Vets for a Better Life
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies
Friday, 19 April 2024
Antara News
Sumber: Antara News

Waspada ASF

Kamis, 5 Desember 2019

Kasus kematian babi massal di Sumatera Utara telah meresahkan pelaku usaha peternakan babi di tanah air. Pemerintah dituntut mengambil langkah kongkrit untuk mengatasi persoalan ini termasuk segera mengumumkan dan menetapkan jika benar wabah yang terjadi adalah ASF.

Wabah ASF (African Swine Fever) pertama kali masuk ke Asia dan menghebohkan China pada Agustus 2018 tepatnya di Provinsi Liaoning ini telah menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar bagi Negeri Tirai Bambu tersebut. Para pelaku usaha peternakan babi di tanah air pun khawatir demam babi Afrika ini akan mewabah di wilayahnya.

Kekhawatiran para peternak babi ini seakan menjadi kenyataan. Setelah penyakit yang disebabkan oleh virus serta belum ada vaksin dan obatnya ini terkonfirmasi di wilayah Asia Timur (China, Mongolia, Korea Utara, Korea Selatan) serta Asia Tenggara (Vietnam, Kamboja, Laos, Filipina, Myanmar, Timor Leste) kini peternak babi di Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dibuat resah.

Data Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Sumatera Utara menunjukkan, pada rentang waktu 25 September hingga 16 November 2019 terjadi kematian babi sekitar 9.119 ekor atau 0,35 % dari populasi total di Provinsi Sumatera Utara sebanyak 1.277.741 ekor. Kasus yang diduga ASF ini berawal dari laporan kejadian berdasarkan Surat Kadis Pertanian Dairi No.1648/IX/2019, tanggal 25 September 2019, tentang laporan kematian ternak babi di Dairi sebanyak 24 ekor. Kejadian kasus kematian pada ternak babi ini terus merembet hingga per 16 November 2019 sudah dilaporkan oleh 10 kabupaten/kota di Sumatera Utara.

Ketua Asperba (Asosiasi Peternak Babi) Sumut, Hendri Duin Sembiring mengatakan kasus kematian ternak babi di Sumut ini terus berkembang ke berbagai kabupaten/kota di Sumut dan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi para peternak yang terdampak. “Kalau yang mati anak babi seharga Rp 600 ribu per ekor atau indukan seharga Rp 3-5 juta per ekor maka jika di total kerugian akan sangat besar,” sesalnya disela acara seminar kesehatan babi di Pematang Siantar Sumut (30/11).

Pemilik peternakan babi bernama Tesalonika Farm di Tanah Karo ini menyatakan usaha peternakan babi sangat vital untuk perekonomian Sumut. “Kami menuntut pemerintah untuk memberikan perhatian lebih dan upaya yang maksimal bagi para peternak yang terkena musibah,” tuntut pria yang beternak babi sejak 2017 dengan populasi sebanyak 600 ekor dan 120 ekor diantaranya merupakan indukan ini.

Awi, pemilik Juria Fig Farm yang berlokasi di Pematang Siantar menuntut pemerintah untuk sigap dalam menangani persoalan ini. “Ini kejadian luar biasa. Kalau misalnya harus dilakukan pemusnahan sebagai jalan terakhir maka harus ada kompensasi dari pemerintah,” tegas pengurus Asperba Sumut bidang Genetik yang beternak babi sejak 1995 dengan populasi sekitar 800 ekor ini.

Ketua Asperba Nias, Robert MZ Dachi merunut kasus wabah ini awalnya ditandai dengan timbulnya kematian babi secara tidak normal dikalangan peternak rakyat. “Kejadian ini kita tidak pahami karena keterbatasan pengetahuan dari peternak rakyat. Tetapi karena kejadiannya menjadi mewabah akhirnya diambil kesimpulan untuk konsultasi. Dari beberapa tindakan pemerintah menyimpulkan bahwa penyakitnya itu awalnya HC (Hog Colera). Namun kemudian timbul dugaan (suspect) sebagai ASF,” ungkapnya.

Ia melanjutkan, kasus kematian ternak babi ini menyebar sangat luar biasa dan peternak tidak tahu secara pasti penyakitnya. “Kalau sekedar penyakit HC, kami sudah terbiasa menanganinya. Hal yang luar biasa tetapi kami menanganinya biasa-biasa saja maka menjadi mewabah seperti ini. Apalagi kami tidak mengenalinya bahwa itu suspect ASF,” sesalnya.

Robert pun menyayangkan adanya oknum peternak yang membuang bangkai babi ke sungai meskipun tidak bisa sepenuhnya disalahkan. “Perlu kita pahami kematian babi tidak sama dengan ternak yang kecil. Kalau misalnya ada 20 ekor babi mati untuk menguburkannya bukan pekerjaan yang mudah. Butuh alat berat dan lahan khusus sehingga tidak bisa juga sepenuhnya kita menyalahkan mereka walaupun itu salah. Karena mungkin tidak ada pilihan lain. Bagaimana mereka harus menggali dan menguburkan 20 ekor babi yang ukurannya sudah besar di halaman rumahnya. Sehingga jalan pintas yang mereka ambil membuang ke sungai. Walaupun sebenarnya itu salah,” kilahnya.

Atas kejadian ini, lanjut Robert, harus ada kesamaan persepsi dari peternak, asosiasi, maupun pemerintah. Jangan sampai ditingkat peternak dengan segala keterbatasannya menduga kejadian ini positif ASF sementara di pihak regulator menganggap ini baru suspect. “Dengan ketidaksamaan persepsi ini bahaya sekali. Kalau peternak mempercayai suspect ASF sehingga tidak melakukan tindakan preventif apapun akan bahaya padahal kita sedang diancam ASF,” tegasnya.

Dia meminta kepada pemerintah sebagai regulator untuk mengambil langkah-langkah yang luar biasa karena ini kejadian yang luar biasa. “Ini kejadian luar biasa bagi kami sebagai peternak. Ini merupakan pukulan berat sekaligus ancaman besar di masa depan. Kalau ini ASF yang tidak ada obatnya dan kita tidak bisa mengantisipasi dengan benar dan tepat maka nasib yang dialami oleh negara-negara yang terjangkit ASF itu akan kami alami,” pesan Robert.

 

Sangat Strategis

Presiden AMI (Asosiasi Monogastrik Indonesia), Sauland Sinaga menyatakan, usaha peternakan babi di Sumut sangat strategis. Sumut memiliki populasi ke-2 terbanyak di Indonesia dengan jumlah pemotongan sekitar 600 ribu ekor per tahun. “Sumut menjadi pemasok babi sekitar 60 % untuk Pulau Sumatera, pemasok babi sekitar 20 % untuk DKI Jakarta, serta pemasok sekitar 30 % protein hewani masyarakat (20 kg per kapita per tahun,” paparnya.

Selain itu, usaha peternakan babi di Sumut menghidupi sekitar 300 ribu Rumah Tangga Peternak atau setara dengan 1,5 juta jiwa (10 % penduduk) serta dari usaha ini dapat menyekolahkan 360.000 siswa atau mahasiwa. “Sumut menghasilkan babi hidup sebanyak 192 ribu ton, 144 ribu ton karkas, 100 ribu ton daging per tahun dengan nilai Rp 6 triliun atau sebanding dengan 50 % APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Sumut yang totalnya sebesar Rp 12 triliun. Dari bisnis ransum babi yang sebanyak 876 ribu ton per tahun terdapat perputaran uang sebesar Rp 4,3 triliun dan dari bisnis obat-obatan dan vitamin terdapat omzet sekitar Rp 60 miliar per tahun,” urai Sauland.

Dengan sangat stategisnya bisnis peternakan babi di Sumut sehingga pemerintah harus membina dan menjamin keberlangsungan usahan peternakan babi di sumut terutama setelah dampak ASF ini selesai. “Pemerintah harus mensosialisasikan lagi beternak babi yang bersih dan ramah lingkungan untuk menghindari kasus penyakit lainnya di masa yang akan datang,” pinta Dewan Penasehat Asperba Sumut, Parsaoran Silalahi.

Pria yang akrab disapa Saor ini menambahkan, melihat perkembangan hingga saat ini, masih ada 3 kabupaten yang melaporkan adanya serangan yang diduga ASF yaitu Kabupaten Karo, Simalungun, dan Tobasa. “Kurangnya sosialisasi membuat penyebaran virus semakin meluas. Penanganan bangkai babi pun tidak sesuai SOP (Standar Operasional Prosedur) seperti yang dijelaskan oleh FAO. Kalau pemerintah hanya menunggu deklarasi maka sudah percuma bagi Sumut karena virus sudah dimana-mana kecuali Pulau Nias,” sesalnya.

Ia meminta, kerjasama dengan semua pihak harus diperkuat untuk mengatasi persoalan ini. “Selama ini kami tidak melihat pemerintah mengajak perguruan tinggi dalam menangani virus ini. Padahal fakta di lapangan ada organisasi mahasiswa yang melayani peternak kecil untuk melakukan desinfeksi, vaksin, dan lain lain,” katanya.

Atas kejadian wabah yang diduga ASF ini, Saor atas nama Asperba Sumut seusai seminar menyampaikan tuntutan kepada pemerintah dan perusahaan peternakan babi untuk melakukan re-stocking serta melakukan kampanye jangan takut makan daging babi karena ASF tidak menular ke manusia. Juga pemerintah melakukan sertifikasi bukan atas nama perusahaan tetapi atas nama wilayah kabupaten/kota; peternak skala industri diharapkan membangun kemitraan dengan peternakan rakyat; serta pemerintah membina dan menjamin keberlangsungan usaha peternakan babi.

Kepala Bidang Kesehatan Hewan DKPP Sumut, Mulkan Harahap mengatakan, pemerintah sudah melakukan berbagai langkah untuk mengatasi persoalan ini seperti melakukan investigasi, pengambilan sampel, KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) serta penyerahan desinfektan ke petugas kab/kota. Bahkan pada 16 Oktober 2019, Gubernur Sumut telah mengeluarkan surat bernomor 524/10659/2019 yang ditandatangani Sekda Sumut untuk bupati/walikota se-Sumut mengenai langkah-langkah penanggulangan penyakit babi.

Mulkan menambahkan terkait kebijakan, pemerintah daerah pun telah membuat surat instruksi gubernur tentang penanggulangan penyakit ternak babi di Sumut; Sekda mengeluarkan surat berupa himbauan penanganan kasus kematian ternak babi; surat pembentukan posko-posko pelaporan kasus kematian ternak babi di kabupaten/kota; surat pertimbangan teknis penundaan pengadaan ternak babi di kabupaten/kota dan Balai Veteriner Medan; serta surat ke kabupaten/kota untuk pengusulan RAB kegiatan penanggulangan penyakit ternak babi dan pembentukan Tim Posko.

Disamping itu, lanjut Mulkan, Gubernur Sumut telah bersurat ke Menteri Pertanian tentang laporan wabah penyakit ternak babi di Provinsi Sumut. “Pada 11 November 2019, pemerintah melalui Tim Unit Reaksi Cepat (URC) turun langsung ke lapangan untuk penguburan massal bangkai ternak babi yang dibuang ke Sungai Bederah – Danau Siombak Kota Medan,” ujarnya.

 

Surveilans ASF

Kepala Seksi Pelayanan Teknis Balai Veteriner (BVet) Medan, Lepsi Putridi AS dalam paparannya menyampaikan, ASF merupakan penyakit eksotik yang belum ada di Indonesia. “Penyakit ini tidak berbahaya bagi manusia tetapi fatal bagi babi,” tegasnya.

BVet Medan melakukan surveilans penyakit ASF di tahun ini dengan cakupan wilayah Sibolga, Tapanuli Utara, Karo, Binjai, Medan, Deli Serdang, Sedang Bedagai, Batubara, Simalungun, Asahan, dan Toba Samosir. “Adanya laporan banyak babi mati pada akhir September lalu dan berdasarkan hasil uji laboratorium metode PCR (Polymerase Chain Reaction) ditemukan sampel suspect ASF pada 9 daerah di Sumut,” ungkap Lepsi.

Sebagai upaya pengendalian agar ASF tidak menyebar, lanjut Lepsi, harus dilakukan pengetatan lalu lintas ternak babi dari dan ke kabupaten/kota terinfeksi. Juga pengawasan ketat lalu lintas angkutan pakan dan sarana peternakan yang melewati kabupaten/kota terinfeksi.

Selain itu, memperketat biosekuriti yaitu usaha untuk menjaga suatu daerah dari masuknya agen penyakit, menjaga tersebarnya agen penyakit dari daerah tertentu, dan menjaga agar suatu penyakit tidak menyebar di dalam daerah. Contohnya, penyemprotan desinfektan pada kandang-kandang ternak babi dalam jumlah mencukupi untuk menghambat penyebaran virus ASF di seluruh kabupaten/kota yang terdapat populasi ternak babi serta penanganan bangkai babi sesuai prosedur yang berlaku.

Sedangkan NTA One Health & Zoonosis Control FAO Ectad Indonesia, Andri Jatikusumah menyampaikan, belajar dari pengalaman kasus ASF di China dan Vietnam, terdapat 3 penyebab utama penyebaran ASF yaitu lalu lintas babi terinfeksi dan produk babi, kontaminasi kendaraan pengangkut, alat dan kontak orang, serta sisa pakan. “Respon wabah dan strategi utama yang harus dilakukan terhadap ASF adalah investigasi wabah, stamping out/kompensasi, pembersihan dan disinfeksi, disposal, surveilans (deteksi dini), zoning dan pengendalian lalu lintas hewan, dan pemulihan/hewan sentinel,” ujarnya.

China dan Vietnam membuat berbagai dokumen (rencana aksi, berbagai panduan dan SOP) untuk pencegahan dan pengendalian ASF serta meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan hewan dan peternakan. Juga melakukan penanganan ASF di peternakan baik skala kecil maupun besar (deteksi dini dan pemusnahan hewan terinfeksi ASF dan berisiko; 3D (Depopulasi, Dekontaminasi, dan Disposal);  pengendalian lalu lintas), serta pelarangan swill feeding/pakan makanan sisa.

 

Hentikan Lalu Lintas Babi

Peternak babi dari Jawa Tengah, Yogyakarta dan sekitarnya juga menuntut pemerintah untuk menghentikan lalu lintas ternak dari daerah terkena infeksi ke pulau Jawa. Seruan itu dinyatakan usai Seminar Penanggulangan Penyakit pada Babi yang membedah ancaman penyakit ASF di Orient Resto – Surakarta pada Snein (19/11). Pada acara yang diprakarsai oleh Himpunan Peternak Babi Surakarta (HPBS) ini mereka mengaku resah dan prihatin dengan kondisi wabah penyakit babi di Sumatera Utara.

“Dengan ini memohon kepada Menteri Pertanian selaku pemegang jabatan untuk melakukan pelarangan pergerakan babi hidup maupun produk olahan turunan daging babi dari daerah terjangkit wabah penyakit babi yaitu dari Pulau Sumatera ke Pulau Jawa,” tulis mereka pada siaran kepada awak media.

Seminar itu menghadirkan Sauland Sinaga – Presiden AMI dan Prof Wayan Teguh Wibawan, seorang pakar penyakit hewan dari Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Wayan menerangkan wabah penyakit yang menyerang babi sehingga menimbulkan kematian massal secara teknis dapat dikatakan positif ASF.

“Saya hanya bisa bicara teknis, saya tidak bisa mendeklarasikan. Karena diantara sampel babi yang diuji menggunakan PCR, ditemukan materi genetik virus ASF. Pengujian menggunakan PCR ini hasilnya hanya ya dan tidak, tidak ada abu-abu,” ungkapnya.

Wayan meluruskan, ASF tidak sama dengan hog cholera, apalagi flu babi. “Flu babi disebabkan oleh serangan virus flu H1N1. Flu babi bersifat zoonosis (dapat menyerang manusia) sedangkan ASF bukan zoonosis,” tegas dia. Dia melanjutkan, sampai saat ini belum ada vaksin ASF, karena para ahli menemukan kesulitan untuk mengidentifikasi protein permukaan virus ASF.

“Selain itu, belum ditemukan pula obatnya, sehingga peternak babi hanya bisa mencegah dengan meningkatkan biosekuriti dan daya tahan tubuh non spesifik. Biosekuriti diusahakan, pertama dengan isolasi, artinya membatasi kontak babi dengan manusia, kendaraan dan barang dari luar. Kedua, memperketat sanitasi manusia dengan desinfektan,” papar Wayan. Selain itu, pada hari-hari ini agar menahan diri untuk tidak membawa babi dan produk turunannya dari daerah lain. Bahkan, kalau bisa jangan jalan-jalan dulu ke wilayah dan negara terjangkit.

Virus ASF, menurut Wayan, sebenarnya sangat mudah mati. Virus ini tidak tahan panas, akan mati pada suhu 70 oC selama 30 menit, dan tidak tahan pada semua jenis desinfektan. Virus ASF juga tidak tahan oleh proses pembusukan bangkai, sehingga pasti mati jika bangkai babi dikubur. “Namun, virus ASF tahan dalam pendingin selama 6 bulan, dan tahan 3 bulan jika terlindungi oleh bahan organik,” dia menguraikan.

Dijelaskan Sauland, pada daging babi beku, bahkan virus ASF dilaporkan mampu bertahan selama 1.000 hari. Dan bertahan hingga 300 hari pada daging kering tanpa tulang, sosis (parma) dan kulit/lemak. Pada produk-produk lainnya, virus bertahan antara 105-183 hari. “Maka pemerintah harus menutup pintu impor olahan babi dari negara terduga terjangkit, peternakan pun dilarang membawa olahan babi ke kandangnya, dan bahkan pengelola harus sigap membakar sisa makanan pesawat yang berasal dari negara terjangkit/terduga terjangkit di semua pelabuhan dan bandara,” sarannya.

Sauland menangkap, kematian populasi babi karena ASF bisa mencapai 20-30% dari populasi. “China yang memiliki populasi babi sekitar 400 juta ekor, kematian akibat ASF mencapai 50%, di Vietnam kematian mencapai 30%,” katanya.

Dia pun menyodorkan analisis potensi kerugian ekonomi atas kasus di Sumut yang dikeluarkan AMI yang digawanginya. Dengan asumsi kematian 30-50%, maka babi yang mati di Sumatera Utara bisa mencapai 500-600 ribu ekor. “Setara dengan Rp 1,8 triliun saat ini, atau sekitar Rp 3,6 triliun per tahun. Angka fantastis, setara 28% dibandingkan dengan APBD Sumut 2018 yang besarnya hanya Rp 12 triliun,” ungkap dia.

Kematian babi akibat ASF, menurut Wayan sebenarnya mudah dikenali. Karena kematiannya mendadak dan penyakit menyerang dalam tempo singkat, maka babi yang mati kondisinya masih gemuk-gemuk. “Kalau terserang hog cholera, babi biasanya mati dengan keadaan tubuh kurus. Di Medan, babi yang mati dan dibuang itu semuanya masih gemuk-gemuk,” dia menjelaskan.

Sauland menegaskan, babi dari daerah terjangkit ASF yang terlihat sehat tetap bisa berpotensi sebagai ASD yang terlihat sehat, tetap bisa berpotensi sebagai carrier. Bahkan caplak babi yang terbawa pun bisa menjadi agen penularan. ASF tersebar dari satu daerah ke daerah lain diketahui disebabkan karena lalu lintas jarak jauh babi hidup dan produk asal babi (16,3%), transportasi kendaraan dan orang (40,8%), dan dari sisa-sisa makananan/swill feeding (42,9%).

 

Keresahan Peternak

Belum jelasnya penyebab wabah kematian babi di Sumut menimbulkan kekhawatiran Ketua Himpunan Peternak Babi di Surakarta, Robbie Kusnadi. “Jangan sampai penyakit yang dari Sumut masuk ke Jawa dan Bali. Agar Jawa-Bali tetap bertahan,” tandasnya. Dia mengungkapkan peternak babi merasa khawatir, masih terjadi pemasukan babi dari daerah wabah ke Jawa-Bali.

Senada dengan Robbie, Budhi Santoso, peternak babi dari kota Solo juga menyampaikan keresahan para peternak babi di Jawa, mereka khawatir ada pengiriman babi dari Sumut, kemudian sampai di Lampung atau daerah lain, suratnya diganti. Sehingga mendapatkan surat kesehatan hewan dari wilayah itu, sehingga lolos karantina Bakaheuni dan Merak, masuk ke Jawa.

Menurutnya, dengan masuknya pengiriman babi dari Sumatera ke Jawa, akan terjadi kontak kendaraan dan awak transportasi babi dari Jawa yang bertemu dengan kendaraan dan awak dari Sumatera. “Kami kuatir akan menjadi perantara penularan penyakit ke kandang peternak di Jawa. Karena saat kembali tentu mereka masuk ke peternakan lagi,” ungkapnya.

 

Jangan Takut Deklarasi

Wayan Teguh Wibawan menyatakan pemerintah sebenarnya tak perlu takut untuk mendeklarsikan telah terjadi wabah ASF di Indonesia. Semakin cepat diakui, akan semakin cepat pula langkah SOP atas serangan wabah dilakukan. Seperti penetapan zona merah (pusat wabah), biru (zona penyangga), dan hijau (zona bebas wabah). Penetapan zona ini diperlukan untuk mengatur lalu lintas ternak dari dan ke dalam daerah terkena wabah.

“Kalau Sumatera merupakan zona merah dan biru, maka Jawa adalah zona hijau, sehingga semua ternak babi dari daerah Sumatera bisa dicegah secara tegas untuk masuk ke Jawa. Kalau penyakit ini masih diakui sebagai hog cholera, maka Jawa dan Sumatera itu sama-sama merah. Jawa tidak bisda menolak masuknya ternak babi dari Sumatera,” paparnya.

Senada, Sauland menyebutkan telah ada surat penghentian pemasukan ke DKI Jakarta babi dari Sumut. Volume pengiriman babi dari Sumut pun dari hari ke hari sudah turun terus, mendekati nol. “Kalau ini hog cholera, Jawa dan Sumatera sama-sama zona merah (terjangkit). Jadi lalu lintas ternak tetap bisa dilakukan,” ungkapnya. Berbeda kalau kasus wabah di Sumut adalah ASF, maka sejauh ini Jawa masih bersih dari ASF sehingga lalu lintas babi ke Jawa bisa dihentikan.

Pemerintah maupun pengusaha juga tidak perlu takut jika memang wabah kematian massal pada babi ini terkonfirmasi dan dideklarasikan. “Tidak akan mempengaruhi ekspor babi. Apalagi peternakan babi yang berorientasi ekspor, lokasinya terisolasi di Pulau. Tidah usah risau,” katanya.

Wayan mengajak berkaca pada wabah flu burung yang menyerang unggas tahun yang terlambat di tangani karena pemerintah lambat mendeklarasikannya. “Pada babi jangan sampai terjadi. Setelah deklarasi, instansi pemerintah terkait justru akan mendapatkan legalitas untuk bertindak menutup lalu lintas babi secara tegas. Dan dapat segera menyusun zonasi, dan terapkan strategi kompartementalisasi, seperti pada perunggasan. Kompartemen peternakan babi yang bebas ASF masih akan bisa leluasa memperdagangkan bibit maupun panenannya termasuk untuk ekspor,” tandasnya.

Menyambung pernyataannya, Wayan menyatakan tanpa deklarasi, wabah ini bisa meningkat statusnya menjadi wabah nasional. “Tanpa deklarasi pengendalian zona dapat dilakukan, secara teknis. Tapi tindakan itu secara formal, tidak punya sandaran hukum legal formal,” ungkapnya.

Sauland menyambung, kemungkinan besar, alotnya deklarasi ASF terjadi karena dengan diumumkannya wabah maka akan timbul tuntutan ganti rugi di peternak. Terlebih kalau sampai terjadi stamping out. “Walaupun demikian, saya berkeyakinan, tidak akan sampai ada stamping out. Dana pemerintah untuk penguburan bangkai babi saja sangat minim,” ujarnya.

PB PDHI (Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia) dalam rilis tertulisnya yang disampaikan di Jakarta pada (5/12) dan ditandatangani Ketua Umum, Muhammad Munawaroh menyatakan, berdasarkan pengamatan gejala klinis dilapang, perubahan patologi, dan pengujian laboratorium di BVet Medan terhadap sampel darah dan organ yang berasal dari babi yang mati (sakit) pada Oktober 2019 dengan menggunakan RT PCR menunjukkan sejumlah sampel positif terhadap ASF. “Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kematian babi di Sumut disebabkan virus ASF,” tandasnya.

Indonesia sebagai salah satu anggota Organisasi Kesehatan Hewan Dunia atau World Organisation for Animal Health (OIE) berkewajiban membagikan informasi kejadian wabah penyakit hewan menular yang termasuk kategori penyakit hewan lintas batas (transboundary diseases) yang wajib dilaporkan (notifiable disease) sesuai dengan ketentuan organik OIE. “Sesuai dengan Peraturan Perundangan yang berlaku di Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan, setiap kejadian wabah harus dilaporkan dan ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Maka dipandang perlu Menteri Pertanian menetapkan adanya wabah ASF tersebut,” tuntutnya.

Ia menyampaikan, untuk mengendalikan dan menghentikan penyebaran penyakit ASF pada babi serta menanggulangi kerugian ekonomi pada peternak babi dan dampak negatif lainnya. Pemerintah perlu segera menetapkan adanya wabah penyakit ASF untuk dilakukan tindakan-tindakan secara legal dalam pengendalian dan penanggulangan penyakit ASF. “Dengan ini PB PDHI sebagai organisasi profesi Dokter Hewan Indonesia yang peduli terhadap kesehatan hewan, kesehatan dan kesejahteraan manusia, ,serta pembangunan nasional meminta pemerintah untuk segera mengumumkan dan menetapkan kasus wabah penyakit ASF di Sumut,” tegas Munawaroh.

Selain itu, PB PDHI meminta kepada pemerintah pusat dan daerah khususnya pemerintah Provinsi Sumut untuk sesegera mungkin mengambil tindakan-tindakan nyata sesuai dengan peraturan dalam pengendalian dan penanggulangan penyakit ASF pada babi. “PB PDHI siap berperan aktif bersama pemerintah baik pusat maupun daerah serta pihak-pihak yang terkait, terutama peternak babi dan masyarakat untuk turut serta dan bekerjasama dalam tindakan pengendalian dan penanggulangan penyakit ASF,” ujar Muanwaroh.

 

Kebobolan?

Sauland menjelaskan, sebenarnya Badan Karantina Pertanian dan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, bersama dengan Komisi Ahli telahmengambil langkah-langkah untuk mencegah masuknya ASF ke Indonesia. Kepala Badan Karantina telah menerbitkan Surat Edaran tentang Peningkatan Kewaspadaan terhadap Pemasukan Babi Hidup dan Produk Olahannya dari Negara-negara tertular.

Yeka Hendra Fatika, Ketua Pataka (Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi) menyatakan upaya yang dilakukan oleh Badan Karantina belum optimal, mengingat Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki banyak titik sebagai pintu masuk arus barang dan manusia. “Sebenarnya yang perlu dipertanyakan justru mengapa deklarasi ASF ini terkesan terlambat. Negara lain cukup memakan waktu 3 hari untuk melakukan pengujian hingga keluar deklarasi, dan lapor ke OIE. Apakah benar, prosedur pengujiannya perlu berulang-ulang,” ungkapnya.

Yeka menyayangkan, jika keterlambatan itu disandarkan pada alasan pengujian harus berulang dan menunggu konfirmasi dari luar negeri, dia merasakan kejanggalan. “Peralatan uji kita canggih, SDM kita juga banyak yang ahli. Kelambatan ini seperti hendak mengatakan kalau SDM dan peralatan kita tidak memadai,” ujarnya. Dia pun memahami jika peternak babi di Jawa merasa risau dengan lambatnya deklarasi ASF. Sebab selama masa tunggu yang sekian lama itu, risiko virus ASF sudah menyebar ke mana-mana termasuk ke Jawa akan semakin tinggi.

Dia menegaskan ASF bukan masalah Gubernur Sumut saja. Tetapi harusnya gubernur provinsi lain juga langsung peduli, dan menutup perbatasannya untuk babi dari daerah wabah. Sehingga tidak ada kemungkinan lalu lintas babi ilegal dari daerah wabah ke daerah yang masih steril. “Peternak dan asosiasi peternak juga harus meningkatkan kewaspadaannya. Saling mengingatkan, agar tidak ada yang bermain demi kepentingan sesaat, menampung babi dari daerah wabah kemudian diakui sebagai hasil budidaya kemudian dicarikan legalitas,” tandas Yeka. (Yopi, Nuruddin)

 

Sumber: Trobos Edisi 243-Desember 2019

Tinggalkan Balasan

Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.

Waspada ASF

by Civas time to read: 14 min
0