 11 orang dari 14 peserta undangan terpilih yang memiliki keahlian, pengetahuan dan semangat berperan aktif, serta sebagai pemain kunci dalam tema dan subtema ini. Tujuan FGD Seri 1 adalah untuk membangun pemahaman bersama tentang bagaimana hubungan manusia dengan alam yang terganggu dapat menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem dan penurunan biodiversitas yang pada gilirannya dapat memicu munculnya pandemi zoonosis menjadi lebih cepat. Selain itu, memberikan masukan bagi penyusunan pesan-pesan kunci tentang bagaimana memelihara kesimbangan manusia dengan lingkungan seperti perbaikan upaya-upaya konservasi dan restorasi biodiversitas untuk dapat membantu mengatasi risiko pandemi zoonosis berikutnya.
Adapun materi FGD Seri 1 dapat didownload pada link berikut ini:
- Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD selaku Ketua Badan Pengurus CIVAS dengan topik “Peran Biodiversitas untuk Kehidupan Manusia dan Pentingnya Memelihara Keseimbangan dengan Lingkungan untuk Pemulihan Pasca COVID-19”.
- Drh Andri Jatikusumah MSc selaku moderator FGD dengan judul “Pengantar FGD Seri 1” dan “Hasil Diskusi”.
- Drh Imron Suandy MVPH selaku perumus FGD dengan judul “Ringkasan FGD”
Belajar dari Pandemi Covid-19
Dunia menyadari dalam beberapa dekade terakhir ini, penyakit zoonotik baru muncul (emerging infectious diseases) berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Dalam dunia kita yang semakin mengglobal, probabilitas timbulnya penyakit baru menjadi pandemi global menjadi lebih tinggi dari sebelumnya, dengan konsekuensi serius bagi kesehatan, ekonomi dan ekosistem kita.
Penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia mengilustrasikan bagaimana munculnya dan berulangnya penyakit zoonotik terkait erat dengan kesehatan ekosistem.
UNEP 2016
Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) mengatakan bahwa 60 persen penyakit menular manusia yang ada di planit kita adalah zoonotik. Kemudian setidaknya 75 persen dari penyakit baru muncul pada manusia, termasuk Ebola, human immunodeficiency virus (HIV) dan influenza berasal dari hewan. Bahkan, dikatakan tiga dari lima penyakit manusia yang baru muncul setiap tahun berasal dari hewan.
Covid-19 adalah peristiwa terkini dari serangkaian penyakit baru muncul (EID), dan merupakan salah satu yang memiliki dampak terbesar pada kehidupan dan kesehatan manusia sejak pandemi influenza 1918. Sementara Covid-19 juga dianggap berasal dari hewan, penyebarannya terus bertahan oleh karena skala penularan dari manusia ke manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sampai dengan bulan Mei 2021, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengestimasi ada lebih dari 172 juta kasus Covid-19 terkonfirmasi, dan lebih dari 3,7 juta kematian. Indonesia menghabiskan 405 triliun dari APBN untuk mengatasi Covid-19 tahun 2020.
Panggilan Pemulihan dan Pencegahan Pandemi Berikutnya
Pemulihan pasca Covid-19 memerlukan kerjasama semua pihak. Organisasi di dunia menawarkan pendekatan One Health dan seyogyanya pencegahan lebih baik daripada penanganan dan pemulihan pandemi untuk persiapan pandemi berikutnya.
Mencegah lebih baik daripada mengobati
Benjamin Franklin
Saksikan juga webinar tentang Covid 19.
Baca juga: Webinar dan FGD Seri 2 Covid-19: Panggilan untuk Memulihkan Keseimbangan Manusia, Biodiversitas dan Lingkungan.
Faktor Pemicu dan Risiko Munculnya Pandemi Zoonosis
Para ilmuwan menyatakan bahwa ada sejumlah faktor yang dianggap sebagai pemicu munculnya pandemi zoonosis di dua abad terakhir ini termasuk Covid-19, seperti: meningkatnya pertumbuhan populasi manusia; ekologi sosio-budaya manusia (socio-cultural ecology), misalnya akibat perburuan, perdagangan ilegal, dan kebiasaan mengonsumsi satwa liar (bushmeat); degradasi lingkungan atau deforestasi; dan perubahan iklim. Faktor-faktor tersebut dianggap mengancam biodiversitas dan menyebabkan ketidak seimbangan ekosistem.
Pada dasarnya hubungan antara lingkungan dan muncul dan menyebarnya zoonosis sangat kompleks. Pada abad ke-21, lingkungan kita telah berubah luar biasa dimana pertumbuhan populasi manusia dan kaitannya dengan perubahan penggunaan lahan untuk pemukiman, pertanian, penebangan hutan, industri ekstraktif atau untuk penggunaan lainnya telah mengarah pada hilangnya habitat dan biodiversitas. Suatu kondisi yang telah menciptakan banyak peluang bagi patogen untuk melompat dari hewan ke manusia karena penyangga alami antara hewan dan manusia telah hilang akibat hilangnya habitat (UNEO 2020). Begitu juga hilangnya biodiversitas telah meningkatkan risiko paparan manusia terhadap patogen zoonotik baik yang baru maupun yang sudah ada (Keesing and Ostfeld 2021).
Deforestasi dan perubahan tata guna lahan yang terjadi terutama di negara-negara tropis di dunia telah mendorong terjadinya penurunan satwa liar secara dramatis. Deforestasi yang terus menerus berlangsung akan menghasilkan peningkatan hilangnya hutan dan berkontribusi pada semakin banyak karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfir dan hal ini semakin membahayakan kesehatan manusia dan kesehatan planet kita. Selain itu, deforestasi juga dianggap meningkatkan pemaparan manusia terhadap penyakit-penyakit zoonotik seperti Zika, Nipah, malaria, cholera dan HIV yang patogennya melompat ke manusia dari satwa liar yang hidup di habitat hutan.
Risiko penyakit zoonotik berkaitan dengan aktivitas manusia di planet ini — mulai dari intensifikasi pertanian yang tidak berkelanjutan dan peningkatan permintaan manusia terhadap protein hewani; perubahan rantai suplai pangan; peningkatan eksploitasi satwa liar; hingga perjalanan dan transportasi, dan banyak faktor lainnya (UNEO 2020). Begitu juga satwa liar berisiko tinggi terus dieksploitasi dan alam terus dirambah, sehingga risiko semakin bertambah. Ketidakseimbangan ekosistem kian terasa di wilayah konservasi satwa liar, yang ditandai banyak spesies yang terancam punah dan kian maraknya laporan warga akan ancaman satwa liar di pemukiman.
Selain itu baca juga: Issue Brief Covid-19: Panggilan untuk Memulihkan Keseimbangan Manusia, Biodiversitas dan Lingkungan.
Mengelola risiko munculnya penyakit zoonotik dan melindungi kesehatan satwa liar harus saling melengkapi, kedua tujuan tersebut harus saling berinteraksi.
OIE Wildlife Health Framework