Vets for a Better Life
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies
Friday, 29 March 2024
2019-12-02 Tata Naipospos

Antisipasi dan Respon Wabah ASF

Kamis, 5 Desember 2019

Oleh Tri Satya Putri Naipospos 

(Ketua Badan Pengurus CIVAS dan Ketua 2 Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia/PDHI)

 

African Swine Fever (ASF) atau penyakit demam babi adalah suatu penyakit menular penting yang hanya menjangkiti spesies babi dan tidak menular ke manusia. Notifikasi penyakit ini ke Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) sifatnya wajib, karena menyebabkan tingkat kematian yang tinggi serta dampak sanitasi dan sosio-ekonomi yang besar terhadap perdagangan internasional babi dan produk babi.

Sejak muncul wabah ASF di sejumlah negara di Asia, OIE menyatakan pada Oktober 2019 bahwa penyakit ini akan terus menyebar ke seluruh Asia, dan tidak ada negara yang kebal dari serangan virus babi yang mematikan ini. Risiko berlaku untuk semua negara, tidak tergantung kepada letak negara secara geografis apakah dekat atau jauh karena adanya berbagai jalur masuk yang potensial.

 

Sejarah Penyebaran

ASF pertama kali terjadi di Kenya pada 1921 dan tetap berjangkit di benua Afrika sampai 1957. Saat ini ASF telah menjadi endemik di negara-negara sub-Sahara Afrika, dimana babi hutan liar dan vektor caplak berperan penting sebagai reservoir biologis virus ASF. Penyebaran pertama ASF keluar benua Afrika adalah di Portugal pada 1957.

Pada 2007, ASF menyebar ke Georgia, Armenia, dan Azerbaijan, dan selanjutnya ke Federasi Rusia, Ukraina, dan Belarus. Pada 2014, negara-negara Eropa yang tertular adalah Lithuania, Polandia, Latvia, dan Estonia. Meskipun dilakukan tindakan pencegahan dan pengendalian, ASF terus menyebar ke lebih banyak negara di Eropa, yaitu Moldova, Republik Czech, Romania, Hungaria, Bulgaria, Belgia, Serbia, dan Slovakia antara 2014 dan 2019.

Pada Agustus 2018, China secara resmi melaporkan terjadinya kasus ASF pada salah satu peternakan babinya, dan setahun kemudian hampir seluruh provinsi yaitu 32 dari 34 provinsi telah tertular penyakit ini. Dalam penyebarannya di Asia dari Januari sampai September 2019, ASF dilaporkan terjadi di Mongolia, Vietnam, Kamboja, Korea Utara, Korea Selatan, Laos, Myanmar, Filipina dan Timor Leste.

Penyebaran ASF di Eropa Barat dan Asia pada 2018-2019 telah meningkatkan kewaspadaan negara-negara di dunia terutama yang masih bebas, untuk memperkuat pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya produk-produk daging babi yang dibawa dalam bagasi penumpang pesawat udara dan kapal laut sebagai media pembawa ASF.

Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Thailand, Australia, Filipina, dan Irlandia Utara berhasil mendeteksi virus-virus ASF dalam produk-produk daging babi yang disita di bandar udara dan pelabuhan laut negara mereka, mengindikasikan bahwa telah terjadi peningkatan risiko virus ASF melalui jalur tersebut dibandingkan sebelum penyebaran ASF pada 2018-2019.

 

Karakteristik Penyakit

Berbeda dengan hog cholera (HC) yang disebabkan oleh virus RNA yang masuk keluarga Flaviviridae, ASF disebabkan oleh virus DNA yang masuk keluarga Asfaviridae. Kedua penyakit sama-sama dapat menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Vaksin untuk HC terbukti menjadi alat penting untuk pengendalian, tapi belum ada vaksin untuk ASF.

Virus ASF yang ditemukan sampai saat ini terdiri dari 24 genotipe. Virus ASF genotipe II telah bersirkulasi di Eropa Barat sejak 2007, di negara-negara Eropa Timur sejak 2014 dan di China sejak 2018. Genotipe II merupakan strain virus ASF yang semakin meningkat sejalan dengan penyebarannya di Asia.

Secara umum diketahui bahwa HC sudah menjadi endemik di Indonesia sejak 1994. Penyakit mulai berjangkit pertama kali di Provinsi Sumatera Utara dan setelah itu menyebar ke 17 provinsi lainnya. Dalam hal tanda klinis, ASF terlihat hampir sama dengan banyak penyakit babi lainnya, termasuk HC. ASF utamanya ditandai dengan demam, perdarahan kulit dan kematian antara satu atau dua minggu. Biasanya dibutuhkan uji laboratorium untuk mengetahui mana dari dua virus tersebut yang menjadi penyebab wabah.

 

Kewajiban Notifikasi

Keberhasilan pengendalian wabah bergantung pada akses cepat terhadap informasi lengkap tentang situasi penyakit. Orang dan barang sekarang ini melakukan perjalanan jarak jauh dalam waktu yang sangat singkat, sehingga menciptakan tantangan besar yang menuntut efisiensi dan kecepatan respon dari pihak berwenang. Untuk memastikan respon yang tepat waktu, penyakit harus segera dinotifikasi secara transparan.

Notifikasi penyakit mungkin saja memiliki dampak negatif terhadap kinerja ekonomi dari suatu negara, seperti menyebabkan hilangnya pasar ekspor, terhentinya perdagangan atau hilangnya potensi pariwisata. Namun, kemajuan teknologi informasi dan praktiknya membuat sulit bagi pemerintah manapun untuk menyembunyikan kejadian penyakit yang wajib dilaporkan.

Kredibilitas suatu negara menurut OIE didasarkan pada notifikasi penyakit yang tepat waktu dan akurat, dan ini juga memberikan kepada pemerintah suatu posisi yang jauh lebih baik untuk menghentikan wabah. Untuk mendapatkan kembali kredibilitas negara adalah suatu latihan yang mahal dan makan waktu dan dapat menjadi risiko politik bagi pembuat kebijakan.

Ketidak transparan informasi situasi penyakit oleh suatu negara anggota OIE, terlepas dari alasan apapun, adalah suatu pelanggaran dari ketetapan organik OIE Artikel 9. Ratifikasi keanggotaan OIE memberikan kewajiban bagi negara anggota untuk memberikan informasi kepada OIE yang sifatnya mengikat secara hukum internasional.

 

Dampak ASF

ASF memiliki dampak sosio-ekonomi yang parah, baik bagi negara yang baru terjangkit maupun yang sudah endemik. Dampak yang tinggi paling jelas terjadi di negara-negara dengan industri babi komersial yang signifikan. Di Afrika dan Asia, ASF memiliki potensi dampak yang mengganggu sektor produksi babi komersial dan subsisten, tetapi kerugian terbesar biasanya terjadi pada produsen babi skala kecil atau peternakan babi rakyat yang cenderung kurang menerapkan biosekuriti yang efektif.

ASF juga memiliki implikasi serius terhadap ketahanan pangan di negara-negara yang mengandalkan produksi babi sebagai sumber protein, seperti China, Vietnam, dan Korea Selatan. Babi sangat efisien dalam mengkonversi limbah makanan dan hasil sampingan pertanian menjadi protein berkualitas tinggi dan siklus produksi yang relatif pendek.

Selain itu, pembatasan perdagangan yang sering menyertai pelaporan wabah dapat menambah beban ekonomi yang cukup besar terutama bagi daerah-daerah produsen babi. Tindakan pengendalian, seperti pemusnahan atau depopulasi besar-besaran, juga akan menambah biaya, baik dari sudut pandang ekonomi dan sosial.

Seperti halnya di China, Vietnam, Kamboja dan Laos, umumnya peternak babi skala kecil beroperasi tanpa pengawasan resmi. Peternak babi cenderung menyembunyikan kasus ASF dan mencari pasar untuk daging babi yang berasal dari hewan sakit untuk mengurangi risiko kerugian lebih besar. Tindakan tersebut ditambah dengan kegagalan membuang bangkai babi yang sakit, mengindikasikan bahwa tidak mungkin lagi mencegah penyebaran ASF secara efektif sampai tersedia vaksin yang berhasil dikembangkan untuk ASF.

 

Respon Wabah

Dengan tidak adanya vaksin untuk ASF, maka tindakan yang paling efektif agar penyakit tidak menyebar luas dan menimbulkan dampak kerugian yang lebih besar adalah pemusnahan terhadap babi yang sakit maupun yang berpotensi kontak atau terpapar babi yang sakit. Tindakan pemusnahan di peternakan tertular ASF hanya dapat dilakukan apabila tepat waktu dan benar, yaitu deteksi dini berhasil dilakukan, pembuangan karkas dilakukan secara aman, pencegahan pergerakan produk babi yang potensial terinfeksi, dan tersedia kompensasi untuk peternak babi.

Tindakan pemusnahan tidak efektif lagi diterapkan apabila deteksi dini tidak berhasil dilakukan, penyakit sudah keburu meluas, tidak ada komunikasi yang baik dengan peternak yang terkena dampak, dan tidak tersedia sumber daya yang dapat dimobilisasi secara cepat ke lapangan. Dalam keadaan dimana tindakan pemusnahan tidak mungkin lagi dilakukan, maka kebijakan pengendalian sebaiknya dititikberatkan pada pembatasan lalu lintas hewan dan produk hewan, termasuk orang, kendaraan dan peralatan, serta peningkatan biosekuriti.

Satu konsep yang mungkin bisa diterapkan untuk menyelamatkan industri babi di tanah air adalah dengan merencanakan dan menerapkan kompartemen bebas ASF. Kerentanan bisnis dapat diatasi sebagian dengan membangun kompartemen sebelum terjadi wabah. Kompartementalisasi memungkinkan perdagangan dan lalu lintas babi dapat tetap dilakukan, bahkan dalam keadaan terjadi wabah ASF sekalipun.

Keberhasilan pelaksanaan suatu kompartemen harus didukung oleh standar internasional dan memiliki potensi untuk mengatasi risiko kelangsungan bisnis perusahaan produsen babi. Standar nasional untuk kompartementalisasi harus secara formal segera didokumentasikan, dengan mencakup standar biosekuriti, deskripsi prosedur diagnostik laboratorium, dan prosedur untuk pengawasan formal dan audit.

 

Sumber: Trobos

Tinggalkan Balasan

Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.

Antisipasi dan Respon Wabah ASF

by Civas time to read: 5 min
0