EDISI 5
Selasa, 8 Mei 2012
EDITORIAL - Animal Welfare for Human Welfare
GALERI - Animal Welfare versus Konsumerisme
OPINI - Perkembangan Konsep Kesejahteraan Hewan
ARTIKEL - Kesejahteraan Hewan (Animal Welfare)
FOKUS - Membumikan Animal Welfaredi Indonesia
EDITORIAL
Animal Welfare for Human Welfare
Oleh: Andri Jatikusumah
Kedekatan manusia dengan hewan telah dimulai sejak ribuan tahun yang lalu, sebelum sejarah mulai ditulis dan manusia mulai menggambar kedekatannya dalam dinding gua sebagai bentuk gambaran kekariban manusia dengan hewan. Kedekatan antara manusia dan hewan pun masih terlihat sampai dengan saat ini. Hewan telah menjadi bagian yang dekat dengan manusia. Lihat saja simbol-simbol yang digambarkan dalam bentuk hewan, mulai dari simbol kenegaraan, simbol kesucian bahkan simbol kesialan.
Secara disadari atau tidak, hewan telah masuk kedalam nilai-nilai sosial, kultur, religi dan dalam kehidupan kita sehari-hari. Edisi kali ini CIVAS mencoba mengangkat tema Animal Welfare (Kesejahteraan Hewan (Kesrawan)) sebagai salah satu bentuk perhatian CIVAS terhadap penegakan praktek Kesrawan di Indonesia ;
Kesrawan merupakan suatu gagasan yang dimulai dari Abad ke-18. Hal ini muncul sebagai bentuk kedekatan manusia dengan hewan sehingga timbul dalam sebuah pertanyaan mendasar yang muncul dalam benak dan pikiran manusia? Hewan dianggap tidak mempunyai akal dan tidak dapat berpikir, akan tetapi apakah hewan bisa merasakan penderitaan? Manusia dengan segala daya pikir dan akalnya dan juga dianggap memiliki nurani apakah tidak bisa memberikan simpati kepada mereka?
Kemudian pada awal abad ke-19 dimulailah dirintisnya gagasan pemikiran tersebut dalam bentuk legislasi di Amerika Utara dan Eropa tentang kesejahteraan hewan. Kemudian dunia internasional pada tahun 1979 (dimotori oleh Negara Amerika Utara dan Eropa) mencoba mengatur aspek kesejahteraan hewan yang mengacu pada lima prinsip (five freedoms) yaitu (1) bebas dari rasa lapar, haus dan malnutrisi; (2) bebas dari rasa takut dan tertekan; (3) bebas dari penderitaan fisik dan panas; (4) bebas dari rasa sakit, cedera dan penyakit; dan (5) bebas mengekspresikan perilaku normal.
Seiring dengan berjalannya waktu, peradaban-pun berjalan dan kemajuan Negara-negara pun meningkat. Akan tetapi secara fakta bahwa praktek kesejahteraan hewan di Negara maju dan Negara berkembang masih terdapat ruang yang cukup lebar.
Di Indonesia dan Negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, Ternak merupakan tabungan masyarakat. Sebagian besar ternak dipelihara di pedesaan dengan ladang penggembalaan terbatas. Kekayaan budaya dan tradisi agama tidak menghindarkan ternak dari tindakan kekerasan. Setiap budaya juga berbeda dalam menetapkan prioritas prinsip kesejahteraan hewan, perlakuan manusia terhadap ternak dipengaruhi kepercayaan dan nilai-nilai budaya masing-masing. Kesejahteraan hewan tidak terbatas pada hewan ternak akan tetapi juga masuk kedalam satwa-satwa liar dan satwa kesayangan. Isu-isu yang menyangkut satwa-satwa liar juga menjadi suatu topik yang sering dibicarakan.
Isu kesejahteraan hewan sering kali dilihat sebagai suatu isu yang berdiri sendiri tanpa melihat keterkaitan dengan hal lain. Akan tetapi jika dilihat lebih jauh, kesejahteraan hewan juga merupakan suatu isu yang multi aspek dan sangat berkaitan dengan kesehatan hewan, sosial, kultur, ekonomi bahkan praktek religi. Sering tidak disadari penegakan kesrawan merupakan suatu tindakan dalam pencapaian kesejahteraan manusia, sebut saja pengendalian Rabies yang selalu diidentifikasikan dengan eliminasi populasi anjing, Telah banyak riset mengatakan hal tersebut bukanlah suatu bentuk jalan keluar dalam pengendalian Rabies, contoh lain adalah perlakukan yang kasar terhadap ternak-ternak di RPH, secara tidak sadar para pemotong telah menurunkan kualitas daging dari ternak itu sendiri.
Mengingat semakin bertumbuhnya isu ini di masyarakat, isu kesejahteraan hewan tentunya harus ditangani secara profesional dan berlandaskan keilmuan. Oleh karena sifat alamiahnya yang multi-aspek maka sangatlah esensial untuk mengikutsertakan seluruh pihak-pihak yang terkait, memastikan sensibilitas budaya dan agama ikut dipertimbangkan, dan begitu juga isu-isu ekonomi dalam menangani isu-isu kesejahteraan hewan.
Kembali ke Atas | Galeri | Opini | Artikel | Fokus
GALERI
Animal Welfare versus Konsumerisme
Oleh: Marcellus Adi C.T.R.
(Direktur ALeRT: Aliansi Lestari Rimba Terpadu, LSM yang bekerja di Lampung dalam bidang konservasi satwa liar dan habitatnya)
Istilah animal welfare atau ‘kesejahteraan hewan’ bagi kalangan dokter hewan tentu sudah tidak asing lagi. Namun mengerti dengan hal itu lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari adalah perkara berbeda. Jangankan bagi kalangan diluar dunia veteriner, bagi para pekerja veteriner baik dokter hewan maupun paravet diyakini masih belum semuanya mau memperjuangkan kesejahteraan hewan.
Hari-hari ini masih belum hilang dari ingatan kehebohan protes pemerintah dan masyarakat Australia tentang perlakuan penyembelihan sapi-sapi yang didatangkan dari Australia. Saat ini, bila kita memperhatikan fenomena disepanjang jalan, terlihat ayam-ayam yang masih hidup diikat tergantung berjejalan di sepeda motor pedagang ayam. Atau kambing yang dipaksa berdempetan di mobil pickup, bahkan ada yang mengikatnya di sepeda motor. Atau yang terjadi pada pengangkutan ternak baik ayam, kambing maupun sapi antar kota atau pulau. Semua hewan itu ditempatkan berjejal-jejal di atas truk, kepanasan (walau mungkin sering disiram) dan kehujanan, entah diberi makan atau tidak. Bila memperhatikan foto di bawah ini sulit dipercaya sapi-sapi itu sempat diberi makan sepanjang perjalanan (karena kepalanya sulit digerakkan).
Figure 1 Pengangkutan sapi potong. Sumber foto: SAC (www.sac-ina.org)
Lalu, bagaimana dengan hewan kesayangan? Mungkin sebagian anjing dan kucing lumayan baik terpelihara dengan kebebasan mereka berlarian di pekarangan rumah, walau kadang mereka dimasukkan kerangkeng, atau diikat ketika diajak berjalan-jalan. Tapi bagaimana dengan burung-burung, ikan, kelinci, penyu, reptil atau hewan eksotik lainnya yang hidup dalam sangkar untuk kesenangan pemiliknya. Sudahkan kesejahteraan mereka terpenuhi?
Bagaimana dengan satwa liar? Nampaknya mereka ini yang paling parah. Kalau satwa ternak mungkin hanya sengsara ketika diangkut dan disembelih, namun dapat cukup terperhatikan ketika dipelihara. Walau masih banyak pula yang memaksakan memelihara hewan potong sebanyak-banyaknya dalam kandang sempit dengan sengaja agar tidak banyak bergerak sehingga cepat gemuk. Sedang hewan kesayangan lebih terperhatikan lagi ketika dipelihara dan mereka tidak disembelih. Tapi coba kita lihat pola-pola pemeliharaan satwa liar di taman-taman satwa. Sudahkah kita benar-benar memperhatikan kesejahteraan mereka?
Belum hilang pula dari ingatan, protes yang dilakukan sekelompok orang yang didominasi orang asing di bundaran Hotel Indonesia, atas perlakuan terhadap monyet-monyet dalam hiburan topeng monyet yang dijajakan di perempatan atau pinggir jalan utama di kota-kota, atau yang masuk ke perumahan-perumahan. Demikian juga protes terhadap para penjual burung liar di pasar-pasar burung, dimana sering dilakukan penangkapan oleh petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat, namun pencurian burung liar di habitatnya ternyata tidak pernah berhenti. Lalu kasus yang tidak selesai-selesai di kebun binatang Surabaya yang berawal dari kematian belasan satwa langka akibat mis-manajemen.
Bayangkan seekor gajah, kuda nil, badak, jerapah, singa, orang utan, harimau dan mamalia lainnya, juga burung-burung liar, yang di alam aslinya memerlukan lahan hidup yang luas, ada perilaku sosial dan perburuan mangsa, ada variasi jenis makanan bagi herbivora, pola persaingan untuk mendapatkan pasangan unggul demi masa depan keturunan dan populasi, interaksi dalam ekosistem, dan masih banyak lagi dinamika kehidupan liar di alam. Dapatkah semua naluri alami itu terpenuhi di kebun-kebun binatang atau taman safari atau taman satwa lainnya? Pernahkan itu dianggap penting sebagai bagian dari perjuangan memenuhi apa yang disebut kesejahteraan hewan? Apakah kita memang harus mengorbankan kesejahteraan mereka asalkan manusia mendapatkan hiburan? Para pengelola taman satwa sering berkilah itu penting untuk pendidikan dan penelitian, namun benarkah pernah dianalisa efektifitas pendidikan dan penelitian yang didapat dibanding dampak kehancuran yang ditimbulkan sebagai efek pengambilan satwa liar dari habitatnya untuk taman satwa? Bila saat ini kita disodori sederet pertanyaan itu, nampaknya kebingunganlah yang ada dibenak kita.
Apalagi untuk mereka yang jauh dari dunia perbincangan hewan sejahtera seperti para penjaja topeng monyet atau pedagang burung liar, bahkan para pengusaha, pejabat pemerintah dan politisi pada umumnya. Buat mereka jangankan bicara kesejahteraan hewan, kesejahteraan manusia saja jauh panggang dari api. Artinya mereka memang memandang hewan lebih rendah dari manusia; tidak bisa didahulukan sebelum atau bahkan bersamaan dengan manusia. Sebuah pola pikir yang harus diperbaiki.
Sekarang menjadi benar-benar penting kita kembali ke definisi awal apa itu yang disebut kesejahteraan hewan dan mengapa harus ada terminologi itu.
Sejarah tentang perhatian terhadap Kesejahteraan Hewan banyak ditulis di artikel-artikel di internet. Googling saja animal welfare maka jutaan artikel akan muncul. Banyak pula organisasi non pemerintah yang telah mengkhususkan untuk itu. Di Indonesia ada SAC (Srikandi Animal Care), BAWA (Bali Animal Welfare Association), Profauna dan lain-lain. Di internasional ada IFAW, WSPA, WAN, FAWC, HSI dan bahkan yang ekstrim seperti PETA. Beberapa negara bahkan telah memberlakukan undang-undang dan peraturan terkait hak-hak asasi hewan (animal rights), dimana mereka yang melakukan penyiksaan terhadap hewan mendapat sanksi yang tidak ringan.
Semuanya merujuk pada prinsip bahwa hewan adalah mahluk hidup yang ada di bumi, yang punya hak untuk hidup dengan 5 kebebasan, yaitu:
- Bebas dari rasa lapar dan haus (tersedia cukup pakan dan air minum)
- Bebas bergerak (jika dikurung masih dapat bergerak bebas dan beristirahat dengan nyaman)
- Bebas dari rasa sakit, cedera dan penyakit (perawatan dan pengobatan yang memadai)
- Bebas mengekpresikan perilaku normal (terutama dalam perawatan tubuh, hubungan sosial termasuk mencari pasangan)
- Bebas dari rasa takut (memperhatikan ‘perasaan’, stres atau tekanan mental hewan)
Bahkan beberapa mengutip ajaran agama tentang perlakukan terhadap hewan, dimana semua agama mengaku bahwa hewan adalah bagian dari alam semesta ciptaan Yang Maha Kuasa sehingga harus dijaga dan tidak dimusnahkan, tidak disakiti dan harus diperlakukan dengan kasih sayang serta hidup berdampingan secara damai. Karena manusia yang paling kuat justru harus menjaga alam sebagai bagian dari hidup seluruh semesta.
Maka jelaslah bahwa secara prinsip manusia tidak berhak merendahkan hewan dan memperlakukan hewan tanpa memperhatikan hal-hal seperti diatas. Semua pola pemeliharaan dan pembuatan kandang, atau fasilitas lainnya termasuk pengangkutan seharusnya memperhatikan 5 hak kebebasan di atas. Khususnya untuk hewan potong, seharusnya mereka disembelih dengan cara-cara yang tidak menyakiti secara berlebihan.
Namun situasi dunia sekarang ini semakin terus menekan semua kalangan dalam orientasi kehidupan ekonominya. Mereka yang memiliki kelebihan sumber daya berupa kekayaan dan kekuasaan politik seringkali lebih memperhatikan keberlanjutan hegemoni kekayaan dan kekuasaan. Termasuk dalam dunia konservasi alam, keinginan menghibur diri dengan berburu satwa langka dan perburuan produk satwa langka ini untuk konsumsi mitos sesat (contoh perburuan cula badak untuk obat dan kulit harimau untuk kekuatan magis).
Hal ini memaksa dunia secara langsung menyediakan kebutuhan konsumsi secara berlebihan, termasuk meyediakan ‘hiburan’ ekowisata, tapi tidak memperhatikan prinsip ekowisata yang sebenarnya (contoh: melihat orang utan liar tanpa kuota pengunjung menyebabkan tidak ada bedanya dengan melihat satwa di kebun binatang; ingat kasus wisata kepulauan Galapagos). Produk hewan berupa daging atau bagian-bagian tubuh lain untuk pengobatan, atau hewan sebagai materi hiburan ‘tergulung’ dalam pusaran kosumerisme, dan sangat jelas percepatan pemenuhan kebutuhan itu menghilangkan nilai kesejahteraan hewan, dan untuk satwa liar adalah merusak habitat dan ekosistemnya. Mereka yang tidak memiliki akses kekayaan dan kekuasaan, tapi memiliki akses langsung terhadap hewan, terseret arus pemenuhan kebutuhan terhadap hewan dengan membabi-buta, karena harapan terpercik nilai ekonomi. Maka ada gelombang besar manusia di bumi ini yang justru hidup dan sejahtera dari ketidaksejahteraan hewan.
Ada dalam posisi manakah para dokter hewan?
Banyak dokter hewan bekerja di peternakan penyedia produk hewan untuk konsumsi. Banyak pula yang bekerja sebagai dokter-dokter perawat hewan kesayangan dan di taman-taman satwa. Hal ini termasuk yang berada di pemerintahan dan lembaga negara lainnya. Sebagian dari mereka berada di puncak manajemen lembaga-lembaga tersebut dimana pengambilan keputusan menjadi bagian dari tugas mereka. Betapa indahnya seandainya para dokter-dokter hewan dapat memberi keputusan dan membuat peraturan tentang penyelenggaraan pemeliharaan dan perlakuan terhadap hewan yang sesuai dengan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan.
Namun membuat keputusan seperti itu tidaklah mudah mengingat manajemen kolektif di lembaga-lembaga tersebut melibatkan pula mereka yang bukan dari kalangan veteriner. Para kolega dokter hewan seharusnya, dan sebagian pasti telah berupaya, menjelaskan kepada kolega non veteriner mereka tentang pentingnya kesejahteraan hewan, dimana upaya itu tidak akan terlalu sulit bila pola pikirnya tidak jauh berbeda.
Disinilah kata kuncinya, yaitu perlunya membuat gerakan-gerakan dan kampanye untuk mempengaruhi pola pikir masyarakat umum tentang pentingnya kesejahteraan hewan. Kita harus berbuat lebih untuk mengubah pola pikir masyarakat umum agar tidak lagi menganggap hewan sebagai obyek atau komoditi pemenuhan konsumsi semata, dan bahkan perlu menganggap hewan sebagai mahluk hidup yang patut dihormati sama seperti manusia.
Maka bila disatu pihak para kolega dokter hewan di level tertinggi pusat kekuasaan dan manajemen perusahaan dapat meyakinkan para kolega non-veterinernya, maka diluaran seharusnya ada kampanye yang konsisten dan masif tentang pentingnya kesejahteraan hewan untuk merubah pola pikir tadi.
Pada awalnya tentu akan ada tentangan dan cibiran, seperti yang terjadi pada para pemrotes topeng monyet. Tapi dengan adanya konsistensi dalam gerakan, memanfaatkan semua media yang memungkinkan, berkolaborasi dengan semua lembaga pemerintah dan non-pemerintah yang memperhatikan kesejahteraan hewan, termasuk para lembaga konservasi satwa liar, adalah sebuah keniscayaan bahwa hewan adalah mahluk hidup yang harus dihormati sama seperti manusia.
Bahan Bacaan:
- www.wspa.org.uk
- www.worldanimal.net
- www.bawabali.com
- www.sac-ina.org
- www.profauna.org
- www.peta.org
Kembali ke Atas | Editorial | Opini | Artikel | Fokus
OPINI
Perkembangan Konsep Kesejahteraan Hewan
Oleh: Albert T. Muljono
Epidemiologist, bekerja di Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS)
Beberapa tahun belakangan ini, kepedulian publik dunia terhadap aktivitas-aktivitas, peraturan hukum, dan penegakan hukum di bidang kesehatan (manusia), kesejahteraan hewan, dan lingkungan sangat meningkat. Di Eropa, seseorang dianggap tidak beradab jika apa yang dilakukannya menyebabkan orang lain menjadi sakit, memperlakukan hewan dengan buruk, atau merusak lingkungan [1]. Sebuah sistem dan aktivitas-aktivitas yang saat ini dapat diterima dan disokong oleh publik adalah praktek-praktek yang dianggap tidak mempunyai dampak buruk di masa mendatang. Dengan kata lain, penerimaan publik atas sebuah sistem atau aktivitas saat ini sangat berdasar pada aspek moralitas dan konsekuensinya terhadap keberadaan sumberdaya.
Kesejahteraan hewan, atau Animal welfare dalam bahasa Inggris, menjadi salah satu kriteria yang digunakan oleh publik dunia untuk melakukan justifikasi atas sebuah sistem, prosedur, atau aktivitas. Lebih jauh lagi, animal welfare juga semakin memperluas konsep “kualitas” bagi konsumen dan produsen produk-produk hewan, karena kualitas produk yang baik saat ini tidak hanya terkait dengan cita rasa, namun juga berkelanjutan [1]. Produk yang berkelanjutan berarti bahwa produk tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik dari sisi kesehatan (manusia), animal welfare, maupun dampaknya terhadap lingkungan.
Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan konsep dan persepsi tentang animal welfare yang sedang berkembang di dunia saat ini. Pemaparan konsep dan pandangan dalam tulisan ini hanya akan dibatasi pada gerakan animal welfare, maka sebelumnya perlu dimengerti bahwa gerakan animal welfare berbeda dengan gerakan animal rights atau animal liberations [2]. Secara umum, komunitas animal welfare berkeyakinan bahwa manusia berhak untuk memelihara dan memotong hewan untuk pangan, untuk pakaian, dan menggunakan hewan dalam riset-riset ilmiah atau manfaat lainnya, sepanjang sesuai dengan etik publik, sedangkan komunitas animal rights berkeyakinan bahwa manusia sama sekali tidak mempunyai hak untuk memanfaatkan hewan untuk kepentingan manusia, dalam bentuk apa pun.
Profesor Donald M. Broom (2011) berpendapat bahwa animal welfare adalah istilah untuk mendeskripsikan tingkat kualitas hidup hewan pada suatu waktu tertentu [1]. Beliau juga menyatakan bahwa animal welfare adalah sebuah disiplin ilmu. Menurut beliau, berbagai diskusi mengenai tindakan yang harus kita (manusia) lakukan berkaitan dengan animal welfare adalah persoalan etika dan bukanlah suatu persoalan aplikasi sains. Namun beliau sepakat bahwa aplikasi sains apapun seharusnya mengandung justifikasi etik yang benar [1]. Pendapat ini selaras dengan pernyatan David Frazer (2008) bahwa animal welfare dapat dikaji secara ilmiah, namun kajian tersebut akan sangat dipengaruhi oleh nilai atau ide dasar penelitinya mengenai apa yang dipandang penting dalam menilai kualitas hidup hewan. Dan nilai-nilai dasar tersebut sangat dipengaruhi oleh budaya dimana ilmuwan tersebut hidup dan berada [3].
Perbedaan nilai-nilai etik inilah yang kemudian memicu perdebatan mengenai kesejahteraan hewan di kalangan para ilmuwan diseluruh dunia. Beberapa ilmuwan menekankan kajiannya pada kesehatan dan kondisi fisik hewan, seperti bebas dari penyakit dan cedera. Ilmuwan lain menekankan kajiannya pada status afektif hewan, seperti rasa sakit, stres, dan kegembiraan. Ilmuwan lain berpendapat bahwa kemampuan hewan untuk hidup secara natural, bertingkah-laku atau bertindak bebas dan alamiah adalah faktor paling penting bagi kesejahteraan hewan. Dalam satu kajian ilmiah tiga kriteria kelompok di atas dapat saling tumpang tindih, namun di lain pihak kelompok-kelompok tersebut mempunyai kriteria yang cukup jelas untuk dapat terpisah sebagai satu kelompok eksklusif.
Bukan hanya memicu perdebatan, bahkan perbedaaan nilai-nilai etik tersebut pun dapat menjadi dilema yang mengancam animal welfare sebagai sebuah disiplin ilmu [3]. Sebuah contoh kasus terjadi pada tahun 1997 ketika sebuah komite ilmiah uni eropa melakukan kajian literatur tentang kesejahteraan (welfare) ternak babi intensif. Komite menanyakan, diantara berbagai pertanyaan lain, apakah ada permasalahan kesejahteraan pada babi betina yang dikandangkan dalam “kandang bunting” (gestation stall) dimana induk babi tersebut tidak dapat berjalan, bersosialisasi, atau melakukan aktivitas alamiah lain selama masa buntingnya. Komite ilmiah tersebut kemudian menyimpulkan bahwa mereka menemukan permasalahan kesejahteraan yang serius pada induk babi, bahkan pada sistem kandang yang paling bagus sekali pun. Dan dengan hasil kajian ini negara-negara uni eropa wajib melarang para peternaknya menggunakan kandang bunting pada tahun 2013.
Tidak lama setelah itu, sebuah kelompok ilmuwan Australia melakukan kajian terhadap materi literatur yang sama dan menanyakan pertanyaan yang kurang lebih sama, dan hasilnya mereka melaporkan kesimpulan yang bertolak belakang. Mereka menyimpulkan bahwa kedua kelompok hewan, baik induk babi di kandang bunting maupun induk babi di kandang kelompok dapat memperoleh kesejahteraan yang sama yang dibutuhkan oleh seekor induk babi. Mereka juga memberikan catatan penting bahwa “persepsi publik dapat menyebabkan kebingungan mengenai konsep pengandangan hewan namun persepsi publik tersebut tidak boleh dicampur-adukkan dengan kesejahteraan hewan. Industri babi di US kemudian menggunakan kajian ini untuk menyatakan bahwa tidak ada dasar ilmiah yang jelas bahwa kandang bunting berdampak buruk bagi kesejahteraan induk babi.
Kedua kajian tersebut dilakukan oleh kelompok ilmuwan-ilmuwan yang kompeten dibidangnya, dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Kedua kelompok ilmuwan tersebut merasa bahwa mereka telah melakukan kajian terbaik dengan sangat objektif. Lalu, bagaimana kemudian mereka dapat mempunyai dua kesimpulan yang bertolak belakang? Hal ini (sekali lagi) dapat terjadi karena perbedaan nilai-nilai etik yang mereka anut tentang animal welfare, Kedua kelompok ilmuwan tersebut menganut nilai yang berbeda dalam menentukan apa yang penting bagi hewan untuk memiliki kesejahteraan yang baik (good welfare).
Gambar 1. Tiga elemen animal welfare [3]
Menilik kompleksitas permasalahan ini, David Frazer menyarankan agar para ilmuwan animal welfare menggunakan diagram seperti pada gambar 1, dimana terdapat tiga elemen kunci yang merupakan penggolongan secara umum tiga komponen penting dalam animal welfare [3]. Ketiga elemen kunci tersebut dapat saling tumpang tindih, dan setiap elemen mempunyai tingkat kualitas kajian yang sama dalam animal welfare. Dengan kata lain, tidak ada elemen kajian yang lebih tinggi dari elemen lainnya. Namun penulis menilai bahwa kajian animal welfare yang melibatkan seluruh elemen diagram merupakan kajian animal welfare yang paling tinggi tingkat kajiannya.
Selain itu, penulis berpendapat bahwa penekanan elemen dalam kajian animal welfare tersebut harus berdasar pada kelompok hewannya, seperti hewan kesayangan, hewan ternak, hewan percobaaan atau satwa liar. Untuk semua kelompok hewan kesehatan dan kondisi fisik yang baik adalah penting, namun bagi satwa liar kebebasan untuk dapat hidup secara alamiah di habitat aslinya adalah elemen animal welfare yang menjadi lebih prioritas. Kemudian bagi hewan kesayangan rasa afektif dan kesehatan merupakan elemen animal welfare yang paling penting. Sedangkan bagi hewan percobaan status kesehatan, kondisi fisik, dan eutanasia (jika diperlukan) yang manusiawi adalah yang paling penting. Banyak ilmuwan yang berpendapat bahwa hasil kajian yang baik dan akurat hanya bisa diperoleh dari hewan percobaan yang sehat. Kemudian bagi hewan ternak status kesehatan, kondisi fisik, serta pemotongan hewan yang manusiawi dan meminimalisasi penderitaan sebelum dipotong adalah elemen animal welfare yang paling penting.
Di lain pihak, Profesor Donald M Broom mendefinisi animal welfare sebagai status individu hewan yang berkaitan dengan kemampuannya dalam mengatasi kondisi lingkungannya [1]. Mampu mengatasi kondisi lingkungan berarti bahwa hewan tersebut dalam keadaan stabil secara mental dan fisik di lingkungannya. Oleh karena itu kesejahteraan individu hewan dapat diukur secara ilmiah dan memiliki rentang kualitas kesejahteraan yang bervariasi dari sangat baik sampai sangat buruk. Kesejahteraan individu hewan sangat buruk ketika hewan sulit atau gagal beradaptasi dengan lingkungannnya.
Terdapat beberapa strategi hewan dalam mengatasi kondisi lingkungannya baik dengan tindakan, secara fisiologis, imunologis, atau dengan faktor-faktor lain yang dikoordinasi oleh otak. Rasa afektif seperti rasa sakit, takut, dan berbagai bentuk kegembiraan juga dapat dipakai sebagai strategi dalam mengatasi lingkungannya. Seperti halnya perasaan buruk seperti rasa sakit dan takut, rasa senang juga merupakan mekanisme biologis. Perasaan tersebut dibangun oleh otak, melibatkan persepsi kesadaran, yang berasosiasi dengan sistem pengaturan kehidupan, sehingga perasaan tersebut akan dikenali oleh individu hewan ketika perasaan tersebut terulang kembali. Perasaan yang terulang kembali itulah yang kemudian digunakan oleh individu hewan sebagai strategi dalam mengatasi kondisi lingkungannya, baik dengan mengubah tindakan atau sebagai penguat tindakannya.
Perasaan-perasaan tersebut termasuk bagian dari kesejahteraan hewan karena ketika individu hewan berhasil mengatasi kondisi lingkungannya dan hewan menjadi stabil, maka hewan akan mencapai tingkat kesejahteraan yang baik. Kesejahteraan yang baik tersebut berasosiasi erat dengan perasaan gembira atau senang.
Dengan semua pemaparan tentang konsep animal welfare tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagai sebuah disiplin ilmu animal welfare tidak akan pernah dapat lepas dari perbedaan nilai-nilai etik yang dianut oleh para ilmuwannya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa keragaman dari disiplin ilmu animal welfare semakin meningkat dan perkembangan ilmunya dipastikan masih akan terus berlanjut [4]. Kemudian, apakah yang bisa kita lakukan sebagai dokter hewan? Dokter hewan seharusnya mempunyai tanggungjawab yang besar dalam rangka mempromosikan isu kesejahteraan hewan kepada masyarakat, terlebih karena dokter hewan mempunyai pengetahuan tentang fisiologi hewan, patologi, mikrobiologi, ilmu kesehatan hewan, dll. Namun hal itu belum cukup. Pengetahuan tersebut harus disatukan dengan pemahaman mengenai tingkah-laku (behaviour) dan status mental hewan [5]. Ironisnya, meskipun dokter hewan dilatih untuk mengidentifikasi, mengobati, dan mencegah penyakit hewan, dan walaupun banyak dokter hewan memandang bahwa kesehatan hewan adalah bagian penting dari kesejahteraan hewan namun sampai saat, sebagian besar dokter hewan tidak memandang animal welfare sebagai sebuah disiplin ilmu yang harus diajarkan kepada para mahasiswa kedokteran hewan [5]. Hal ini adalah akibat dari sistem edukasi kedokteran hewan yang sampai beberapa dekade sebelumnya, atau bahkan sampai saat ini, tidak memberikan pengetahuan ethologi kepada mahasiswanya. Marilah! Kita harus mulai peduli dan belajar.
Bahan Bacaan:
- Broom DM (2011). A History of Animal Welfare Science. Acta Biother (2011). 59:121-137.
- Haynes RP (2011). Competing Conceptions of Animal Welfare and Their Ethical Implications for Treatment of Non-Human Animal. Acta Biotheor (2011). 59: 105-120
- Fraser D (2008). Understanding animal welfare. Oral Presentation. Acta Veterinaria Scandinavica. 50 (Suppl I): SI.
- Hagen K, van den Bos, de Cock Buning T (2011). Editorial: Concepts of Animal Welfare. Acta Biotheor (2011). 59: 93-103
- Algers B (2008). Who is responsible for animal welfare? The veterinary answer. Oral Presentation. Acta Veterinaria Scandinavica. 50 (Supl I): SII.
Kembali ke Atas | Editorial | Galeri | Artikel | Fokus
ARTIKEL
Kesejahteraan Hewan (Animal Welfare)
Oleh : Nofita Nurbiyanti
Indonesia merupakan negara yang berkembang dan kaya akan sumberdaya alam dan hayati, sehingga banyak negara-negara asing yang mencoba peruntungannya dibidang perdagangan di negara kepulauan ini tak terkecuali dalam bidang pangan. Semakin berlalunya waktu membuat masyarakat kian menyadari pentingnya bahan pangan asal hewan (PAH) untuk pertumbuhan terutama anak-anak bangsa. Hal ini terlihat dari makin meningkatnya masyarakat yang mengkonsumsi sumber protein asal hewan sampai perlunya importasi untuk mencukupi kebutuhan nasional (Martindah, E dan R.A. Saptati, 2007). Setelah beberapa waktu lalu masyarakat dikejutkan oleh pemberitaan di media terhadap aksi protes negara luar akibat penanganan hewan yang dinilai sangat jauh dari konsep kesejahteraan sampai-sampai aksi pelarangan importasi daging ke Indonesia, membuat masyarakat dan beberapa stakeholder bertanya-tanya ‘Apakah yang dimaksud dengan konsep animal welfare? Bagaimana bentuk pelaksanaannya? Dimanakah harus memulai konsep tersebut? Siapa yang bertanggung jawab untuk itu? Kapankah harus dimulai?’.
Definisi kesejahteraan hewan (animal welfare)
Kesejahteraan hewan (yang dikenal dengan animal welfare) merupakan suatu tindakan kesadaran terhadap perasaan hewan dan bagaimana memperlakukannya tanpa perlu menyakiti dan membuatnya menderita. Umumnya yang menjadi perhatian seperti di peternakan, selama transportasi, atau pada saat akan disembelih. Konsep tersebut dikenal dengan “Five Freedom” yang dirujuk dari peraturan di Eropa, yaitu: (1) bebas dari rasa lapar dan haus, (2) bebas dari ketidaknyamanan, (3) bebas dari sakit, kesakitan atau penyakit, (4) bebas untuk mengekspresikan perilaku normalnya, dan (5) bebas dari ketakutan dan stress (European Communities, 2007).
Sejarah asal mula kesejahteraan hewan (animal welfare)
Inggris memiliki sejarah yang mencatat paling lama mengenai perlindungan hewan (animal protection) semenjak tahun 1500-an, tidak berbeda jauh dengan perkembangan di Benua Eropa dan Amerika Utara. Jeremy Bentham adalah pelopor diabad 18-an, yang mempertanyakan tentang hewan ‘apakah mereka bisa menderita?’, yang merupakan konsep dasar dari perkembangan kesejahteraan hewan (European Communities, 2007). Pada tahun 1824, berdiri organisasi asal Inggris yang bernama Society for the Prevention of Cruelty to Animals (SPCA), yang melindungi dan mencegah kekerasan pada kuda sebagai transportasi (Compassion in World Farming, 2012).
Tahun 1967, Peter Robert mendirikan Compassion in World Farming untuk memprotes dan melawan kekerasan pada hewan ternak (European Communities, 2007), yang merupakan petani asal Inggris. Compassion in World Farming berkembang menjadi organisasi yang kantornya tersebar sampai ke negara Irlandia, Perancis, Belanda, dan perwakilan di 7 negara lainnya termasuk di Afrika Selatan dan Oseania (Compassion in World Farming, 2012). Semenjak tahun 1970-an, perlindungan hewan terbagi menjadi 2, yaitu kesejahteraan hewan (animal welfare) dan hak asasi hewan (animal right). Tahun 2002, Jerman menjadi negara Eropa pertama yang mempunyai undang-undang tentang perlindungan hewan yang berbunyi “Negara bertanggung jawab terhadap perlindungan dasar alam dalam kehidupan hewan untuk generasi yang akan datang”. Negara Swiss diketahui juga memasukan perlindungan hewan ke dalam amandemen undang-undang.
Alasan kesejahteraan hewan (animal welfare) menjadi penting
Kesejahteraan hewan menjadi penting karena mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan daya tahan hidup hewan. Selain itu juga dapat mengurangi tingkat insidensi terhadap suatu penyakit dan meningkatkan kesehatan hewan yang ditemukan pada Proyek Studi, bahwa peningkatan praktek kesejahteraan hewan secara positif berdampak kepada patologi hewan dan ketahanan penyakit (European Communities, 2007).
“The greatness of a nation and its moral progress can be judged by the way its animals are treated” (Mahatma Gandhi).
Daftar Bacaan:
European Communities. 2007. Factsheet: Animal Welfare March 2007. Directorate-General for Health and Consumer Protection. European Commission. Brussels. http://ec.europa.eu/dgs/
health_consumer/index_en.htm (Diunduh pada 9 Maret 2012).
Compassion in World Farming. 2012. History and Achievement. http://www.ciwf.org.uk/about_us/
history_achievements/default.aspx (Diunduh pada 12 Maret 2012).
Martindah, E dan R. A. Saptati. 2007. Dukungan dan Teknologi untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat: Kesehatan dan Keamanan Pangan Produk Hewani. Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. http://www.peternakan.litbang.deptan.go.id/
fullteks/lokakarya/pbadan07-12.pdf (Diunduh pada 12 maret 2012).
Kembali ke Atas | Editorial | Galeri | Opini | Fokus
FOKUS
Membumikan Animal Welfare di Indonesia
Oleh: Gusti Muhammad Sofyannoor *)
*) Penulis bekerja di Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kotawaringin Barat, Propinsi Kalimantan Tengah
Maraknya wacana tentang kesejahteraan hewan tidak terlepas dari realita kemajuan peradaban manusia yang telah menyebabkan eksploitasi terhadap hewan. Secara utuh maupun parsial, hewan telah dijadikan komoditas ekonomi dan dianggap sebagai bahan produksi. Akibatnya tidak jarang hewan diperlakukan seperti benda mati dan haknya sebagai makhluk hidup tidak dihiraukan. Dibalik kepentingan ekonomi dan gaya hidup konsumtif global inilah hewan mengalami penderitaan akibat ulah manusia yang melakukan penganiayaan dan kekejaman terhadap hewan.
Kesejahteraan hewan (animal welfare) muncul setelah adanya desakan untuk menghentikan penganiayaan terhadap hewan. Hal tersebut didasari atas pemahaman bahwa hewan dapat merasakan penderitaan yang sama sebagaimana yang dirasakan oleh manusia. Atas dasar itulah hewan seharusnya diberi perhatian yang sama dengan manusia terkait haknya sebagai makhluk hidup. Pemikiran lain yang lebih ekstrim terkait animal welfare bahwa sebagai makhluk hidup hewan tidak boleh sama sekali dimanfaatkan oleh manusia. Namun ada pula yang lebih realistis dimana hewan boleh diambil manfaatnya dengan tetap memperhatikan etika pemanfaatan hewan. Dari berbagai pemahaman tersebut, secara umum barangkali akhirnya dunia dapat menerima bahwa yang lebih penting adalah bagaimana hewan dapat diberikan kualitas hidup yang baik tanpa penderitaan, tetapi tidak melarang hewan untuk dimanfaatkan bagi kehidupan manusia.
Konsep umum kesejahteraan hewan
Untuk lebih memahami tentang makna kesejahteraan yang hakiki bagi seekor hewan tentu tidak mudah. Ada banyak ukuran/parameter yang telah dikemukakan oleh para ahli, namun tetap merupakan tantangan tersendiri untuk mengkolaborasikan hasil penelitian dan temuan para ahli tersebut menjadi satu konsep animal welfare yang utuh. Pertama, animal welfare diukur dari performans fisik tubuh hewan. Dalam hal ini animal welfare dikaitkan dengan kondisi tubuh dan lingkungan fisik dimana apabila hewan dapat berproduksi dengan baik dikatakan hewan tersebut sejahtera. Konsep ini kemudian banyak dikembangkan melalui penelitian yang mengkaitkan animal welfare dengan indikator yang lebih banyak kepada aspek fisik (Broom DM, 1991) seperti kondisi fisiologi untuk mengetahui respon hewan terhadap perubahan/stress lingkungan. Namun hasil pengukuran parameter fisiologis cukup sulit diinterpretasikan karena implikasinya dapat bersifat positif dan negatif. Detak jantung misalnya, dapat meningkat karena hal positif akibat kehadiran hewan betina atau negatif akibat kehadiran predator.
Kesejahteraan bagi hewan ternyata tidak cukup hanya dari aspek fisik sehingga kemudian disadari bahwa kajian animal welfare selama ini masih mengalami keterbatasan dalam mengukur tingkat kesejahteraan hewan terutama dari aspek mental (Hewson CJ, 2003). Kasus di Indonesia misalnya, pada perayaan Idul Adha seekor sapi secara tampilan fisik tampak sehat, tetapi tidak dari aspek mental/perasaan dimana sapi tersebut dapat dipastikan akan merasa takut ketika menyaksikan sapi lain sedang disembelih. Inilah konsep animal welfare yang kedua bahwa kesejahteraan hewan tidak hanya diukur dari performans fisik tetapi juga dipengaruhi oleh keadaan mental hewan.
Animal welfare sebaiknya tidak hanya menonjolkan aspek fisik tetapi harus dibarengi dengan upaya menciptakan suasana mental yang nyaman dan aman bagi hewan tersebut. Bagaimanapun, sebagai makhluk hidup hewan mampu merasakan misalnya rasa takut, frustasi, stress. Oleh karenanya, animal welfare secara ideal adalah perpaduan antara aspek fisik dan mental hewan dimana apabila mental hewan baik, maka ia akan mampu berproduksi dengan baik pula (Duncan IJH, 1996). Pendekatan aspek perasaan/mental dalam kajian animal welfare dapat diukur dari tampilan perilaku yang ditunjukkan oleh hewan tersebut, apakah hewan tersebut patuh dan mau mengikuti kemauan pemilik atau justru sebaliknya menarik diri atau melawan karena takut atau stress.
Konsep animal welfare yang ketiga menekankan pada pemahaman bahwa hewan harus dapat hidup dan berperilaku secara alamiah sebagaimana ia diciptakan. Parameter ini pada dasarnya masih berkaitan dengan aspek mental. Hewan dinilai sejahtera ketika ia berperilaku secara alamiah tanpa ada tekanan dari manusia dan lingkungan sekitar (Kiley WM, 1989) dan dapat hidup sesuai dengan habitat aslinya di alam.
Mengukur kesejahteraan hewan
Uraian di atas telah mengarahkan kita kepada pemahaman yang lebih besar tentang animal welfare, bahwa hewan harus memiliki kualitas kehidupan yang baik dan kalaupun mati harus secara manusiawi. Namun, kesejahteraan hewan yang baik bukan hanya tentang tidak adanya kekejaman atau penderitaan yang sia-sia. Kesejahteraan hewan meliputi permasalahan yang lebih kompleks, meliputi kebutuhan-kebutuhan hidup, kondisi mental, dan sifat-sifat alami dari hewan. Melalui pemahaman yang baik tentang animal welfare, semua orang didorong untuk mengembangkan empati dan sikap menghargai hewan serta dapat memahami bagaimana hewan harus diperlakukan.
Metode untuk mengevaluasi kesejahteraan hewan yang telah diakui secara internasional adalah The Five Freedoms (OIE, 2006) sebagai berikut :
- Freedom from Hunger and Thirst (Kebebasan dari Kelaparan dan Kehausan); memberikan makanan dan minuman yang cukup untuk menjamin hewan dalam kondisi sehat
- Freedom from Discomfort (Kebebasan dari Ketidaksenangan); menyediakan kondisi lingkungan yang sesuai bagi hewan dan suasana yang menyenangkan
- Freedom from Pain, Injury and Disease (Kebebasan dari Kesakitan, Luka-luka dan Penyakit); melakukan pencegahan penyakit dan jaminan mendapat perawatan medis oleh dokter hewan apabila hewan sakit
- Freedom to Express Natural Behaviour (Kebebasan untuk Berperilaku Biasa/Alami); memberikan lingkungan yang memadai, yang memungkinkan hewan beraktifitas secara alami dan bersosialisasi dengan hewan lain dalam satu populasi
- Freedom from Fear and Distress (Kebebasan dari Ketakutan dan Stres); memperlakukan hewan dengan baik untuk menghindari kondisi stres dan ketakutan.
Kesejahteraan hewan : antara teori dan realita
Kesejahteraan hewan menjadi salah satu isu global di samping keamanan pangan dan kelestarian lingkungan. Penerapan kesejahteraan hewan diharapkan dapat melindungi sumberdaya hewan dari perlakuan orang atau badan hukum yang dapat mengancam kesejahteraan dan kelestarian hewan, yang pada hakekatnya untuk kesejahteraan manusia.
Dalam prakteknya, ketiga aspek animal welfare yaitu fisik, mental dan aspek kehidupan dan perilaku alamiah sulit dipertemukan dalam satu kesatuan. Yang sering terjadi adalah hewan diperlakukan sesuai dengan nilai ekonomisnya bagi manusia. Pada kasus ayam petelur, beberapa kalangan menyarankan agar ayam petelur tidak dipelihara dalam kandang baterai/individual melainkan diumbar dengan harapan dapat menunjukkan perilaku alamiah dan menghindari stress (Appleby MC, 2003). Namun ketika diumbar, kanibalisme pada ayam petelur cukup tinggi yang berarti bahwa aspek mental tidak tercapai karena adanya stress pada ayam akibat ancaman kanibalisme dalam populasi ayam tersebut.
Contoh lain, babi dalam lingkungan alami menghabiskan banyak waktunya untuk menggali dengan moncongnya dan melakukan kegiatan lain menggunakan mulutnya. Babi juga terlibat dalam interaksi sosial yang kompleks jika hidup di lingkungan alaminya. Namun, di peternakan babi dikurung dalam kandang sempit sehingga mereka tidak bisa membalikkan badan dan tidak bisa menunjukkan perilaku alami mereka. Akibat frustrasi karena tidak bisa memenuhi kebutuhan alamiahnya, menyebabkan timbul perilaku tidak wajar yang dilakukan berulang-ulang seperti perilaku babi yang menggigit jeruji kandang.
Di negara maju, penerapan animal welfare tidak hanya atas tekanan dari aktifis pecinta hewan, peneliti dan praktisi, akan tetapi juga berasal dari masyarakat sebagai konsumen. Beberapa restoran makanan cepat saji (fast foods) di Amerika misalnya, sudah mensyaratkan adanya penerapan animal welfare di peternakan ayam yang diaudit oleh pihak ketiga.
Kesejahteraan hewan di Indonesia
Bagi negara-negera berkembang termasuk Indonesia, kesejahteraan lebih merupakan domain untuk peningkatan kualitas kehidupan manusia. Berbeda dengan negara maju, masyarakat di negara berkembang masih berjuang untuk mencapai kesejahteraan sehingga kesejahteraan manusia dianggap sebagai prioritas utama. Dengan berbagai dinamika yang ada, baik tingkat pendidikan maupun perekonomian masyarakatnya, maka seringkali kesejahteraan hewan (animal welfare) tidak dipahami dan cenderung diabaikan karena dianggap hanya sebatas teori di awang dan belum diterapkan.
Dalam konteks Indonesia, animal welfare dapat dikategorikan sebagai perspektif yang baru dan belum dipahami secara luas. Konsep ini agak sulit untuk diterjemahkan karena kesejahteraan mempunyai makna yang beragam untuk setiap orang di Indonesia. Walaupun demikian, secara budaya sebenarnya cikal bakal animal welfare tanpa disadari telah ada dalam keseharian masyarakat Indonesia. Larangan mengadu/menyabung ayam, ritual tertentu sebelum menyembelih hewan, memberikan penghormatan kepada jenis hewan tertentu dan lain sebagainya merupakan potret perilaku di masyarakat kita.
Masih dalam kaitan sosio-kultural, masyarakat Indonesia pada dasarnya memiliki pemahaman tentang bagaimana bertindak agar tidak menyakiti atau berbuat kejam terhadap hewan. Hal ini diperkuat dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Kaidah bahwa hewan adalah makhluk ciptaan Tuhan yang mempunyai hak untuk hidup, hak diperlakukan dengan baik serta ajaran untuk menyayangi hewan merupakan benih yang harus dipupuk untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang kesejahteraan hewan.
Permasalahan di Indonesia muncul ketika pemahaman awal masyarakat tentang animal welfare tersebut tidak diwujudkan dalam perbuatan sehari-hari, dan realita itulah yang terjadi di tempat pemotongan hewan/Rumah Potong Hewan (RPH). Dampaknya Australia menghentikan ekspor sapi ke Indonesia setelah beredar video kekejaman terhadap sapi Australia di RPH. Disamping itu, isu kesejahteraan hewan di Indonesia juga menyangkut buruknya penanganan ternak ayam potong di seluruh mata rantai produksi mulai dari peternakan, tempat penampungan ayam, tata laksana transportasi hingga proses pemotongan di tempat pemotongan hewan/Rumah Potong Unggas (RPU).
Lemahnya penegakan hukum juga menjadi kendala dalam penerapan animal welfare di Indonesia. Walaupun sudah memiliki payung hukum Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 dimana salah satunya mengatur tentang kesejahteraan hewan, namun praktek animal welfare di lapangan masih sulit diterapkan dan ditegakkan. Kendala lain diantaranya keragaman masyarakat dan budaya, tradisi, tingkat pendidikan dan minimnya kesadaran terhadap kesejahteraan hewan.
Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesejahteraan hewan antara lain dapat dilakukan melalui upaya public awareness secara kontinu. Hal ini dapat dilakukan pada dua kelompok sasaran, yaitu kelompok masyarakat yang memiliki pendidikan formal dan masyarakat awam. Pada kelompok yang pertama dapat dilakukan kunjungan ke sekolah atau pusat pendidikan lainnya dengan mengajarkan konsep animal welfare. Kegiatan dapat diselingi dengan simulasi bagaimana rasanya berada di dalam kandang atau bagaimana rasanya dalam kondisi haus dan lapar sehingga benar-benar dapat merasakan hal yang dirasakan oleh hewan ketika mendapatkan perlakuan demikian.
Pada kelompok masyarakat awam, dapat dilakukan program edukasi yang lebih menyenangkan (fun learning). Kegiatan diawali dengan pemutaran film populer untuk menarik minat warga agar berkumpul, kemudian dilanjutkan dengan film dokumenter yang memuat substansi animal welfare. Cara ini lazim dilakukan untuk melakukan pendekatan dan edukasi kepada masyarakat yang berada di pedesaan, sebagaimana pernah dilakukan oleh penulis ketika melakukan public awareness tentang Rabies kepada masyarakat di Desa Sambi Kecamatan Arut Utara Kabupaten Kotawaringin Barat Provinsi Kalimantan Tengah.
Diskusi tentang animal welfare di Indonesia tampaknya akan selalu hangat terkait besarnya kesenjangan antara tataran ideal dan realita di lapangan. Mimpi tentang penerapan animal welfare di Indonesia masih relevan mengingat bahwa pada dasarnya prinsip-prinsip menyayangi dan melindungi hewan sudah ada sejak turun temurun. Namun upaya untuk membumikan perspektif animal welfare masih memerlukan kerja keras semua pihak, termasuk pemerintah yang dapat berperan dalam melakukan perbaikan dan melengkapi sarana yang diperlukan untuk penerapan animal welfare seperti RPH, RPU dan Pasar Hewan. Seiring dengan berbagai hasil riset, tekanan dari aktifis dan pecinta hewan, maka “bola panas” animal welfare harus didukung oleh masyarakat sebagai konsumen dan pemilik hewan. Dengan satu harapan bahwa suatu saat animal welfare bukan lagi di awang-awang, tetapi dapat diterapkan sehingga lebih membumi.
Bahan Bacaan:
Appleby MC. 2003. The European Union ban on conventional cages for laying hens: history and prospects. J Appl Anim Welf Sci.
Broom DM. 1991. Animal welfare: concepts and measurements. J Anim Sci Vol. 69 : 4167–4175.
Duncan IJH. 1996. Animal welfare defined in terms of feelings. Acta Agric Scand Sect A, Animal Sci Suppl Vol. 27: 29–35.
Hewson CJ. 2003. What is animal welfare? Common definitions and their practical consequences. Can Vet J. Vol. 44 (6): 496 – 499
Kiley WM. 1989. Ecological, ethological and ethically sound environments for animals: towards symbiosis. J Agric Ethics Vol. 2 : 323 – 247.
Office International des Epizootics [OIE]. 2006. Terrestrial Animal Health Code. http://www.oie.int. [20 Januari 2012].
Kembali ke Atas | Editorial | Galeri | Artikel | Artikel