Vets for a Better Life
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies
Thursday, 28 March 2024
asf-map_0
Sumber: FAO

Perjalanan Demam Babi Afrika di Empat Benua

Sabtu, 21 Desember 2019

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo akhirnya membuat pernyataan wabah demam babi afrika di 16 kabupaten/kota di Sumatera Utara pada 12 Desember 2019. Pemerintah Indonesia melaporkan wabah demam babi afrika tersebut kepada Organisasi Kesehatan Hewan Dunia pada 17 Desember 2019.

Demam babi afrika (DBA) atau african swine fever (ASF) adalah demam berdarah akut yang disebabkan oleh virus DBA, yang masuk dalam genus Asfivirus dan keluarga Asfarviridae. DBA dapat menyebabkan kematian hingga 100 persen pada ternak babi.

Karya ilmiah pertama tentang DBA ditulis Robert Eustace Montgomery, seorang ahli patologi veteriner, yang ditugaskan di Protektorat Afrika Timur, yang masih dijajah Inggris kala itu. Ia berhasil mengisolasi virus DBA untuk pertama kalinya di Kenya setelah sejumlah ternak babi yang diimpor dari Eropa ke Afrika Selatan pada periode 1903-1905 menderita sakit kemudian mati dengan tingkat kematian 100 persen.

Hasil penelitian Montgomery berjudul ”Bentuk Demam Babi yang Terjadi di Afrika Timur Britania (Koloni Kenya)” itu dimuat di Journal of Comparative Pathology and Therapeutics edisi 30 September 1921.

Kisah tentang sejarah penelitian DBA oleh Montgomery tersebut, antara lain, dikupas oleh W Plowright, peneliti di Laboratorium Penelitian Veteriner, Kabete, Kenya, dengan judul ”Demam Babi Afrika: Sebuah Pandangan Retrospektif”. Laporannya dipublikasikan tahun 1986 oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia atau Office International Des Epizooties (OIE).

Peternak menunjukkan ternak babinya yang diduga terjangkit demam babi afrika (ASF) di Desa Helvetia, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Senin (9/12/2019). Sebanyak 23.000 ternak babi mati di 16 kabupaten di Sumut dalam beberapa bulan ini. Namun, peternak belum mendapat penjelasan apa pun tentang penyakit tersebut.

Oleh Plowright, karya tulis Montgomery disebut sebagai karya tulis klasik tentang DBA,walaupun Montgomery masih menyebutnya sebagai demam babi afrika timur. Montgomery menyebutnya sebagai bentuk hiperakut dari demam babi klasik (classical swine fever) atau kolera babi (hog cholera).

Dalam jurnalnya, Montgomery melaporkan bahwa diagnosis pertama untuk kasus demam babi afrika timur dilakukan pada Juni 1910 di Afrika Timur walaupun kematian massal babi sudah terjadi sejak September 1909. Babi yang umumnya terserang adalah babi liar (Phacochoerus spp) yang populasinya paling banyak di Afrika Timur.

Wabahnya menyebar ke sejumlah wilayah Afrika Timur. Montgomery mencatat dalam tabelnya, sejak September 1909 hingga September 1912, dari 1.366 babi yang ada, sebanyak 1.352 mati. Artinya, tingkat kematian tinggi, yaitu 98,9 persen.

Gejala penyakit muncul dengan cepat. Babi tampak depresi, ekor menggantung lemah, dan perut kempes. Ketika babi bergerak, panggul terlihat lemah. Dua puluh empat jam setelah gejala itu muncul, babi kesulitan berjalan. Tungkai belakang mengayun tanpa disadari dan dalam banyak kasus kaki belakang diseret.

Daun telinga babi kelihatan kebiru-biruan yang menandakan ada pendarahan, yang lama-lama terjadi di seluruh tubuh. Ketika diukur dengan termometer, suhu tubuh babi selalu tinggi berkisar 40-42 derajat celsius. Dalam 12 jam kemudian babi mati ketika suhu kembali normal atau subnormal. Kematian bervariasi dalam 48 jam ketika gejala awal muncul.

Montgomery melakukan serangkaian percobaan untuk mengetahui bagaimana virus DBA dengan cepat menyebabkan kematian pada babi. Percobaan dilakukan dengan menyuntikkan virus DBA atau diberikan melalui mulut pada babi peliharaan atau babi liar yang sehat dan hewan lain, seperti sapi, domba, anjing, dan kelinci. Hasilnya, hanya babi yang tertular dan mati beberapa waktu kemudian. Ia juga mencoba penularan virus DBA dengan caplak.

Selain penularan oleh caplak Ornithodoros sp, penularan virus DBA terjadi melalui saluran pernapasan atau mulut akibat kontak dengan babi yang sakit. Penularan terjadi jika babi sehat kontak dengan cairan yang dari babi sakit, seperti air kencing, kotoran, air liur dan darah. Virus DBA yang mencemari manusia dan peralatan juga dapat menulari babi sehat.

Hingga tahun 1956, DBA hanya menyebar di benua Afrika. Penyebaran DBA pertama di luar Afrika adalah ke Portugal pada tahun 1957 sebagai akibat dari limbah dari penerbangan maskapai penerbangan ke babi di dekat Bandara Lisbon. Sejak 1957, wabah DBA telah terjadi di banyak bagian daratan Eropa, seperti Spanyol, Italia, Perancis, Belgia, dan Belanda. Pada 2007, wabah besar DBA dimulai di Georgia dan kemudian menyebar ke Armenia, Azerbaijan, dan Federasi Rusia. (Fernando S Boinas dkk, PLOS ONE, 31 Mei 2011).

DBA masuk benua Amerika melalui Kuba pada Mei 1971. Wabah di negara yang dipimpin Fidel Castro itu sempat membuat heboh karena sejumlah koran di Amerika Serikat (AS) memberitakan Badan Intelijen Pusat AS (CIA) terlibat dalam pemasukan virus DBA ke Kuba, tetapi dibantah oleh CIA.

DBA baru masuk Asia tahun 2018. Pemerintah China melaporkan kepada OIE pada 1 Agustus 2018. Wabah menyebabkan kematian 47 ekor babi di peternakan babi di Jalan Shenbei, Shenyang, Provinsi Liaoning, China bagian timur laut. Tingkat fatalitas mencapai 100 persen. Sumber penularan di China belum diketahui.

Dengan cepat, DBA menyebar ke negara tetangga China, seperti Korea Utara, Laos, Vietnam, Kamboja, Filipina, dan Timor Leste. Sedikitnya sudah 55 negara pernah terjangkiti wabah DBA di dunia. DBA saat ini menjadi penyakit babi paling penting dan strategis di dunia.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa faktor risiko utama untuk penyebaran virus DBA lintas pulau atau lintas benua akibat dari pergerakan ilegal babi yang terinfeksi virus DBA, daging babi atau produk babi yang terkontaminasi dengan virus DBA, dan praktik pemberian makanan sisa untuk babi. Namun, penyebaran infeksi lokal dapat terjadi melalui pergerakan babi hutan melalui lanskap alam yang terhubung yang membuat virus DBA menjadi endemik pada populasi babi hutan, seperti yang terjadi di Uni Eropa (Jose E Barasona, dkk, Frontiers in Veterinary Science, 26 April 2019).

Pemerintah Indonesia melaporkan wabah DBA ke OIE pada 17 Desember 2019, setelah pada 12 Desember 2019 Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menerbitkan Surat Keputusan Mentan Nomor 820/KPTS/PK.320/M/12/2019 tentang Pernyataan Wabah Penyakit Demam Babi Afrika pada Beberapa Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara. Dari laporan pemerintah ke OIE tersebut diketahui kasus pertama terjadi di Kabupaten Dairi pada 4 September 2019. Sumber wabah belum diketahui.

Dalam keputusan itu disebutkan 16 kabupaten/kota dari 33 kabupaten/kota di Sumut dinyatakan sebagai daerah wabah DBA. Ke-16 kabupaten/kota itu adalah Kabupaten Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Karo, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, Langkat, Kota Tebing Tinggi, Kota Pematang Siantar, dan Kota Medan. Wabah ASF di Sumut tersebut menyebabkan kematian 28.136 babi. Tingkat fatalitas mencapai 100 persen.

Antisipasi pemerintah cukup lambat hingga akhirnya menyebar ke 16 kabupaten/kota di Sumut. Meskipun demikian, Surat Keputusan Mentan tersebut dapat menjadi dasar untuk melaksanakan pengendalian dan penanggulangan DBA yang dilakukan Otoritas Veteriner di pusat hingga daerah di seluruh Indonesia.

Dampak DBA ini terutama adalah dampak ekonomi bagi eksportir babi dan peternakan babi rakyat. DBA tidak menular ke manusia sehingga masyarakat tidak perlu terlalu khawatir. (Subur Tjahjono)

 

Sumber: Kompas

Tinggalkan Balasan

Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.

Perjalanan Demam Babi Afrika di Empat Benua

by Civas time to read: 4 min
0