Rabies adalah salah satu penyakit penting berdasarkan aspek sosial-ekonomi dan aspek kesehatan masyarakat. Kebijakan Pemerintah dalam memberantas Rabies dilaksanakan dengan alasan utama untuk perlindungan kesehatan manusia dan mencegah penyebarannya ke hewan domestik dan satwa liar.
Dalam mencapai tujuan itu Pemerintah mengatur dengan melaksanakan strategi dibawah ini (Departemen Pertanian, 2007):
Adapun langkah-langkah pencegahan rabies dapat dilihat dibawah ini:
Tindakan terhadap Korban Gigitan atau Dijilat oleh Hewan Tersangka Rabies
Tindakan pada hewan tersangka rabies atau menderita rabies, petugas berwenang (Dinas setempat) harus melakukan penangkapan dan melakukan eliminasi pada hewan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku (jika terinfeksi Rabies).
Tindakan Terhadap Hewan yang Mengigit (Departemen Pertanian, 2007)Hewan | Tindakan |
---|---|
Hewan yang di vaksin Menggigit/Mencakar |
|
Hewan yang di vaksin kontak dengan HPR |
|
Hewan yang tidak di vaksin Menggigit/Mencakar berpemilik |
|
Hewan yang tidak di vaksin Menggigit/Mencakar tidak berpemilik | Anjing dieliminasi dan diambil spesimen untuk peneguhan diagnosa |
Apabila setelah dilakukan observasi selama lebih kurang dua minggu ternyata hewan itu masih hidup, maka hewan tersangka diserahkan kembali kepada pemiliknya setelah divaksinasi, atau dapat dilakukan eliminasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku apabila tidak ada pemilikinya.
Pelaporan RabiesVaksinasi Rabies adalah salah satu tindakan pencegahan dalam proses kontrol dan pemberantasan Rabies. Vaksinasi adalah tindakan yang dianggap paling efektif dalam melaksanakan kontrol dan pemberantasan Rabies serta menurunkan tingkat kasus gigitan oleh HPR kepada manusia.
Vaksin rabies telah dikenal sejak tahun 1879 dibuat pertama kali oleh Victor Galtier. Selanjutnya vaksin tersebut dikembangkan oleh Louis Pasteur pada tahun 1880 dalam studinya untuk mencegah penularan Rabies kepada manusia. Vaksin ini dikembangkan dengan metode yang cukup sederhana jika dibandingkan dengan produksi pada saat ini yaitu dengan mengambil virus dari jaringan syaraf pada tulang belakang hewan terinfeksi Rabies kemudian diberikan melalui inokulasi intracerebral kepada kelinci secara serial dalam waktu spesifik tertentu. Kemudian virus diambil dan disuntikkan sebagai vaksin ke anjing dalam beberapa waktu spesifik tertentu dan di challenge dengan Rabies.
Pasteur pada percobaan ini menemukan bahwa inokulasi intracerebral virus secara serial kepada monyet dengan virus yang berasal dari anjing yang terinfeksi. Masa Inkubasi akan meningkat dan virulensi dari virus berkurang atau menurun. Dengan berkembangnya cara pengembangbiakan virus dengan biakan sel, Naguchi pada tahun 1913 dan Levaditi pada tahun 1914 berhasil membiakan virus rabies secara in vitro pada biakan gel.
Produksi vaksin beberapa decade setelah metode pengembangan yang ditemukan oleh Pasteur adalah metode Nerve Tissue Origin (NTO) vaksin yang dilakukan inaktivasi oleh phenol, tetapi vaksinasi dengan menggunakan Vaksin NTO inaktif ini juga mengalami post vaksinasi yang cukup siginifikan, yaitu gejala syaraf hingga kematian. Kemudian berbagai metode pengembangan vaksin pun berkembang hingga sekarang, seperti Modified Live Virus Vaccines dan Killed Cell Culture Rabies Vaccines (Briggs et al., 2002).
Meskipun efikasi dan keamanan vaksin dengan metode baru berkembanag tetapi penggunaan metode NTO tetap banyak dipakai pada Negara-negara Asia dan masih memproduksi vaksin-vaksin ini sehingga korban membutuhkan kunjungan beberapa kali ke rumah sakit dan mempunyai efek samping yang cukup signifikan.
Modified Live Virus Vaccines (MLV)Vaksin Rabies aktif (Live Vaccines) dihasilkan dari virus Flury and Kelev strain yang dikembang dalam sel telur bertunas berembrio (CEO=Chicken Embryonated Eggs), The Street Alabama Dufferin (SAD) yand dikembangkan dalam jaringan ginjal hamster dan Evelyn-Rokitnicki-Abelseth (ERA) strain yang menggunakan ginjal babi.
Prosedur diatas adalah prosedur yang sering digunakan untuk memproduksi Rabies MLV. Berbagai metode pun berkembang dalam memproduksi MLV vaksin tetapi strain yang dikembangkan dengan metode CEO, ERA dan SAD adalah MLV vaksin strain yang digunakan secara luas di Asia dan Afrika dan juga sebagain dari Eropa (Briggs et al., 2002). Meskipun penggunaan MLV masih sering digunakan tetapi penggunaan vaksin inaktif (killed vaksin) juga telah berkembang diberbagai Negara yang masih menerapkan MLV vaksin.
Killed Cell Culture Rabies VaccinesVaksin inakfit memerlukan jumlah virus yang sangat banyak. Hal ini diatasi dengan pengembangan metode baru yaitu pengembang biakan virus dalam jaringan otak dari kelinci, ginjal anak hamster, sel otak marmot, SMB dan CEO dan juga substraat yang lain oleh strain-strain virus seperti CVS-11, PM-NIL 2 dan PV-BHK 2.
Proses inaktivasi virus yang dikembangkan dilakukan dengan menggunakan sinar UV, Agen inaktivasi β-propiolactone (BPL), acethyllethyleneimine dan amines lainnya. Penggunaan formadehyd dan phenol sudah tidak direkomendasikan. Yang paling sering digunakan adalah agen inaktivasi BPL. Jika telah di inaktivasi kemudian adjuvant akan ditambahkan untuk meningkatakan respon imun dari inang. Adjuvant yang paling sering digunakan adalah saponin, aluminium hidroksida, alumunium phosphate dan minyak adjuvant (Briggs et al., 2002)
Jika dilihat dari tipe pemberian vaksin dapat dibagi menjadi dua jenis:
Di Indonesia, vaksin rabies untuk hewan telah diproduksi sejak tahun 1967 oleh Pusat Veterinaria Farma (Pusvetma) Surabaya yang pada saat itu masih bernama lembaga virologi kehewanan (LVK), menggunakan fixed virus rabies. Sebagai media untuk membiakkan virus rabies digunakan otak kambing/domba umur 3 bulan. Otak yang ditumbuhi virus digerus, dibuat suspensi kemudian diinaktifkan dengan phenol 0,5%. Vaksin jenis ini disebut vaksin rabies sampel yang selanjutnya diberi nama paten Rasivet Aplikasi vaksin tersebut melalui suntikan dibawah kulit dengan dosis 4 ml. Masa kebal vaksin rasivet relatif pendek yaitu 6 bulan.
Pada tahun 1983, metode baru dikembangkan. Metode baru ini menggunakan biakan sel sebagai media pertumbuhan virus rabies. Virus yang digunakan yaitu virus rabies galar Pastuer yang dibiakan pada kultur sel ginjal anak hamster (BHK 21), dengan bahan inaktif berupa 2-Bromo Ethylamin (BEA). Sel BHK 21 seperti yang dinyatakan Bear (1975) merupakan sel yang paling peka untuk pembiakan virus rabies.
Setelah melalui rangkaian percobaan, pada tahun 1984, Pusvetma mengeluarkan vaksin rabies yang menggunakan biakan sel sebagai tempat pembiakan virus. Vaksin baru ini diberi nama “Rabivet”.
Vaksin Rabivet mempunyai kelebihan dibandingkan dengan vaksin sebelumnya, rasivet yaitu:
Tindakan vaksinasi dan pemberian serum anti rabies sebagai tindakan post exposure treatment (PET) telah meningkatkan keberhasilan pengobatan bagi korban terutama manusia yang terkena gigitan dan berisiko.
[section_title title=VI. Regulasi]Peraturan perundangan yang menjadi landasan program pemberantasan Rabies antara lain:
Secara global tidak ada landasan hukum atau regulasi yang mengatur tentang Pencegahan, pengendalian pemberantasan Rabies, tetapi terdapat Pedoman atau referensi yang bersifat internasional. Referensi ini dikeluarkan oleh The World Organisation for Animal Health atau lebih dikenal dengan sebutan Office International des Epizooties (OIE). OIE merupakan organisasi antar pemerintah di dunia (mempunyai anggota 176 negara dan territorial) dengan maksud untuk melawan penyakit hewan pada level global.
OIE mengeluarkan referensi dan pedoman (manual) yang dijadikan referensi bagi negara-negara angoota WTO (termasuk Indonesia) dalam melakukan perdagangan internasional berkaitan dengan hewan dan produk hewan (termasuk ikan).
Adapun referensi atau manual yang bersifat Internasional mengenai Rabies terdapat pada Terestrial Animal Health Code dari OIE (TAHC OIE). TAHC OIE adalah referensi untuk negara-negara anggota WTO untuk memastikan keamanan dalam perdagangan internasional untuk hewan yang berada didarat (terestrial animal) dan produk-produknya (termasuk produk peternakan dan produk-produk lainnya). Code atau pedoman ini dibuat dengan memberikan arahan tentang tindakan-tindakan berkaitan dengan kesehatan untuk digunakan oleh lembaga otoritas veternier suatu negara dalam melaksanakan eksport dan import dengan negara-negara anggota WTO lainnya dengan maksud untuk menghindari transfer agen pathogen kepada hewan atau manusia.
Adapun mengenai Rabies secara detail pada TAHC OIE tahun 2009 di sebutkan pada Volume 2 tentang Recommendations applicable to OIE Listed diseases and other diseases of importance to international trade pada Section 8 untuk Multispecies Diseases Chapter 8.10.
[section_title title=VII. Daftar PustakaRabies adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus Rabies. Penyakit ini bersifat zoonotik, yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Rabies disebut juga penyakit anjing gila
Menurut bahasa, Rabies berasal dari bahasa latin “rabere” yang mempunyai arti marah atau dengan kata lain mempunyai sifat pemarah. ”rabere” juga kemungkinan berasal dari bahasa terdahulu yaitu bahasa Sanskrit “rabhas” yang bermakna kekerasan. Orang Yunani meng-adopsi kata “Lyssa” yang juga berarti “kegilaan”. Jika dilihat dari sisi bahasa tidak akan susah dimengerti bahwa semenjak beberapa ribuan tahun yang lalu Rabies merupakan simbol bagi penyakit yang menyerang anjing dan membuat anjing seperti gila (”mad Dog” )(Wilkinson, 2002).
Menurut catatan sejarah yang ditemukan, Rabies telah dikenal 2300 SM sejak zaman Mesopotomia. Legal dokumen pada zaman Mesopotomia menyatakan bahwa setiap orang yang memiliki anjing yang bersifat ” viscious”/ Ganas dan mengakibatkan gigitan pada orang lain akan diberikan denda (Wilkinson, 2002). Pada abad ke 9 Inggris pernah mengalami masalah Rabies. Di Inggris Rabies tidak hanya menular pada Anjing tetapi juga kucing dan Rubah (red Fox). Berbagai aturan terkait dengan pemeberantasan Rabies di Inggirs oun dilakukan antara lain: Metropolitan Street Act (1867), Rabies Order (1887) dan Act of Parliament (1897)(Majalah Poultry Indonesia, 2010).
Di Indonesia, pertama kali dilaporkan secara resmi oleh Esser di Jawa Barat, tahun 1884. Kemudian oleh Penning pada anjing pada tahun 1889 dan oleh E.V. de Haan pada manusia (1894). Penyebaran Rabies di Indonesia bermula dari tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi selatan sebelum perang Dunia ke-2 meletus. Pemerintahan Hindia Belanda telah membuat peraturan terkait rabies sejak tahun 1926 dengan dikeluarkannya Hondsdolsheid Ordonansi Nomor 451 dan 452, yang juga diperkuat oleh Staatsblad 1928 Nomor 180. Selanjutnya selama Indonesia dikuasai oleh Jepang situasi daerah tertular Rabies tidak diketahui secara pasti.
Setalah tahun 1945 dalam kurun waktu kurang dari 35 tahun (1945-1980) setelah merdeka Rabies menyebar hampir ke 12 provinsi lain, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sulawesi Utara (1956), Sumatera Selatan (1959), DI. Aceh (1970), Lampung (1969), Jambi dan Yogyakarta (1971), DKI Jaya dan Bengkulu (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), dan Kalimantan Tengah (1978). Dan pada era 1990-an, provinsi di Indonesia yang masih bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, dan Papua (Departemen Pertanian, 2007).
Peraturan terkait Rabies pun telah banyak dibuat setelah warisan dari pemeriantahn kolonial dengan dikeluarkannya SK Bersama Tiga Menteri (Pertanian, Kesehatan, dan Dalam Negeri) pada tahun 1978 dan Pedoman Khusus dari Menteri Pertanian pada tahun 1982.
Rabies saat ini masih dinyatakan bebas di beberapa pulau-pulau kecil Propinsi kawasan timur Indoensia dan pulau –pulau sekitar Sumatera kecuali Nias yang dinyatakan terjangkit Rabies di tahun 2010.
Kerugian ekonomi Rabies secara nyata di Indonesia sejauh ini tidak ada yang meng-dokumentasikan secara ilmiah dan tidak ada laporan lengkap tentang dampak ekonomi penyakit Rabies ini. Bahkan secara global dokumentasi (jurnal penelitian)tentang damnpak ekonomi terhadap penyakit Rabies juga sedikit.
Pada umumnya beberapa dokumentasi ilmiah menyebutkan kerugian ekonomi untuk penyakit Rabies disebabkan oleh beban dari penyakit tersebut yaitu pembiayaan yang disebabkan karena adanya suatu penyakit tersebut seperti biaya rumah sakit, biaya obat-obatan termasuk biaya tidak melakukan aktivitas normal. Selain itu kerugian ekonomi lainya yang juga diperhitungkan adalah kerugian akibat biaya upaya pengendalian dan pemberantasan, seperti vaksinasi dan eliminasi selektif(Sterner and Smith, 2006).
Perhitungan ekonomi penyakit Rabies secara umunya dihitung sebagai kerugian ekonomi per kapita. Pada umumnya yang menjadi beban dari penyakit ini adalah penggunaan postexposure prophylaxis (PEP) untuk korban hasil gigitan, penggunaan vaksinasi secara lengkap dan biaya langsung terkait medis sekitar US$ 1.707 per kapita (menurut biaya tahun 1995) tanpa melihat beban atau biaya akibat kehilangtan produktivitas akibat penyakit, ketidakmampuan melakukan aktivitas normal dsb. Selain itu dampak ekonomi lainnya adalah pembiayaan akibat upaya pengendalian dan pemberantasan (Sterner and Smith, 2006) selain dampak ekonomi sosial dan budaya lainnya (misalnya pariwisata, perdagangan, dsb).