Vets for a Better Life
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies
Thursday, 28 March 2024
DSCN1374
Dokumentasi Pribadi

HPAI vs LPAI

Rabu, 30 Januari 2019

Tingkat kejadian AI di tanah air pasang surut dan sepanjang tahun lalu diklaim mengalami penurunan. Meskipun begitu peternak tidak boleh lengah terhadap penyakit yang disebabkan virus ini karena bersifat laten di peternakan.

AI (Avian Influenza) masih menjadi salah satu penyakit yang menjadi momok di tanah air khususnya baik di peternakan broiler (ayam pedaging) dan layer (ayam petelur). Kabar baiknya, kasus penyakit yang dikena juga sebagai flu burung ini sepanjang tahun lalu cukup menurun dibandingkan di 2017 yang banyak menyerang peternak layer.

Peternak layer di Blitar, Jawa Timur, Rofi Yasifun, merasa bersyukur sepanjang tahun lalu peternakannya tidak terkena serangan AI varian H9N2 yang termasuk LPAI (Low Pathogenic Avian Influenza). “Hanya pada 2017 pernah terkena serangan H9N2 yang menyebabkan penurunan asupan pakan yang berlanjut dengan penurunan produksi terjadi di beberapa flock.”

Untuk di 2018, ia mendapat informasi salah satu peternak layer di daerah Blitar ada yang terkena AI. “Kejadiannya di awal 2018 dengan angkanya kecil sekali mungkin tidak sampai 1% dari populasi. Sebagai antisipasi, peternaknya langsung melakukan afkir dini,” ujarnya.

Peternak broiler di Bogor Jawa Barat, Agus Suwarna mengaku peternakan yang dikelolanya belum pernah terkena serangan AI. Pasalnya, ia sudah melakukan antisipasi dengan menerapkan program vaksinasi AI sebanyak 2 kali ketika kasus penyakit ini marak terjadi.

Agus pun rela merogoh kocek sebagai tambahan biaya produksi sebanyak Rp 100 – 150 per ekor khusus untuk menangkal AI. “Manajemen biosekuriti yang ketat juga kita lakukan sehingga kasus AI di kandang tidak terjadi,” ungkapnya.

Berdasarkan pengamatan SBU Animal Health and Poultry Equipment Technical PT Vaksindo Satwa Nusantara, Yusman Friyadi, sepanjang tahun lalu kasus AI menurun baik yang HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenza) dan LPAI. Dengan populasi unggas yang cukup besar pengendalian AI di dalam negeri sudah jauh lebih baik. “Kasus AI H5N1 sudah jauh menurun dan kasus H9N2 yang dua tahun lalu sempat merebak relatif bisa dikendalikan. “Data AI dan pemerintah pun sekarang cukup kuat dan mempunyai laboratorium yang komprehensif di beberapa daerah,” terangnya.

Jika melihat sejarahnya, sejak 2003, penyakit AI cukup pasang surut. Tetapi, mau tidak mau peternak harus hidup dengan AI. Kondisi ini, kurang lebih dialami juga peternak-peternak di negara Asia lainnya. “Hanya, negara kita sudah dalam arah yang benar untuk proses pengendalian penyakit AI ini dibanding beberapa negara lain,” cetusnya.

Ia mencontohkan Vietnam baru tahun lalu membolehkan vaksin AI H5N1, padahal kalau dilihat sirkulasi virusnya sudah banyak. Belum lagi, karena dilarang peternak mencari cara menyelamatkan unggas dengan mendatangkan vaksin-vaksin yang tidak tahu isinya, sehingga memperburuk situasi. Lalu Mesir yang menerapkan vaksinasi tidak ketat seperti di Indonesia dengan konsep vaksin homolog. Mereka mempersilahkan vaksin heterolog masuk, sulit juga pengendalian AI dengan seperti itu.

 

Telah Bergeser

Walaupun selama 2018 kasus AI menurun bukan alasan untuk tidak mewaspadai di 2019, karena virus AI selalu bermutasi. “Perkembangan AI dari dulu sampai sekarang selalu berubah, karena memiliki sifat bermutasi. Misalnya pada 2012, muncul AI clade 2.3.2, dan ternyata berkembang terus variannya sampa sekarang. Walaupun masih termasuk clade 2.3.2, namun sudah berbeda dibanding awal kemunculannya,” ungkap Head Unit Research & Development PT Sanbio Laboratories, Syamsidar.

Sebenarnya, pemerintah mengeluarkan master seed vaksin AI yang sudah diproduksi beberapa produsen obat hewan di tanah air yaitu strain AI Sukoharjo. “Ternyata strain AI Sukoharjo saat ini dibandingkan pada 2012 sudah mengalami pergeseran sebanyak 2-3 %,” katanya.

Merujuk ke FAO, sambung Syamsidar, pergeseran strain 1,5 % saja cukup riskan bagi peternak di lapangan, apalagi sudah 2-3 % pergeserannya.” Artinya, sudah jauh berbeda antara vaksin dengan virus yang ada,” cetusnya.

Di tahun lalu, kasus AI biasanya terjadi pada puncak musim hujan seperti pada Oktober – November dan Januari – April. Perkembangan jumlah kasus penyakit pun cukup meningkat di bulan-bulan tersebut seperti AI, ND (Newcastle Disease), dan gumboro.

Dalam perkembangan penyakit AI, Yusman menceritakan kilas balik virus ini yaitu pada rentang 2003 – 2007 kebijakan vaksin masih heterolog dan ternyata banyak terjadi mutasi virus.  Namun pada kuartal 2009, pemerintah melakukan ancang-ancang dengan lebih mengedepankan vaksin dari produsen obat hewan lokal dengan tujuan kecocokan virus yang utama lebih mendekati. Lalu pemerintah melakukan optimalisasi dari 2011 dengan mengeluarkan aturan, sehingga sekarang hampir 90 % lebih pengendalian AI menggunakan vaksin lokal dan secara siginifikan hasilnya nyata dengan prevalensi kasus yang menurun.

Namun pada 2012 – 2013, muncul H5N1 dengan clade 2.3 yang menyerang itik. Ternyata kalau dilihat pada tahun yang sama di Myanmar dan Vietnam terjadi juga kasus clade 2.3. “Berarti secara global mengalami perubahan yang sama dan garis merahnya adalah begitu jelas kalau kita tidak mengikuti perkembangan virusnya akan kecolongan,” katanya.

Pada 2017, muncul di lapangan kasus AI H9N2 dengan karakteristik tidak mematikan ayam, tetapi sangat mengganggu produksi. Untuk virus yang tergolong LPAI ini tidak mudah berubah dibandingkan HPAI. “Namun, kita tidak boleh lengah, sistem peringatan dini dan pengambilan data harus terus dilakukan untuk memastikan apakah terjadi mutasi atau tidak. Untuk AI ini informasi terkini terkait virusnya jangan sampai ketinggalan. Seperti kami yang mengembangkan sistem untuk memetakan perkembangan virus di lapangan, kemudian menjadi dasar pemakaian seed-nya,” klaim Yusman.

 

Antara LPAI dan HPAI

Kasus LPAI mempunyai karakteristik tidak menimbulkan kematian yang hebat bila dibandingkan dengan HPAI. Berdasarkan pengalaman, kematian terjadi sekitar 8 – 10 % selama rentang waktu seminggu setelah itu biasanya normal kembali. “Jika melihat efek terhadap produktivitas ayam, peternak menyebut produksi 90 % turun ke 40 %, lalu naik ke 60 %. “Fenomena paling nyata dari LPAI adalah produksi signifikan turun sekitar dua minggu dan terjadi biasanya di ayam petelur masa produksi dan ayam bibit,” tutur Yusman.

Virus LPAI berbeda dengan HPAI. HPAI yang ganas sekali biasanya langsung membunuh unggas dan virusnya langsung mati. Makanya kalau dilihat fenomena H5N1 cenderung sirkulasi strainnya tidak berkembang lagi, sementara LPAI karena tidak membunuh unggas akan bersifat laten atau endemik yang terus berspekulasi di lingkungan, sehingga bisa menjadi ancaman sepanjang tahun.

Technical & Marketing Manager PT Ceva Animal Health Indonesia, Ayatullah M Natsir turut berpendapat, beda antara AI H5N1 yang merupakan HPAI dan H9N2 yang termasuk LPAI yaitu tidak ada kematian di H9N2, hanya terjadi kematian jika berkolaborasi dengan penyakit pernapasan seperti IB (Infectious Bronchitis). Pintu masuk kematian ayam, karena sulit bernapas akibat ada lendir atau keju di pernapasan ayam. Sementara ayam yang terserang H5N1 pintu masuk kematiannya, karena kerusakan organ dalam yang diakibatkan kekebalannya tidak optimal. “Untuk persamaannya, menyebabkan penurunan produksi di ayam petelur,” jelasnya.

Syamsidar menambahkan, untuk LPAI perkembangannya tidak terlalu signifikan dan masih varian yang sama yang muncul di 2017. Sedangkan untuk HPAI masih varian 2.3.2 dan pada 2018 hampir mendominasi di daerah yang mempunyai populasi unggas cukup besar seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, serta Sumatera seperti Lampung, Medan, dan Palembang. “H9N2 yang masuk golongan Y280-Like mulai muncul akhir 2016 dan marak di 2017, sedangkan di 2018 trennya cukup menurun. Sampai sekarang variannya belum berubah, masih sama dengan varian sejak kemunculan awalnya,” tegasnya.

 

Monitoring Kuantitas & Kualitas Titer

Penyakit AI masih merupakan ancaman bagi peternak unggas di Indonesia, banyak teridentifikasi AI H5N1 di breeder dan layer. Di broiler informasinya ada, hanya tidak sebanyak di layer. “Saya merasa AI H5N1 ini harus diwaspadai, karena anggapan peternak kalau ayam sudah di vaksinasi selesai sehingga kontrol dan monitoring tidak diperhatikan. Kontrol dalam hal ini dengan mengamati sukses atau tidaknya program vaksinasi AI terutama di peternak-peternak komersial untuk layer maupun broiler. Mungkin yang masih jalan untuk kontrol dan monitoring di perusahaan-perusahaan besar,” tutur Ayatullah.

Tidak berjalannya kontrol dan monitoring AI di peternakan rakyat komersial disebabkan tidak cukup dana bagi peternak dan tidak ada sumber daya manusia untuk menganalisanya. Misalnya peternak ayam petelur yang mayoritas mandiri, sehingga tidak terkontrol cukup baik. Berbeda dengan pelaku usaha breeding farm yang terintegrasi dengan perusahaan besar sehingga mempunyai fasilitas laboratorium yang baik.

Ayatullah menyampaikan, jika kandang sudah terserang H5N1, maka ada dua hal berbeda yang harus dilakukan yaitu pencegahan dan perlindungan. Pencegahan dengan menganalisa mengapa virus AI bisa masuk ke kandang yang kaitannya dengan dengan sanitasi, biosekuriti, dan lain-lain.

Sedangkan perlindungan terkait dengan kekebalan ayam yang terdiri atas dua aspek yaitu  kuantitas dan kualitas titer antibodi. Kuantitas yaitu seberapa tingkat titer yang dibentuk, diumur berapa (umur produksi, pullet atau starter) dan harus mempunyai minimum kuantitas titer. “Sekarang menjadi permasalahan, monitoring untuk kuantitas titer oleh peternak layer dan breeder kecil terkait baseline titer AI tidak semua memiliki. Saat pencegahan gagal, berarti titernya masih rendah sehingga ayamnya sakit,” ungkapnya.

Saat ini, peternak banyak fokus ke titer yang harus homolog, tetapi tidak melakukan monitoring kualitasnya seperti bagaimana perkembangan genetik virus lapangan. Sehingga bagi peternak yang tidak mempunyai kemampuan untuk monitoring titer antibodi mau tidak mau harus selalu berdiskusi dengan supplier vaksin, karena daripada tidak ada referensi sama sekali. “Untuk monitoring titer antibodi ini minimal 1,5 – 2 bulan sekali, tetapi di umur ayam kecil bisa 5 minggu sekali,” kata Ayatullah.

Mengevaluasi hasil vaksinasi dengan cek titer merupakan indikasi melihat bagaimana ayam merespon vaksinasi yang diberikan cukup atau tidak. Hanya perlu diperhatikan kecukupan nutrisi ayam tersebut, jika nutrisinya kurang seyogyanya respon yang terjadi akan tidak optimal. “Vaksin sebagai imunisasi adaptif yang diberikan pada ayam harus direspon yang tentunya membutuhkan nutrisi. Secara basis manajemen menjadi fundamental, jangan berharap vaksinasi dapat menutupi kejanggalan manajemen. Tetapi justru manajemen dapat menjadi dasar vaksinasi yang diberikan responnya lebih baik,” urai Yusman.

Jika diamati, H9N2 biasanya rentan terjadi di umur produksi dan mungkin menyerang pada ayam dara atau pullet, tetapi karena tidak menunjukkan gejala kematian yang hebat, orang tidak terlalu peduli.”Tetapi ketika masuk umur produksi, kelihatan jelas menunjukkan kejadian nyata dalam waktu yang pendek, ada perubahan fisiologis telur dengan indikasi kerabang telur tipis dan pigmentasi telur lebih pucat,” ujarnya.

 

Gejala klinis

Adapun gejala klinis HPAI H5N1, masih berupa pendarahan di lemak dan bagan reproduksinya seperti sel telur. Juga jengger berwarna kebiruan dan pendarahan di organ dalam. “Paling khas, pendarahan di ovarium,” cetus Syamsidar.

Untuk kematian akibat HPAI H5N1 agak sedikit berbeda, jika dahulu kematian akibat virus AI bisa mencapai 90%, sekarang kematian tidak terlalu tinggi karena ada efek dari program vaksinasi yang dilakukan peternak. Misalnya di kandang dengan populasi 3.000 ekor, kematian bisa mencapai 20-50 ekor per hari. “Walaupun begitu vaksinasi AI tidak bisa mencegah secara optimal, karena sudah terjadi pergeseran varian dan penurunan produksi akan terjadi,” terangnya.

Ayatullah menimpali, gejala klinis H5N1 hampir sama dengan yang dulu, hanya beberapa kasus tidak terlihat. Sekarang gejala yang nyata H5N1 adalah pendarahan di ovarium, kalau dulu ada pendarahan di paha dan sayap, kematian hanya 0,5 – 1 % cukup banyak, namun jika virusnya berakumulasi akan nyata juga seperti gejala klinis yang terdahulu. “Tingkat kematian akibat H5N1 tidak seekstrim seperti dulu karena ayamnya sudah divaksin. Pada layer misalnya, tingkat kematian sekitar 1 % perminggu,” jelasnya.

Dia mengemukakan program vaksinasi yang baik seperti di layer  yaitu 3 atau 2 kali pada umur 5, 9, dan 14 minggu  atau hanya umur 5 dan 11 minggu. Semua tergantung dari monitoring titer baik secara kualitas maupun kuantitas. Vaksinasi untuk mencapai kuantitas yang optimal tergantung aplikasinya, kalau aplikasi bagus, titer yang dihasilkan akan maksimal dan sebaliknya. Selain itu, kondisi ayam juga sangat mempengaruhi hasill vaksinasi.” Jika kondisi ayam tidak sehat, maka gertakan titer antibodi dari vaksin tidak akan optimal,” sebut Ayatullah.

Kamaluddin Zarkasie President Director PT IPB – Shigeta Animal Pharmaceutical mengutarakan pada dasarnya virus HPAI H5N1 dapat menyerang ayam pada semua umur. Maternal antibodi dapat bertahan 3 sampai 4 minggu tergantung titer antibodi pada ayam induknya.

Karena masa pemeliharaan broiler sangat pendek hanya sampai umur 32 hari, maka vaksinasi AI H5N1 tidak begitu berarti atau bahkan mungkin tidak ada. Pada layer sebaiknya vaksinasi pertama dilakukan pada umur 4 sampai 5 minggu karena pada umur tersebut kematangan organ dan sel-sel sistem pertahanan sudah matang.

Vaksin AI H5N1 hanya diperbolehkan berupa vaksin inaktif mengingat bahayanya virus HPAI H5N1. Secara umum vaksin inaktif dapat merangsang antibodi protektif pada ayam yang sistem imunnya sudah matang. Vaksinasi pertama berfungsi untuk merangsang terbentuknya sel memori selain merangsang produksi antibodi. Selanjutnya, agar menghasilkan kekebalan yang lebih solid maka dibutuhkan booster yaitu vaksinasi kedua dimana sel memori yang sudah terbentuk akan memproduksi antibodi lebih banyak. Vaksinasi kedua dilakukan 4 sampai 5 minggu setelah vaksinasi pertama.

Pada layer komersial yang divaksin dengan vaksin AI H5N1 reverse genetic bila tidak ada masalah dengan faktor lain yang mengganggu kesehatan ayam, titer antibodi akan berada pada titer protektif sampai ayam diafkir, jadi cukup dengan 2 kali vaksinasi. Sedangkan pada ayam indukan membutuhkan 3 atau 4 kali vaksinasi karena berat badannya lebih besar dari ayam komersial.

 

Bersamaan dengan Penyakit Lain

Penyakit AI sudah menyebar dibelbagai daerah dan sulit diberantas sehingga peternakan ayam sudah hidup berdampingan dengan AI H5N1. Kasus penyakit AI yang muncul pun tidak tunggal karena sewaktu mengambil isolasi virusnya ditemukan penyakit ND, IB, dan penyakit lainnya yang terjadi bersamaan. “Kadang kita tidak tahu yang mana lebih dulu menyerang ayam, karena proses dalam hal investigasinya ada kesalahan. Misalnya, mengambil sampelnya telat, padahal harus sedini mungkin untuk mengetahui faktor penyebab kematian atau penurunan produksi ayam. Tetapi kalau diambil 2 – 3 minggu setelah kejadian pertama, otomatis penyakit di kandang yang umurnya bervariasi bisa banyak,” tutur Ayatullah.

LPAI yang teridentifikasi di lapangan adalah H9N2, sejak dua tahun terakhir yang menyebabkan anjloknya penurunan produksi di ayam petelur. Virus H9N2 cenderung berkolaborasi dengan IB sebanyak 40 % dan akan lebih parah kerugian yang didapatkan peternak, apabila sistem ventilasi di kandang tidak optimal. Di Indonesia kasus penyakit paling banyak terjadi di musim hujan, karena semua penyakit tidak hanya AI tahan di kondisi lembab dan temperatur rendah. Tetapi kasus penyakit terjadi di sepanjang tahun dan bukan berarti musim kemarau tidak ada penyakit.

Yusman sependapat, fenomena H9N2 tidak bisa berdiri sendiri, karena sangat mudah berkolaborasi dengan beberapa penyakit respirasi lain. Misalnya IB akan memperparah kondisi kondisi penurunan produksinya, namun jika dengan ND manifestasinya akan lebih parah. “Tidak menutup kemungkinan kalau ada dua virus yang bersirkulasi dalam waktu yang sama, contohnya ND dan H9N2 yang mudah berkolaborasi.”

Dibutuhkan ketepatan diagnostik supaya minimal bisa membedakan dengan penyakit-penyakit lain, seperti ND yang mempunyai peranan penting dalam penurunan produksi juga. Kalau hanya berdasarkan asumsi dan tanda klinis umum mudah disamarkan. “Membawa sampel ke laboratorium untuk membantu mempertegas diagnostik dan pengalaman dari seorang Technical Service (TS) cukup menentukan,” tandasnya.

Yusman mengingatkan ketepatan diagnostik harus diuji dengan konfirmasi laboratorium seperti bisa melalui uji serologis dan uji biologi molekuler sehingga lebih nyata, karena sifatnya uji kualitatif. “Kita harus betul-betul mendeteksi ada atau tidaknya patogen, tanpa itu akan sulit. Jika melakukan rapid test di lapangan bisa menjadi peringatan dini, tetapi masih bersifat matriks. Ketepatan diagnostik yang paling utama dan semua harus berdasarkan data yang validitasnya bisa dipertanggungjawabkan,” paparnya.

 

Biosekuriti dan Vaksinasi

Jika sudah muncul gejala klinis apalagi penurunan produksi itu artinya telah terjadi infeksi sehingga tidak ada tindakan kuratif yang utama. Apalagi virus AI tidak bisa diobati dengan antibiotik. “Yang hanya bisa dilakukan yaitu peningkatan biosekuriti dengan tindakan isolasi terhadap waktu dan material biologis yaitu bisa dari kandang tercemar ke kandang yang masih sehat,” kata Yusman.

Selain itu, membatasi lalu lintas orang dan barang dari dan ke kandang yang terinfeksi. Untuk kandang lain yang terdapat ayam berbeda umur bisa dipertimbangkan tindakan yang memperkuat imunitas seperti vaksinasi dan sebagainya.” Itu adalah pilihan-pilihan. Tetapi harus diingat bahwa pada ayam sudah terinfeksi, kita tidak bisa melakukan kuratif hanya suportif dengan peningkatan kekuatan imunitas seperti pemberian multivitamin dan pengurangan penularan di lingkungan,” ujarnya.

Untuk program vaksinasi harus disesuaikan tantangan di lapangan dan mempertimbangkan tindakan lainnya jika tantangannya tinggi. Biasanya program vaksinasi untuk AI mengikuti pedoman dari FAO yaitu minimal tiga kali sebelum produksi dan dua kali setelah produksi.

Yusman menekankan, vaksinasi bukan kompensasi terhadap manajemen yang buruk. Sama seperti asuransi baru mulai manfaatnya ketika ada kejadian, padahal bayar preminya sudah duluan. “Artinya vaksinasi harus diatur sedemikian rupa dengan mempersiapkan suatu sistem tata laksana yang cocok dengan lingkungan, karena setiap lingkungan akan berbeda tantangannya. Terpenting adalah membuat kondisi ayam senyaman mungkin yang meliputi kecukupan nutrisi, udara, dan air yang bersih. Itu merupakan modal dasar bagi ayam berkembang dengan baik,” urainya.

Kamaluddin mengimbuhkan pilihan upaya pencegahan agar tidak terkena penyakit AI adalah penerapan biosekuriti dan vaksinasi. Biosekuriti adalah sesuatu yang mudah untuk diucapkan, tetapi keberhasilannya menuntut kedisiplinan yang konsisten. Demikian juga halnya dengan vaksinasi. Vaksinasi harus dilakukan dengan tepat mulai tepat waktu, tepat cara, dan tepat vaksinnya.

Ia menekankan, bila kandang  positif AI dan terjadi di breeding farm tindakan yang ideal adalah ayam dimusnahkan atau diafkir serentak. Lakukan evaluasi sistem biosekuriti secara menyeluruh, fokus pada titik-titik kritis dalam rangkaian biosekuriti dan lakukan tindakan perbaikan disertai peningkatan disiplin seluruh pegawai. Terhadap populasi ayam yang tidak terjangkit lakukan pemeriksaan titer antibodi, bila titer di bawah level protektif segera direvaksinasi. Pada peternakan ayam komersial langkah-langkah yang dilakukan pada prinsipnya sama dengan di breeding farm hanya tidak dilakukan pengafkiran cukup dengan revaksinasi. (Ramdan, Yopi, Nova)

 

Sumber: Trobos Edisi 232/ Tahun XX/ Januari 2019

Tinggalkan Balasan

Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.

HPAI vs LPAI

by Patricia Noreva time to read: 11 min
0