Penghargaan Cendikiawan Berdedikasi: Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD “Menyehatkan Hewan dan Manusia”
Senin, 29 Juni 2020
This post is also available in: English
Tri Satya Putri Naipospos Hutabarat merupakan paduan dari peneliti, aktivis, dan birokrat. Dia pernah berada di puncak dari tiga posisi ini. Meski demikian, pemikirannya yang kritis membuatnya lebih menikmati sebagai peneliti dan aktivis kesehatan hewan demi kesejahteraan manusia.
Pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru yang terjadi saat ini membuka ingatan Tri Satya Putri Naipospos (66) terhadap wabah flu burung. Skala wabah memang berbeda, tetapi ada benang merah yang sama: kita abai dengan risiko dan gagal melakukan mitigasi sejak dini sehingga wabah penyakit telanjur membesar.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia merupakan negara dengan jumlah korban jiwa akibat serangan virus penyebab flu burung (H5N1) yang tertinggi didunia. Sejak korban pertamakali pada manusia tercatat diIndonesia pada 2005 hinggaOktober 2017, WHO mencatat H5N1 telah menjangkiti 200 penduduk dengan jumlah kematian mencapai 168 jiwa.
Tri Satya, yang biasa dipanggil Tata ini, menjabat Direktur Kesehatan Hewan di Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, saat wabah flu burung melanda. Namun, flu burung sebenarnya sudah masuk ke Indonesia jauh sebelumnya.
”Flu burung kemungkinan masuk ke Indonesia sejak pertengahan 2003, saat banyak ayam mati tanpa ada kejelasan. Namun, kejadian tersebut ditutupi karena besarnya tekanan industri perunggasan yang khawatir konsumsi telur dan daging ayam menurun,” kata master filosofi bidang epidemiologi dan ekonomi veteriner dari Reading University, Inggris, ini.
Tata, yang menamatkan doktornya di Universitas Massey, Selandia Baru, pada 1995 ini diangkat menjadi Direktur Kesehatan Hewan pada 24 Desember 2003, yang membuat ia harus bergelut dengan dampak wabah yang sudah gawat karena telanjur meluas.
Sepanjang 2004, situasi bertambah kacau. Ratusan ribu ternak mati hampir di seluruh negeri. Para pengusaha yang ingin menyelamatkan unggas mencari sendiri vaksin. Banyak pihak mendatangkan vaksin ilegal dari China.
Situasi menjadi semakin kacau. ”Situasinya kira-kira mirip sekarang walau saat ini lebih kompleks. Kalau flu burung awalnya muncul dari unggas ke manusia, Covid-19 dari satwa melompat ke manusia, lalu menular ke sesama manusia. Seharusnya begitu ada penyakit menular baru muncul di China, kita harus siaga karena pasti akan kena juga,” tuturnya.
Namun, seperti flu burung, kita cenderung tidak jujur. ”Ini sudah sering kita lakukan. Terkait wabah di ternak, selain flu burung, pemerintah juga menutupi wabah flu babi dan terakhir ASF (flu babi Afrika),” katanya.
Menurut Tata, kepentingan ekonomi dan politik lebih mendominasi daripada teknokratik, dalam penanganan wabah. Akibatnya, apa yang dipercaya sebagai kaidah ilmiah, misalnya tata cara prosedur pemberantasan penyakit, tidak selalu bisa berjalan mulus.
Belum lagi urusan dana. Dari anggaran penanggulangan flu burung yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Rp212 miliar, hanya turun anggaran Rp 84,6 miliar. Baru ketika terjadi korban manusia pertama flu burung di Indonesia, Juli 2005, DPR menyetujui penambahan dana.
Di tengah situasi ini, Tata kemudian diberhentikan dari jabatannya secara tiba-tiba pada Oktober 2005, bahkan kemudian dilaporkan korupsi pengadaan vaksin. Tuduhan korupsi yang diumumkan terbuka oleh Inspektur Jenderal Departemen Pertanian itu memukul Tata. Namun, tuduhan tersebut tidak pernah terbukti, bahkan tidak pernah disidangkan.
Saling Terkait
Ibaratnya, ketika pintu telah ditutup, selalu ada jendela yang terbuka. Sebulan setelah pencopotan jabatannya, Tata mendirikan Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS). Lembaga sipil tersebut memiliki visi mewujudkan kesehatan dan kesejahteraan manusia melalui peningkatan kesehatan hewan.
”Menyehatkan hewan pada dasarnya juga untuk menyejahterakan manusia dan menjaga ekosistem tempat hidup binatang berarti menjaga keamanan kita sendiri. Kumpulan virus yang berbeda akan terus bersirkulasi pada populasi hewan dan satwa liar serta mencegah lompatan virus dari hewan ke manusia itu dapat menyelamatkan ekonomi negara dan kehidupan manusia,” ucap Tata.
Pengetahuan dan pengalaman Tata menangani wabah pada akhirnya tetap dibutuhkan. Ketika Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat kemudian membentuk Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI) pada Maret 2006, Tata ditunjuk menjadi wakil ketua eksekutif.
Sekali lagi, dia menghadapi kerumitan birokrasi. ”Birokrasi kita sangat top down dan feodal. Ini kerap berbenturan kalau kita mengedepankan sains. Namun, ada pengalaman penting yang saya dapatkan, kita kedodoran dalam menghadapi wabah karena memang sumber daya tidak memadai,” ujarnya.
Penguatan Kapasitas
Belajar dari flu burung, menurut Tata, Indonesia seharusnya sudah bersiaga dengan menguatkan infrastruktur laboratorium, kapasitas diagnosis, dan surveilans. Keahlian orangnya juga harus ditingkatkan secara jangka panjang.
”Pandemi pasti akan terus berulang dan zoonosis telah membunuh jutaan orang dalam dua abad terakhir. Kita harus bersiap,” kata Tata yang menjadi Ketua Dua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia. Persoalannya, orientasi politik kita terus berubah seiring dengan pergantian kepemimpinan.
Pada 2010, Komnas FBPI akhirnya dibubarkan dan kemudian dibentuk Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis. Namun, pada 2016, Presiden Joko Widodo membubarkan komisi yang bertugas mewaspadai penularan penyakit dari hewan ke manusia ini. Hanya satu tahun enam bulan di FBPI, Tata kemudian memilih bekerja sebagai konsultan bagi World Animal Health Organization untuk wilayah Asia Tenggara dan berkantor di Bangkok.
Berikutnya, dia menjadi Country Team Leader, Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD), Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), untuk wilayah Laos. Di luar kesibukannya, Tata masih meneliti dan menulis. Dia memublikasikan delapan tulisan di jurnal internasional, selain di jurnal dalam negeri, menulis buku, dan belasan artikel di Prosiding. Tak hanya itu, dia juga cukup rajin mengedukasi publik melalui tulisan di media massa. Terbaru, misalnya pada 18 Juni 2020, Tata menulis opini di Kompas dan mengingatkan konsep one health.
Jadi, aktivitas global sesuai dengan konsep kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan saling bergantung. Dalam konsep itu, tenaga kesehatan berkolaborasi me-berikan layanan kesehatan dan memahami faktor penyebaran penyakit serta kesehatan ekosistem. Jadi, ada upaya untuk mencapai hasil kesehatan global yang lebih baik melalui pencegahan risiko yang berasal dari keterkaitan antara manusia, hewan, dan lingkungan. Belajar dari pandemi sebelumnya, menurut Tata, saatnya Indonesia berubah dengan lebih mengedepankan pencegahan, mitigasi atau pengurangan risiko, dan mengedepankan ilmu pengetahuan, terutama jika hal itu menyangkut keselamatan publik. (Ahmad Arif)
Lebih lengkap baca: e-Koran Kompas Edisi 29 Juni 2020 pdf
Sumber: Kompas.id