Vets for a Better Life
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies
Thursday, 28 March 2024

Cara Penularan, Penanggulangan dan Pengendalian Antraks

Kamis, 26 Mei 2016

Jakarta – Penanganan kasus anthraks yang tidak tepat dikhawatirkan malah menjadi penyebab terhadap penyebaran agen penyebab penyakit. Antraks adalah salah satu penyakit yang masuk dalam daftar penyakit hewan menular strategis zoonosis (berpotensi menular ke manusia) dan merupakan penyakit endemis di beberapa wilayah Indonesia.

Sumber penularan antraks adalah hewan mati, produk hewan (wol, daging) dan material tercemar (kandang, lingkungan dan peralatan). Akibat kurangnya pengontrolan terhadap sumber penularan ini, ditengarai kasus meningkat setiap tahun di Sulawesi Selatan (Gowa,  Sidrap, Makassar dan, Pinrang).

Hal itu diungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) Kajian Kebijakan Nasional Pengendalian dan Penanggulangan Antraks pada Ternak di Indonesia yang digelar Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jakarta (23/5).

Rumusan FGD yang dikeluarkan Balitbangtan menyebutkan infeksi antraks pada hewan hampir selalu melalui oral, seperti melalui pakan. Tetapi jika muncul kasus biasanya sifatnya tidak merata, atau spot-spot. Pada musim penghujan, perkembangan kasus mengikuti aliran air yang menuju lokasi pakan atau gembalaan, sehingga ternak yang makan di lokasi itu akan terpapar antraks.

 

Vaksinasi

Vaksinasi adalah cara yang paling tepat untuk pencegahan dan harus rutin dilakukan. Perlu disediakan vaksin dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan daerah endemis dan area sekitarnya. Agar kemunculan kembali antraks pada masa mendatang dapat dicegah.

Evaluasi atas vaksinasi antraks telah menunjukkan vaksinasi mampu mencegah munculnya kembali kasus anthraks. Wilayah-wilayah endemis anthraks sebenarnya wajib mendapatkan vaksinasi antraks secara rutin. Sayangnya coverage vaksinasi antraks saat ini masih sangat rendah. Ternak-ternak yang telah divaksin seharusnya diberi chip untuk memudahkan monitoring.

Hasil pelaksanaan vaksinasi (pasca vasinasi) perlu dilakukan monitoring, namun terkendala dengan ketersediaan antigen antraks. Dalam hal ini Balai Besar Penelitian Veteriner menyatakan diri siap membantu untuk penyiapan antigen untuk ELISA, serum positif dan cut-off-nya.

 

Penanganan

SOP penanganan antraks meliputi radius pelaksanaan vaksinasi, cara mengubur bangkai, pembakaran bangkai dll. Kuburan hewan mati antraks dalamnya 2-3 meter. Sedangkan cara pembakaran yang baik adalah dengan onsite incinerator (mobile) selama 3-4 jam, sampai menjadi abu. Disarankan mobile incinerator perlu diusahakan di daerah endemis antraks.

Jika tidak ada mobile incinerator, bisa dibakar dengan kayu bakar sebanyak 2 ton ditambah minyak tanah untuk menjadi abu. Sementara itu untuk dekontaminasi tanah diperlukan formalin 10% sejumlah 50 liter per meter persegi dalam waktu 1 jam. Untuk bangkai hewan, pemakain formalin tidak disiram ke seluruh tubuh tetapi kebagian lubang-lubang tubuh hewan. Biasanya hewan mati karena antraks terjadi leleran / perdarahan dari lubang-lubang tubuhnya.

Pilihan menguburkan pun ada tatacaranya. Tempat penguburan wajib diberi tanda, supaya identitas lokasi tidak sampai hilang dan disarankan ada data GPSnya, hal ini penting untuk antisipasi pemanfaatan lahan tersebut di masa mendatang khususnya untuk kegiatan peternakan. Hal ini dikarenakan spora antraks mampu bertahan di tanah berdasarkan penelitian terakhir di Afrika sampai 250 tahun.

 

Pengendalian

Pengendalian penyebaran wabah antraks dilakukan melalui pengawasan lalu lintas ternak. Ternak diijinkan keluar atau masuk suatu daerah harus berasal dari daerah yang tidak ada laporan kasus antraks dalam 20 hari terakhir. Ternak harus memiliki Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH), dan tidak ada gejala klinis pada hari pengiriman.

Untuk ternak yang divaksinasi boleh melintas setelah minimal 20 hari pasca vaksinasi dan maksimal 6 bulan pasca vaksinasi. Sampai saat ini sayangnya tidak ada pemeriksaan laboratorium untuk antraks pada hewan hidup secara scientific base.

Pemberantasan dan pengendalian antraks harus dilakukan lintas institusi dan sektor. Perlu koordinasi antara Kementerian Kesehatan untuk penyediaan obat-obatan, Kementerian Pertanian (penanganan disposal), dan polisi untuk penegakan hukum dan membantu pengawasan lalulintas ternak.

Pedoman koordinasi Kejadian Luar Biasa (KLB) antraks sedang dibuat oleh Komnas Zoonosis. Masih munculnya penyakit antraks dikarenakan belum ada koordinasi yang matang, seperti penutupan wilayah tidak langsung dilakukan. Komitmen pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat penting tetapi peran masyarakat juga harus ditingkatkan dengan pemberdayaan.

Saat ini 11 provinsi di Indonesia telah tertular antraks sehingga ditetapkan sebagai daerah endemis yaitu DKI Jakarta (Jakarta Selatan), Jawa Barat (Kota Bogor, Kab. Bogor, Kota Depok), Jawa Tengah (Kota Semarang, Kab. Boyolali), Nusa Tengara Barat (Sumbawa, Bima), Nusa Tenggara Timur (Sikka, Ende), Sumatra Barat, Jambi, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan (Makassar, Wajo, Gowa, Maros), Sulawesi Utara dan Papua.

Pada 2016 muncul kembali wabah antraks di Desa Malimpung, Kecamatan Patampanua, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Kasus meluas hingga Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Wabah antraks pada sapi terkini (April 2016) dilaporkan di Desa Ulapato A Kecamatan Telaga, Desa Lupoyo, dan Pentadio Barat Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone-Bolango Provinsi Gorontalo.

Kedua daerah itu sebelumnya belum pernah ada laporan kasus antraks. Karena awamnya masyarakat terhadap penyakit ini, maka kemudian diikuti dengan penularan antraks pada manusia sehingga menjadi kejadian luar biasa (KLB). (Istimewa/Nuruddin)

 

Sumber: Trobos

Tinggalkan Balasan

Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.

Cara Penularan, Penanggulangan dan Pengendalian Antraks

by Civas time to read: 3 min
0